KPU Belum Berencana Revisi Aturan Keterwakilan Perempuan
Setelah melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR, Komisi Pemilihan Umum memutuskan belum berencana merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 Ayat 2 tentang keterwakilan perempuan. KPU dinilai tak mandiri.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari menjawab pertanyaan awak media di Jakarta, Jumat (19/5/2023). Pihaknya belum akan merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pasal 8 Ayat 2 yang mengatur 30 persen keterwakilan perempuan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum belum akan merevisi peraturannya terkait keterwakilan perempuan. Sebab, pihaknya meyakini 18 partai politik yang mendaftarkan bakal calon anggota legislatifnya telah memenuhi ambang batas minimal.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, pihaknya telah berupaya mengakomodasi masukan masyarakat guna merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Pasal 8 Ayat 2.
Secara prosedur, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), PKPU dikonsultasikan dalam rapat dengar pendapat antara DPR dan pemerintah. Hal ini dilakukan sebelum PKPU ditetapkan. Hasil akhirnya, KPU belum akan merevisi PKPU No 10/2023.
”Data yang kami peroleh dari 18 partai politik yang mendaftarkan bakal calon anggota legislatif di KPU, angka keterwakilan perempuan sudah di atas batas minimal yang ditentukan UU, yaitu 30 persen,” ujar Hasyim di kantor KPU, Jakarta, Jumat (19/5/2023).
KPU telah melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR pada Rabu (17/5/2023). Dalam rapat itu, hadir KPU, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan dan Penyelenggara Pemilu, serta Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya, sembilan fraksi pada Komisi II menolak usulan revisi PKPU No 10/2023, khususnya Pasal 8 Ayat 2. Pasal tersebut mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap darah pemilihan apabila menghasilkan angka pecahan. Apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sebaliknya, jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas (Kompas.id, 17/5/2023).
Data yang kami peroleh dari 18 partai politik yang mendaftarkan bakal calon legislatif di KPU, angka keterwakilan perempuan sudah di atas batas minimal yang ditentukan UU, yaitu 30 persen.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak KPU untuk segera merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 di kantor KPU, Jakarta, Sabtu (13/5/2023). Tuntutan ini bertujuan agar terwujud pemenuhan hak politik perempuan dan meminimalkan terjadinya instabilitas politik yang berujung pada wacana penundaan Pemilu 2024.
Disayangkan tak mandiri
Keputusan KPU yang belum merevisi PKPU tentang keterwakilan perempuan disayangkan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil. Sikap KPU menunjukkan tak ada kemandirian sebagai penyelenggara pemilu karena justru mengabulkan permintaan DPR. Padahal, DPR hanya memberi masukan, tetapi otoritas terakhir tetap di tangan KPU.
”Sudah habis ini kemandirian kemandirian lembaga penyelenggara pemilu, sudah tidak ada lagi,” kata Fadli.
Sudah habis ini kemandirian kemandirian lembaga penyelenggara pemilu, sudah tidak ada lagi.
Oleh karena itu, Perludem tengah menyiapkan sejumlah langkah memastikan kerangka hukum proses penyelenggaraan pemilu tak bertentangan secara hierarki norma. PKPU tentang keterwakilan perempuan merupakan perintah dalam UU Pemilu. Namun, PKPU tak mematuhinya sehingga terjadi pertentangan norma.
Fadli mengatakan, selain hilangnya kemandirian KPU atas ketidakonsistenan sikap, lembaga itu juga telah menipu masyarakat. Sebab, pekan lalu berjanji akan merevisi PKPU karena masukan banyak pihak, termasuk setelah berkomunikasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Sikap KPU justru menunjukkan pihaknya hanya mengikuti suara partai politik. Sebab, suara masyarakat sipil sudah tak lagi didengar.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil.
Pada Pemilu 2019, partai politik telah memenuhi persyaratan 30 persen keterwakilan perempuan calon anggota legislatif pada setiap daerah pemilihan. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan UU Pemilu 2017 yang masih digunakan pula pada 2019.
”Kalau mereka (KPU) tak merevisi PKPU itu, tak akan ada problemini. Jangan lupa, itu sudah dilaksanakan sejak Pemilu 2014 dan tak ada masalah,” kata Fadli.
Saat itu, partai politik pun dapat memenuhi persyaratan 30 persen keterwakilan perempuan. Hal itu sekaligus menunjukkan fungsi partai sebagai peserta pemilu sekaligus rekrutmen politik.