KPU Didesak Ubah Pembulatan ke Bawah yang Rugikan Keterwakilan Perempuan
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan menyatakan, Peraturan KPU yang baru terkait pencalonan legislatif dapat menyebabkan bakal caleg perempuan menjadi lebih sedikit.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan meminta Komisi Pemilihan Umum atau KPU mengubah ketentuan pembulatan ke bawah pada aturan teknis implementasi kuota 30 persen bakal calon legislatif perempuan. KPU didesak mengembalikannya pada ketentuan pembulatan ke atas sesuai ketentuan sebelumnya.
Sementara itu, KPU menyatakan diterbitkannya ketentuan ini telah berdasarkan sejumlah proses. Mulai dari rapat konsultasi di DPR dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota masih berstatus rancangan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sejumlah kelompok yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan saat konferensi pers secara daring, di Jakarta, Minggu (7/5/2023), menyatakan, ketentuan Pasal 8 dalam PKPU No 10/2023 telah menimbulkan ancaman penurunan jumlah kursi perempuan di DPR atau DPRD.
Kelompok masyarakat sipil itu meliputi Pusat Kajian Politik UI, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Election Corner UGM, Pusat Studi Kepemiluan Unsrat, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Komite Independen Pemantau Pemilu, Koalisi Perempuan Indonesia, Maju Perempuan Indonesia, Perludem, Netgrit, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.
Mereka mengingatkan, aturan baru terkait ketentuan pembulatan ke bawah akan berdampak pada tidak terpenuhinya kuota minimal pencalonan 30 persen perempuan. Padahal, kuota 30 persen bakal caleg perempuan itu telah diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
”Aturan ini (PKPU 10/2023) memungkinkan pencalonan anggota legislatif oleh partai politik (parpol) berada di bawah 30 persen ketika dilakukan pembulatan ke bawah. Padahal, pada uji publik tanggal 8 Maret 2023, memuat ketentuan pembulatan ke atas dan tidak mengatur pembulatan ke bawah,” tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati.
Selain itu, jika mengacu aturan tersebut, parpol yang mengajukan tiga bakal caleg hanya perlu menempatkan satu bakal caleg perempuan meskipun penghitungannya kuotanya 1,20 caleg. Begitu pula untuk jumlah bakal caleg tujuh dan delapan orang hanya perlu menempatkan dua orang bakal caleg perempuan.
Sementara parpol yang menempatkan 11 bakal calon di satu dapil hanya perlu menempatkan tiga bakal caleg perempuan. Kondisi ini berbeda dengan aturan di Pemilu 2019 yang mensyaratkan ada dua bakal caleg perempuan dalam setiap empat bakal calon di satu dapil karena pembulatan ke atas.
”Secara matematis, teknis perhitungan yang diatur dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 itu berpotensi mengurangi keterwakilan politik perempuan di parlemen. Kami mencatat, dapil (daerah pemilihan) yang terdampak terutama dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11,” ujarnya.
Khoirunnisa menjelaskan, untuk dapil di DPR, aturan baru ini akan berdampak pada sekitar 38 dapil sehingga jumlah caleg perempuan akan berkurang. Jumlah itu setara dengan 45 persen dari total 84 dapil DPR yang memperebutkan 580 kursi. Karena itu, dengan aturan pembulatan yang baru ini, parpol justru diuntungkan karena tidak terlalu kesulitan memenuhi kuota bakal caleg perempuan.
”Misalnya, jumlah kursi dapil tertentu 10 kursi, maka parpol mencalonkan 8 caleg dengan komposisi dua orang bakal caleg perempuan saja. Ini menyebabkan semakin berkurang bagi bakal caleg perempuan,” kata Khoirunnisa.
Sebelumnya, anggota Komisi Pemilihan Umum, Idham Holik menuturkan, diterbitkannya ketentuan ini sudah atas sejumlah proses. Mulai dari rapat konsultasi di DPR dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan.
”Tekait dengan penggunaan penarikan desimal hasil perkalian dengan persentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika. Bukan kami membuat norma dan standar baru dalam matematika,” ujar Idham.
Memaksa partai
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, sejauh ini regulasi kuota 30 persen bakal caleg perempuan telah memaksa parpol untuk memenuhi pencalonan perempuan lebih 30 persen. Namun, aturan ini diperlemah oleh KPU dengan hadirnya peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.
Hurriyah menyebutkan, empat kali pemilu terakhir menunjukkan tren jumlah caleg perempuan DPR terus meningkat. Misalnya, pada Pemilu 2004 terdapat 29 persen jumlah caleg perempuan, menjadi 33,6 persen di 2009, 37,6 persen di 2014, dan 40 persen di 2019. Meski demikian, jumlah caleg perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR itu selama empat kali pemilu terakhir rata-rata masih di bawah 20 persen.
”Jika kandidat caleg perempuan lebih sedikit, keterwakilan perempuan di parlemen juga terancam semakin menurun,” tutur Hurriyah.
Pengajar Ilmu Politik dan Kepemiluan di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Ferry Daud Liando, menilai, selama ini keterwakilan perempuan dalam legislatif banyak diisi pihak yang tidak merepresentasikan kebijakan publik. Mereka berasal dari kalangan keluarga pejabat atau kerabat yang memiliki popularitas sehingga kerap tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan publik.
”Selama ini pemilihan figurnya hanya seadanya sebagai bentuk pemenuhan syarat pengajuan bakal calon ke KPU. Bukan perempuan-perempuan pejuang dan bukan perempuan yang memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan publik,” ujar Ferry.
Selain meminta KPU mengubah ketentuan pembulatan ke bawah, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan juga meminta Badan Pengawas Pemilu mengoptimalkan perannya mengawasi pelaksanaan UU No 7/2017 oleh KPU. Terutama, dalam pembentukan peraturan KPU agar tidak bertentangan dengan UU No 7/2017. Mereka juga meminta Bawaslu melakukan uji materi pada PKPU No 10/2023 ke Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU Pemilu.