Aturan Keterwakilan Perempuan Tak Juga Direvisi, KPU hingga DKPP Disomasi
KPU, Bawaslu, dan DKPP disomasi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Ini sebagai buntut tak juga direvisinya aturan penghitungan keterwakilan perempuan 30 persen di tiap dapil seperti diatur di PKPU No 10/2023.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengirimkan somasi atau teguran kepada tiga lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Somasi dikirim lantaran KPU dianggap tidak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur cara penghitungan keterwakilan 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan.
Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia Titi Anggraini, di Jakarta, Sabtu (20/5/2023), mengatakan, somasi telah dikirimkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Jumat (19/5/2023) lalu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Somasi kepada KPU berisi tuntutan agar KPU melaksanakan kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatan. KPU juga harus menerapkan prinsip mandiri dengan segera menetapkan revisi Pasal 8 PKPU 10 Tahun 2023 untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada mulanya KPU berencana merevisi Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 yang mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilihan apabila menghasilkan angka pecahan. Dalam PKPU No 10/2023 diatur, jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
KPU awalnya mengusulkan norma itu diubah menjadi ”dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”. Selain itu, disisipkan Pasal 94A yang mengatur waktu bagi parpol untuk memperbaiki daftar bakal calon anggota legislatif. Pasal itu berbunyi, ”Bagi parpol peserta pemilu yang telah mengajukan daftar bakal calon sebelum berlakunya PKPU tersebut melakukan perbaikan daftar bakal calon sampai dengan batas akhir masa pengajuan bakal calon”.
Namun, kemudian, dalam rapat dengar pendapat yang berlangsung pada Rabu (17/5/2023) lalu, Komisi II DPR meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU 10/2023. Sekalipun ada penolakan untuk revisi, lanjut Titi, KPU seharusnya tetap bersifat mandiri dan tidak tunduk pada hasil konsultasi karena keputusannya tidak bersifat mengingat.
Terlebih, aturan penghitungan yang dibuat KPU bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena ada sebagian daerah pemilihan yang jumlah minimal caleg perempuan kurang dari 30 persen. KPU juga telah menyatakan kepada publik bahwa akan merevisi aturan tersebut. ”Hal ini tentu menunjukkan bahwa KPU tidak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 Ayat (2) huruf a PKPU 10/2023,” ujar Titi.
Karena itu, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak agar KPU segera menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota itu. Sebab, hingga saat ini, janji untuk merevisi pasal tersebut belum juga dilakukan. Padahal, proses untuk merevisi PKPU, yakni konsultasi dengan DPR dan Pemerintah sudah dilakukan.
Mereka juga mendesak KPU agar secara transparan segera memublikasikan data terkait pencapaian keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftar calon legislatif dari daftar bakal calon anggota legislatif yang telah diajukan oleh partai politik. ”Ini diperlukan untuk memastikan apakah semua partai politik telah memenuhi ketentuan tersebut di semua daerah pemilihan,” kata Titi.
Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendesak agar KPU segera menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 PKPU No 10/2023.
Di sisi lain, KPU juga harus melaksanakan prinsip profesional, transparan, dan akuntabel dengan memberikan akses Silon kepada Bawaslu dan masyarakat. Keterbukaan ini diperlukan agar seluruh pihak dapat melakukan pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada Silon.
Laksanakan fungsi pengawasan
Adapun somasi kepada Bawaslu berisi tuntutan agar Bawaslu melaksanakan fungsi pengawasan dan menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai sumpah jabatan, menerapkan prinsip mandiri, tegak lurus menegakkan konstitusi dan UU pemilu, dan segera menetapkan revisi PKPU No 10 Tahun 2023 dalam waktu 2 x 24 jam untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H Ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Undang-Undang 7/2017.
”Jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, Masyarakat Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu segera menggunakan kewenangan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung,” tutur Titi.
Masyarakat sipil juga mendesak Bawaslu segera memublikasikan hasil pengawasan terhadap daftar bakal calon anggota legislatif yang telah didaftarkan oleh partai politik. Tuntutan ini untuk memastikan apakah aturan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif dipatuhi oleh semua partai politik di semua daerah pemilih.
Sementara somasi ke DKPP berisi tuntutan agar lembaga tersebut melaksanakan kewajiban hukum sesuai sumpah jabatan untuk menjaga kemandirian penyelenggara pemilu dan menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi penyelenggara pemilu. DKPP juga diminta memastikan KPU melaksanakan prinsip profesional, transparan, dan akuntabel untuk melakukan perbaikan terhadap Silon.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, KPU belum merevisi PKPU 10/2023. Menurutnya, pihaknya telah berupaya mengakomodasi masukan masyarakat guna merevisi aturan tersebut.
”Data yang kami peroleh dari 18 partai politik yang mendaftarkan bakal calon anggota legislatif di KPU, angka keterwakilan perempuan sudah di atas batas minimal yang ditentukan UU, yaitu 30 persen,” ujar Hasyim di kantor KPU, Jakarta, Jumat (19/5/2023).