Bakal Caleg Perempuan Bukan Sekadar Syarat Pelengkap
Kendati partai-partai politik sudah memenuhi ketentuan 30 persen caleg perempuan, tetapi yang lolos ke parlemen masih jauh di bawah 30 persen. Pada Pemilu 2019, misalnya, hanya 20,5 persen perempuan yang duduk di DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Keberadaan bakal calon anggota legislastif perempuan di setiap partai politik seharusnya bukan sekadar pelengkap untuk memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan umum. Parpol memiliki tanggung jawab untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen secara serius untuk mendapatkan bakal caleg perempuan yang memiliki kompetensi dan berkualitas.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur syarat parpol menjadi peserta pemilu salah satunya adalah menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat. Selain itu diatur pula, dalam daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) juga minimal memuat 30 persen perempuan, baik untuk DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, untuk memenuhi persyaratan itu bukan sesuatu yang mudah. Sebab pada praktiknya tidak semua parpol melakukan kaderisasi caleg perempuan secara sistematis. Beberapa parpol bahkan mencari caleg perempuan di saat-saat akhir pencalonan agar memenuhi syarat yang diatur UU.
Tak hanya itu, presentase caleg yang berhasil lolos ke parlemen juga masih jauh di bawah 30 persen. Pada Pemilu 2019, misalnya, hanya ada 118 persen dari 575 caleg yang berhasil duduk di DPR. Ini berarti anggota DPR 2019-2024 dari kalangan perempuan baru sebanyak 20,5 persen. Bahkan pada periode sebelumnya hanya 17 persen atay 97 dari 560 anggota DPR adalah perempuan.
Kondisi itu berarti ada persoalan dalam kepastian keterpilihan perempuan dalam pemilu, kendati setiap parpol mencalonkan 30 persen perempuan sebagai di setiap daerah pemilihan (dapil). Masih banyak ditemui caleg perempuan yang menempati nomor urut besar, sehingga potensi keterpilihan lebih rendah. Selain itu, soal akses dan kapasitas untuk bersaing dengan caleg laki-laki juga menjadi persoalan, karena acap kali caleg perempuan tidak dipersiapkan dengan baik oleh parpol.
Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Minggu (24/4/2022) di Jakarta, mengatakan, dengan tidak diubahnya UU Pemilu, otomatis terobosan dan komitmen pengawalan caleg perempuan bergantung sepenuhnya kepada keputusan dan konsistensi tiap-tiap parpol. Padahal awalnya, kalangan masyarakat sipil mendorong agar ada penguatan aturan afirmasi perempuan dalam UU Pemilu. Harapannya, peluang keterpilihan perempuan menjadi lebih besar.
“Salah satu yang kami dorong adalah usulan agar caleg perempuan ditempatkan di nomor urut 1 pada paling sedikit 30 persen dapil. Karena kecenderungannya caleg-caleg perempuan itu penemptannya di nomor urut besar,” kata Titi.
Sekalipun pemilu menganut sistem proporsional daftar terbuka, menurut Titi, tetap ada korelasi antara nomor urut dengan potensi keterpilihan. Buktinya dari hasil pemilu diketahui, mayoritas caleg yang terpilih berada di nomor urut kecil, yakni 1, 2, atau 3. Bahkan, 64 persen caleg yang terpilih merupakan calon dengan nomor urut 1.
Selain potensi keterpilihan yang belum sesuai harapan, ada persoalan dalam kaderisasi dan rekrutmen caleg perempuan. Mayoritas parpol belum secara simultan melakukan rekrutmen maupun kaderisasi kader perempuan.
“Kesulitan dari parpol itu adalah mereka cenderung memikirkan pencalonan prempuan mendekati masa pemilu berlangsung. Padahal, seharusnya hal itu dilakukan berkesinmabungan dan terus-menerus, sehingga ketika tiba masa pemilu, parpol tidak kesulitan menempatkan kader perempuan di pemilu legislatif,” kata Titi.
Pada praktiknya, parpol memaksakan diri untuk mengajukan caleg sesuai dengan kuota kursi yang tersedia di tiap-tiap dapil. Akibatnya, parpol juga harus menyediakan caleg perempuan dengan jumlah yang lebih besar. Lantaran tidak diimbangi dengan kecukupan kader perempuan, acap kali rekrutmen caleg itu dilakukan dengan kurang berhati-hati.
Kesulitan dari parpol itu adalah mereka cenderung memikirkan pencalonan prempuan mendekati masa pemilu berlangsung. Padahal, seharusnya hal itu dilakukan berkesinmabungan dan terus-menerus, sehingga ketika tiba masa pemilu, parpol tidak kesulitan menempatkan kader perempuan di pemilu legislatif
“Karena jumlah caleg perempuan yang mereka usung tidak terpenuhi, akhirnya asal comot,” tutur Titi.
