Jalan Berliku Menjaring Caleg Perempuan
Partisipasi perempuan di politik kerap terganjal beban kerja domestik dan kompetisi dengan pasangan hidup. Kendala itu dapat diatasi jika parpol bisa melihat, salah satunya, militansi perempuan dalam mendorong kebijakan.
- Partisipasi perempuan di politik praktis kerap terganjal karena harus berhadapan dengan berbagai persoalan domestik.
- Banyak cara harus dilakukan parpol karena tidak mudah bagi parpol memenuhi persyaratan 30 persen caleg perempuan.
- Ketimpangan antara jumlah caleg perempuan yang berkontestasi dan yang lolos ke parlemen terjadi salah satunya karena pencarian caleg yang tak serius.
Kampanye pencegahan tuberkolosis yang dilakukan Rachma Wardani di kediaman seorang anggota DPR di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, awal 2017 tiba-tiba berubah menjadi perbincangan politik. Alih-alih memperdalam soal pencegahan penyakit menular tersebut, sang tuan rumah menawari Rachma untuk menjadi calon anggota legislatif atau caleg dari Partai Amanat Nasional.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jika bersedia, aktivis Nasyiatul Aisyiyah, organisasi otonom persyarikatan Muhammadiyah, itu dijanjikan tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk berkontestasi sebagai caleg. ”Enggak perlu repot-repot kalau mau jadi caleg, nanti semuanya akan disiapkan,” ujar Rachma mengulangi iming-iming yang pernah disampaikan kepada dirinya, Selasa (20/12/2022).
Meski sebenarnya tertarik berkiprah di politik praktis, Rachma langsung menolak tawaran itu. Sebab, penawaran itu muncul sekadar untuk memenuhi persyaratan kuota caleg perempuan sebesar 30 persen bagi parpol agar dapat ikut serta dalam pemilu. Dari pembicaraan singkat yang berlangsung pun tidak ada intensi untuk benar-benar memenangkan dirinya.
Tak hanya itu, Rachma yang kala itu berusia 31 tahun menganggap masih terlalu belia untuk menjadi politisi. Ia juga merasa belum bisa terikat dengan aktivitas kemasyarakatan karena harus mengurus tiga anaknya yang baru masuk sekolah dasar. Bahkan, ia yang berprofesi sebagai dokter pun membuka praktik di rumah agar bisa memiliki waktu yang lebih fleksibel dalam mengurus rumah tangga. Sebab, suaminya bekerja di sebuah perusahaan dengan jam kerja yang ajek. ”Mungkin, kalau sudah waktunya, saya akan nyaleg secara sukarela, tetapi saat ini harus memprioritaskan anak dulu,” katanya.
Baca Juga: Parpol Siap Perjuangkan Keterwakilan Perempuan pada Pemilu 2024
Lain halnya dengan Marina Oktavia. Asisten pribadi sejumlah anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu selalu menerima permintaan partai untuk masuk dalam daftar caleg parpol tersebut sejak 2014. Ia pernah menjadi caleg DPRD Kabupaten Serang, Jawa Barat, pada 2014 dan caleg DPR RI daerah pemilihan Jawa Barat pada 2019. Menurut rencana, ia pun akan kembali berkontestasi di Pileg 2024.
Marina mengakui, keberadannya dalam daftar caleg PAN dari periode ke periode merupakan permintaan atasan untuk memenuhi syarat 30 persen kuota caleg perempuan. Dalam dua kali keikutsertaannya, ia tak pernah berkampanye secara serius, hanya sesekali turun ke masyarakat jika ada tandem petahana anggota DPR. Bahkan, pada 2019 Marina sama sekali tidak berkampanye karena tak ada petahana yang menyertainya.
Baru pada Pemilu 2024 Marina memutuskan untuk serius karena mendapat dukungan penuh dari suaminya yang juga kader parpol. ”Saya senang-senang saja diminta menjadi caleg karena sudah lama bekerja di partai. Suami pun aktif di partai yang sama dan mendukung,” tutur Marina.
