Menolak Kemunduran Demokrasi
Pasal 8 Ayat 2 Peraturan KPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota Legislatif dianggap sebagai kemunduran demokrasi karena membuka peluang berkurangnya pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif.
Pasal 8 Ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dianggap sebagai kemunduran demokrasi karena membuka peluang berkurangnya pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD seperti diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2024 sudah dibuka sepekan, tetapi sejumlah perempuan caleg masih ragu-ragu mendaftar untuk ikut pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menurut Lis Dedeh, Deputi Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Anak, Disabilitas, dan Lansia, Badan Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat DPP Partai Demokrat, Pasal 8 Ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 10/2023 sudah membuat partai berleha-leha mencari bakal caleg perempuan karena jumlah 30 persen tidak lagi mutlak.
Sampai Sabtu (6/5/2023), Lis yang menjadi caleg di Daerah Pemilihan 9 Jawa Barat dalam Pemilu 2014 dan 2019 serta belum berhasil lolos ke DPR mengatakan, kalaupun mendaftar lagi, kemungkinan hanya untuk mengisi kuota keterwakilan 30 persen caleg perempuan. UU No 7/2017 mewajibkan partai politik menempatkan 30 persen perempuan dalam daftar caleg.
”Kalau tidak di nomor urut satu (daftar caleg), sulit lolos. Pemilih cenderung pilih nomor urut satu karena begitu banyak caleg,” ujar Lis.
Dalam suasana tersebut, terbitnya PKPU No 10/2023, terutama Pasal 8 Ayat 2, pada 18 April 2023 meresahkan sebagian perempuan caleg, pengurus parpol, akademisi, dan organisasi yang mengadvokasi demokrasi.
Pasal 8 Ayat 2 PKPU itu menyebutkan, ”Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh) hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau 50 (lima puluh) atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas”.
PKPU ini dinilai membuka peluang turunnya jumlah keterwakilan perempuan. Simulasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi yang disampaikan Khoirunnisa Nur Agustyati menunjukkan, pembulatan ke bawah akan menurunkan keterwakilan perempuan di 38 dapil.
Jangan norma kuota 30 persen yang digunting jika ada partai kesulitan memenuhi aturan itu.
Diah Pitaloka, politisi PDI-P dan Ketua Koalisi Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), menyebut, PKPU tersebut merupakan kemunduran. Alasannya, parpol sebenarnya sudah siap memenuhi ketentuan UU Pemilu mengenai 30 persen keterwakilan perempuan.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati menyebut, selama Pemilu 2014 dan 2019 partai-partai sudah memenuhi aturan yang pertama kali diatur melalui UU No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif itu.
”Jangan norma kuota 30 persen yang digunting jika ada partai kesulitan memenuhi aturan itu,” ucap Diah.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang terdiri dari akademisi, anggota, dan pengurus partai politik, serta kelompok perempuan pada Sabtu (6/5/2023) di Jakarta sepakat menolak Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023. Mereka meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bergerak untuk mengubah PKPU yang bertentangan dengan UU Pemilu itu. Senin (8/5/2023), mereka mendatangi Bawaslu. Dalam jumpa pers dan diskusi pada Minggu (7/5/2023), sejumlah akademisi dan organisasi yang mengadvokasi demokrasi juga menolak Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023. Selain berupaya melalui Bawaslu dan DKPP, mereka mempertimbangkan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Baca juga: KPU Didesak Ubah Pembulatan ke Bawah yang Rugikan Keterwakilan Perempuan
Mantan anggota DKPP yang juga anggota KPU periode 2012-2017, Ida Budhiati. menegaskan, KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai lembaga independen. Bawaslu dan DKPP mengawasi KPU, termasuk produk hukum yang dihasilkan, dapat menegur dan memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran.
Melupakan sejarah
Pernyataan sikap akademisi dan pegiat demokrasi menyebut KPU tidak memahami sejarah lahirnya undang-undang yang mengatur hak khusus sementara (affirmative action) keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, semangat demokrasi yang mengutamakan kesetaraan dan inklusivitas bagi semua warga negara.
Perjuangan tindakan afirmatif dimulai setelah Pemilu 1999 yang dianggap demokratis, tetapi menghasilkan hanya 9 persen keterwakilan perempuan di DPR. Sementara Pemilu 1987 menghasilkan 13 persen, Pemilu 1992 ada 12,5 persen, dan Pemilu 1997 jadi 10,8 persen.
Perjuangan tindakan afirmatif dimulai setelah Pemilu 1999 yang dianggap demokratis, tetapi menghasilkan hanya 9 persen keterwakilan perempuan di DPR. Sementara Pemilu 1987 menghasilkan 13 persen, Pemilu 1992 ada 12,5 persen, dan Pemilu 1997 jadi 10,8 persen.
Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 terbit di tengah kenyataan pada Pemilu 2019 jumlah perempuan pemilih 126.000 orang lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Partisipasi perempuan tersebut sepantasnya direspons dengan meningkatkan jumlah calon anggota anggota legislatif.
Perjuangan kelompok-kelompok perempuan dan pegiat demokrasi meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD awalnya tak didukung DPR dan pemerintah. Namun, kerja bersama antara media massa arus utama, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil menghasilkan UU No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif. Untuk pertama kali di Indonesia berlaku kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota DPR dan DPRD.
Perlunya tindakan khusus
Semangat tindakan khusus sementara bukan sekadar meningkatkan jumlah perempuan di DPR dan DPRD. Tindakan khusus dilakukan untuk memenuhi asas keadilan dan kesetaraan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan, membuka hambatan yang membuat sulit perempuan berpartisipasi secara adil dalam proses politik pengambilan kebijakan publik yang menentukan nasib separuh penduduk.
Dalam berbagai diskusi muncul pertanyaan, apakah perempuan siap memasuki dunia politik serta menyuarakan kepentingan perempuan dan kelompok minoritas ketika duduk di lembaga legislatif?
Pertanyaan itu harus dikembalikan kepada KPU, yaitu bagaimana KPU memenuhi ketentuan UU Pemilu meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menghilangkan segala hambatan partisipasi perempuan. Bahkan, dengan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2019, jumlah perempuan anggota DPR periode 2019-2024 hanya 123 orang atau 21,39 persen. Jauh di bawah target 30 persen.
”Menggunting” norma tindakan khusus keterwakilan 30 persen perempuan akan menghilangkan hak yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.