Kompetisi Berat, Jumlah Bakal Calon Anggota DPD Perempuan Hanya 19,86 Persen
Gagasan untuk memberlakukan kebijakan afirmasi bagi pencalonan perempuan dalam pemilihan calon anggota DPD harus menanti revisi Undang-Undang Pemilu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah perempuan yang bisa mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum untuk mengikuti Pemilu 2024 hanya 139 orang atau 19,86 persen dari total 700 bakal calon. Kompetisi pemilihan anggota DPD yang sangat ketat dan berat dinilai menjadi salah satu penyebab minimnya perempuan yang mendaftar sebagai bakal calon anggota DPD.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Idham Holik, mengungkapkan, bakal calon anggota DPD yang memenuhi persyaratan dukungan minimal pemilih dan sebaran, dan bisa mendaftar ke KPU, sebanyak 700 orang yang terdiri dari 561 laki-laki dan 139 perempuan. Persentase bakal calon anggota DPD perempuan yakni 19,86 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Berkenaan dengan kapan bakal calon DPD mengajukan daftar calonnya mengajukan persyaratannya untuk didaftarkan ke KPU provinsi itu sama seperti pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yaitu di rentang tanggal 1 Mei sampai 14 Mei dan KPU juga sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh bakal calon DPD,” kata Idham saat dihubungi di Jakarta, Senin (1/5/2023).
Ia mengungkapkan, berdasarkan laporan rekapitulasi penerimaan pendaftaran bakal calon DPD pada Senin pukul 16.00 WIB yang diambil dari aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) DPD, total pendaftar yang diterima sebanyak 14 bakal calon.
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengungkapkan, pada awalnya antusiasme perempuan untuk mengikuti pemilihan anggota DPD cukup tinggi. Bahkan, keterpilihan selalu di atas 20 persen sejak pemilu calon anggota DPD pertama kali digelar pada 2004.
Namun, kompetisi pemilu calon anggota DPD sangat ketat dan berat karena daerah pemilihan yang mencakup satu provinsi dan kursi yang diperebutkan hanya empat. Dibutuhkan biaya besar dan medan kampanye yang luas, terutama bagi provinsi yang berpopulasi besar dengan wilayah yang luas.
”Berbeda dengan calon dari parpol (partai politik) di DPR dan DPRD, sebagai calon perseorangan, calon anggota DPD mengandalkan kekuatan personal yang tidak ditopang oleh mesin dan struktur parpol untuk kerja-kerja pemenangan sehingga tantangannya jadi jauh lebih besar lagi,” katanya.
Selain itu, Titi menambahkan, ada fenomena yang ditangkap masyarakat bahwa DPD memiliki kewenangan yang sangat lemah dan cenderung tidak punya posisi tawar yang kuat dibandingkan DPR. Apalagi, DPD lebih banyak kontroversi dan prahara internal daripada prestasi membuat makin kuat skeptisme terhadap lembaga ini.
”Sudah tidak terlalu populer, anggota-anggotanya banyak bertengkar, hasil kerjanya juga tidak terlalu terasa, ditambah persyaratannya yang jauh lebih berat membuat minat terhadap lembaga ini jadi makin menurun. Termasuk di kalangan perempuan yang pasti tantangannya lebih berlipat, baik dari sisi pendanaan ataupun jejaring,” ujarnya.
Menurut Titi, banyak politisi perempuan yang terlanjur digaet parpol karena popularitas dan jejaring sosial yang mereka miliki. Selain itu, demi pemenuhan persyaratan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen yang berdampak pula terhadap sepinya peminat DPD. Apalagi, di pemilihan calon anggota DPD tidak ada kebijakan afirmatif yang bisa meringankan pencalonan perempuan. Laki-laki dan perempuan harus berkompetisi di arena yang setara, baik dari sisi pemenuhan persyaratan ataupun kriteria dalam keterpilihan.
Titi mengungkapkan, sudah sejak lama ada gagasan untuk memberlakukan kebijakan afirmasi bagi pencalonan perempuan, yaitu berupa pengurangan persyaratan dukungan pencalonan sebesar 30 persen dari ketentuan yang ada. ”Jadi, syarat dukungan pemilih yang berlaku dikurangi 30 persen bagi pencalonan perempuan di pemilu DPD,” kata Titi.
Selain itu, juga diberikan dukungan dana kampanye bagi calon anggota DPD perempuan sehingga ada akses yang lebih murah terhadap kampanye pemilu. Namun, kata Titi, tidak direvisinya Undang-Undang Pemilu membuat banyak gagasan perubahan tersebut tidak bisa diwadahi untuk Pemilu 2024.