Mulai rekrutmen
Sementara itu saat ini, sejumlah parpol pun mulai melakukan rekrutmen caleg perempuan. Parpol harus segera menyiapkan bakal caleg perempuan karena waktu yang tersedia tinggal satu tahun lagi. Sebab, sesuai dengan usulan tahapan dan jadwal pemilu yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pendaftaran daftar caleg akan berlangsung pada 1-14 Mei 2023.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim mengatakan, saat ini Nasdem sedang melakukan tes wawancara terhadap bakal caleg perempuan di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Rekrutmen itu dikoordinir oleh sayap perempuan partai bernama Garnita Malahayati.
“Garnita Malahayati sudah melakukan pendaftaran sekarang, untuk tingkat kabupaten/kota, dan provinsi. Sebagian juga sudah melakukan wawancara. Targetnya, caleg perempuan Nasdem 40 persen,” katanya.
Taslim mengatakan, Nasdem tidak kekurangan kader perempuan untuk maju menjadi caleg. Setiap anggota DPR turun menjadi tim khusus yang melakukan wawancara dan pendalaman kepada setiap bacaleg perempuan di legislatif daerah.
“Hal yang lebih kami tekankan adalah bagaimana agar bakal caleg perempuan ini dapat menyuarakan kepentingan perempuan dan keberpihakan mereka kepada isu-isu yang menyangkut perempuan. Kami juga melakukan pelatihan khusus bagi bakal caleg potensial yang belum memenuhi syarat,” ucapnya.
Taslim menegaskan, caleg perempuan di Nasdem bukan sekadar pelengkap persyaratan untuk menjadi peserta pemilu. “Caleg perempuan bukan sekadar pelengkap, karena sejak Pemilu 2019, Nasdem mengajukan 37 persen caleg perempuan,” katanya.
Sama dengan Nasdem, kaderisasi bakal caleg perempuan Partai Amanat Nasional (PAN) salah satunya juga dilakukan oleh organisasi sayap Perempuan PAN (PUAN). Menurut Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi, kader perempuan harus lolos latihan kepemimpinan tingkat dasar, madya, maupun utama.
“Kami tidak mau sekadar memenuhi affirmative action 30 persen perempuan. Tetapi PAN ingin agar mereka juga memiliki daya saing dengan caleg lainnya, tanpa memertimbangkan aspek jender,” katanya.
Mengenai penempatan caleg perempuan di nomor urut kecil, menurut Viva, itu tidak menjadi jaminan keterpilihan. Sebab, dengan sistem proporsional daftar terbuka seperti saat ini, suara terbanyak yang menentukan keterpilihan seorang caleg, bukan nomor urutnya.
“Mereka akan dibekali dengan latihan khusus oleh PUAN mengenai pemenangan pemilu,” katanya.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, partainya merekrut tokoh perempuan dengan berbagai latar belakang untuk menjadi bakal caleg. “Ada yang berlatar belakang selebiriti, pejabat, mantan pejabat, atau aktivis NGO, pengusaha, itu semua sudah terakomodir di dalam daftar di Bappilu,” ungkap Kamhar.
Minim kaderisasi
Wakil Direktut Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah mengatakan, kaderisasi caleg perempuan umumnya belum berlangsung dengan baik di internal parpol. Oleh karena itu, tidak jarang dalam penentuan caleg perempuan bukan kompetensi yang dilihat, melainkan aspek kedekatan dengan elite parpol, kekuatan finansial, popularitas, atau pengaruh tokoh-tokoh besar di internal parpol.
“Kerap kali kader perempuan yang lama berkecimpung di dalam partai tidak dijadikan caleg, karena dia tidak memiliki dana, dan popularitas, kendati dia memiliki kompetensi untuk menjadi caleg,” katanya.
Faktor lainnya, seperti kedekatan caleg perempuan dengan tokoh partai, dan akses koneksi kepada tokoh-tokoh tertentu, misalnya kepala daerah atau mantan kepala daerah, menjadi aspek lain yang menentukan apakah dia akan diusung menjadi caleg ataukah tidak.
Hurriyah mengatakan, hal itu terjadi karena umumnya parpol di Indonesia belum berparadigma pro perempuan. Selain itu, situasi tersebut juga menggambarkan proses kaderisasi yang belum berjalan dengan baik. “Kaderisasi perempuan belum sepenuhnya menjadi prioritas parpol,” katanya.