Ketua Penggalangan Suara Perempuan Komite Pemenangan Pemilu Nasional PAN Intan Fauzi, dalam diskusi ”Perempuan”, di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (13/12), mengakui, banyak cara harus dilakukan karena tidak mudah bagi parpol untuk memenuhi persyaratan 30 persen caleg perempuan. Diskusi juga dihadiri Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin, Ketua Umum Perempuan Bangsa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Siti Mukaromah, Deputi Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Demokrat Diska Putri Pamungkas, dan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Bintang Puspayoga turut hadir secara daring.
Baca Juga: Bakal Caleg Perempuan Bukan Sekadar Syarat Pelengkap
Intan melanjutkan, politik praktis yang masih didominasi laki-laki membuat partisipasi perempuan terkendala dari berbagai aspek. Padahal, kebutuhan untuk memenuhi persyaratan tersebut cukup besar. Berdasarkan penghitungan pada Pemilu 2019, setiap parpol harus mendaftarkan 192 caleg perempuan untuk tingkat DPR RI, 653 caleg DPRD provinsi, dan 5.297 caleg DPRD kabupaten/kota.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin menambahkan, partisipasi perempuan di politik praktis kerap terganjal karena harus berhadapan dengan berbagai persoalan domestik, apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Semakin tinggi tanggung jawab yang diemban, semakin tinggi pula risiko untuk meninggalkan keluarga, bahkan berkompetisi secara sosial dengan suami sehingga membuat perempuan merasa tidak nyaman.
”Mungkin hanya sedikit saja yang bisa maju karena suaminya mendukung, tetapi banyak juga yang justru terjadi kecemburuan dalam berbagai hal, seperti penghasilan, jabatan. Itu yang terjadi dalam budaya kita sehingga memang menjadi agak sulit,” tutur Nurul.
Sekalipun ada hambatan karena budaya patriarki yang mengakar, Nurul mengklaim, Golkar tak pernah kehabisan stok caleg perempuan.
Organisasi sayap
Sekalipun ada hambatan karena budaya patriarki yang mengakar, Nurul mengklaim Golkar tak pernah kehabisan stok caleg perempuan. Itu tidak terlepas dari peran organisasi sayap parpol. Fabrikasi caleg perempuan terus dilakukan melalui Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) dan Pengajian Al Hidayah.
Baca Juga: Kantong Suara Caleg Perempuan
Serupa dengan Golkar, PAN juga memiliki Perempuan Amanat Nasional (Puan) yang bertugas merekrut dan menyeleksi caleg perempuan dari pusat hingga daerah. Begitu pula di parpol lain, misalnya Perempuan Bangsa dari PKB juga Srikandi Demokrat dari Partai Demokrat.
Ketua Umum Perempuan Bangsa PKB Siti Mukaromah menjelaskan, badan otonom yang dipimpinnya memiliki struktur hingga ke tingkat cabang atau kecamatan. Oleh karena itu, tak ada kesulitan untuk mendapatkan caleg perempuan.
Perempuan Bangsa juga sudah mempersiapkan kader perempuan sejak jauh-jauh hari agar partai tak sekadar bisa memenuhi persyaratan kuota 30 persen, tetapi juga memastikan kualitas para caleg. Peningkatan kapasitas penting karena tujuan mereka berkontestasi bukan hanya untuk merebut kursi, melainkan juga menambah perolehan kursi PKB.
”Kami juga menyelenggarakan forum-forum sharing tidak hanya untuk memotivasi caleg perempuan, tetapi juga agar mereka memiliki strategi dalam pemenangan pileg,” kata Siti yang juga menjabat sebagai anggota Komisi VI DPR itu.
Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani menambahkan, untuk memenuhi kuota 30 persen sekaligus meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, pihaknya fokus menyelenggarakan pendidikan politik bagi perempuan. Selain untuk masyarakat umum, PPP juga melaksanakan pendidikan bagi pelatih (training of trainer)untuk para perempuan kader senior dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Program-program itu didukung dengan kebijakan untuk mengalokasikan 30 persen dana bantuan parpol (banpol) untuk kegiatan partai di bidang keperempuanan.
Ketimpangan
Keterwakilan perempuan dalam pemilu memang sudah diatur dalam undang-undang. Pasal 245 UU No 7/2017 menyebutkan, daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan pengurus parpol peserta pemilu memuat keterwakilan paling sedikit 30 persen. Artinya, tanpa memenuhi ketentuan tersebut, parpol tak bisa mengikuti pemilu. Oleh karena itu, kebijakan afirmasi dalam tahap pencalonan anggota legislatif sudah terpenuhi.
Kendati demikian, kenyataannya caleg perempuan yang lolos ke parlemen masih jauh dari harapan. Catatan Kompas, selama lima periode terakhir, jumlah anggota legislatif di DPR RI tak pernah mencapai 30 persen dari total anggota DPR. Pada periode 1999-2024, jumlah anggota legislatif perempuan baru mencapai 9 persen (44 orang), kemudian menjadi 10,7 persen (65 orang) pada 2004-2009, dan 17,6 persen (100 orang) pada 2009-2014. Lima tahun berikutnya, pada 2014-2019 ada 17,7 persen (97 orang), dan 20,9 persen (120 orang) pada 2019-2024.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, ketimpangan antara jumlah caleg perempuan yang berkontestasi dan yang lolos ke parlemen terjadi salah satunya karena pencarian caleg yang tak serius. Mengacu kajian Puskapol, pada Pemilu 2019 parpol cenderung mencari orang-orang terdekat atau memanfaatkan hubungan kekerabatan untuk merekrut caleg. Setelah direkrut, sebagian besar dari mereka pun tak mendapatkan pelatihan apa pun dari parpol.
”Pengalaman itu berpengaruh besar ke depannya karena caleg-caleg perempuan maju tanpa persiapan, kemungkinan besar kalah, lalu kapok untuk ikut lagi,” kata Hurriyah, Rabu (21/12).
Ketimpangan antara jumlah caleg perempuan yang berkontestasi dan yang lolos ke parlemen terjadi salah satunya karena pencarian caleg yang tak serius.
Menurut dia, ketidakseriusan itu terjadi karena parpol belum mendapatkan insentif yang jelas ketika harus memenuhi atau meningkatkan keterwakilan perempuan. Parpol-parpol di Indonesia umumnya tidak melihat keuntungan yang lebih jauh dari keberadaan perempuan ketimbang sekadar bagian dari penggaet suara. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa politisi perempuan berperan signifikan, misalnya dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, militan dalam mendorong kebijakan, serta luwes untuk masuk ke segala lini konstituen.
”Parpol harus melihat bahwa mereka bisa mendapat keuntungan dan ada prestise yang tinggi dengan meningkatkan keterwakilan perempuan,” kata Hurriyah.
Jika hal itu sudah menjadi perspektif, selanjutnya dibutuhkan perbaikan dalam kaderisasi perempuan. Alih-alih mencari caleg secara dadakan, parpol semestinya bisa membangun sistem kaderisasi sejak jauh-jauh hari melalui kerja sama dengan masyarakat sipil. Selain memperbesar peluang pencarian caleg perempuan berkualitas, langkah ini juga memberikan kenyamanan bagi perempuan yang tertarik berkecimpung di politik praktis.
Pada akhirnya, para caleg perempuan itu bisa mendapatkan pengalaman terkait pendidikan politik dan merasakan bagaimana dikader oleh partai. Dengan demikian, kehadiran mereka bukan sekadar menjadi pelengkap untuk memenuhi persyaratan politik elektoral.