RUU Perampasan Aset Beri Kewenangan Besar pada Kejaksaan
Kejagung memastikan jika RUU Perampasan Aset disahkan maka kejaksaan bisa menggugat meski terdakwa melarikan diri dan aset terdakwa bisa disita. Namun diingatkan pula agar pembahasan RUU itu kedepankan partisipasi publik
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana akan memberikan kewenangan yang besar kepada Kejaksaan Agung. Tidak hanya berwenang untuk menuntut perkara perampasan aset yang diduga diperoleh secara ilegal, Kejaksaan Agung juga akan berwenang mengelola aset-aset yang dirampas.
Seperti diberitakan sebelumnya, surat presiden (surpres) berikut naskah RUU Perampasan Aset dikirimkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (4/5/2023) lalu. Di dalam surat tersebut termuat permintaan kepada DPR agar pembahasan dan persetujuan RUU Perampasan Aset menjadi prioritas utama.
Melalui surat itu pula, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa ia menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menjadi wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Perampasan Aset bersama DPR, (Kompas, 6/5/2023).
Dalam draf RUU Perampasan Aset versi 17 April 2023 yang diperoleh Kompas, pasal 8 menyebutkan bahwa penelusuran atas aset yang dapat dirampas dapat dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN) dan penyidik pegawai negeri sipil.
Adapun, aset ilegal yang dapat dirampas menurut RUU itu meliputi aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya.
Kedua, aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana. Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara. Keempat, aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Pasal 17 draf RUU Perampasan Aset juga mengatur norma kewenangan Jaksa Agung untuk menerima aset tindak pidana yang telah disita oleh penyidik.
Selain itu juga aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana sejak berlakunya UU Perampasan Aset. Berikut, aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 17 draf RUU Perampasan Aset juga mengatur norma kewenangan Jaksa Agung untuk menerima aset tindak pidana yang telah disita oleh penyidik beserta dokumen pendukungnya. Aset tindak pidana yang telah diserahkan disimpan, diamankan, dan dipelihara oleh Jaksa Agung.
Terkait dengan kewenangan tambahan ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan, Kejagung sudah siap dengan hal tersebut. Menurutnya, jika RUU Perampasan Aset disahkan, peran jaksa pengacara negara atau Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun) akan semakin krusial dan dominan. Jamdatun akan menggugat terdakwa bahkan saat mereka melarikan diri atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Walaupun terdakwa tidak ada, aset tetap dapat ditelusuri dan disita jika terbukti diperoleh dari tindak pidana.
“Peran-peran itu sebenarnya sudah ada sebelumnya, hanya ditambah dan diperkuat. Kejagung juga sudah mempersiapkan badan setingkat Eselon I yang terkait perampasan aset. Namanya Badan Perampasan Aset yang tinggal menunggu diketok oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara (Menpan RB). Kami sudah siap,” tegasnya.
Ketut menjelaskan, pembentukan Badan Perampasan Aset itu tidak hanya untuk menyambut jika RUU Perampasan Aset disahkan. Badan tersebut juga merupakan amanah dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Jika RUU Perampasan Aset disahkan, harapannya, kapasitas badan itu sudah siap.
“Hal itu adalah biasa terkait berbagai tingkatan penegakan hukum sampai tahap eksekusi,” ungkapnya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, fraksinya siap membahas RUU tersebut, jika sudah mendapatkan lampu hijau dari pimpinan DPR. Setelah surpres diterima, masih ada mekanisme yang harus dilakukan yaitu rapat badan musyawarah atau setingkat itu. Fungsinya adalah untuk menentukan RUU akan dibahas di tingkat komisi atau melalui panitia khusus.
“RUU itu memang dibutuhkan publik, iya. Namun, jangan terlalu optimistik dengan RUU ini penegakan hukum bisa naik. Karena yang terpenting justru mengubah kultur penegakan hukum,” terangnya.
Efektivitas penegakan hukum jika RUU Perampasan Aset disahkan, lanjutnya, akan sangat tergantung pada perbaikan di internal penegak hukum.
Arsul menyebut, kenaikan skor indeks persepsi korupsi (IPK) yang jeblok di rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin ini, tidak semata-mata karena ada RUU Perampasan Aset. Baginya, yang juga penting dan relevan adalah menangani budaya penegakan hukum. Budaya penegakan hukum yang tebang pilih, limitasi penanganan hukum, itu tidak boleh lagi terjadi di lembaga penegak hukum. Efektivitas penegakan hukum jika RUU Perampasan Aset disahkan, lanjutnya, akan sangat tergantung pada perbaikan di internal penegak hukum.
“Publik juga harus rasional, bahwa lebih baik hukum jelek tetapi penegak hukumnya baik. Daripada penegak hukum jelek, lalu hukumnya baik,” katanya.
Perlu partisipasi publik
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zaenur Rohman mengatakan, pasca surpres diterima DPR, draf RUU Perampasan Aset harus dibuka. Pembahasan RUU oleh pembentuk UU juga harus membuka seluas-luasnya partisipasi publik. Pembentuk UU harus membahas UU itu dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna. Jangan sampai dengan alasan RUU harus cepat disahkan, kemudian menihilkan partisipasi publik.
“RUU ini punya sisi yang harus diperhatikan oleh publik juga. Salah satunya risiko abuse of power atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum atau APH. Kewenangan APH terutama Kejaksaan sangat besar dalam RUU ini. Jika tidak diantisipasi bisa menimbulkan korupsi baru, karena bisa menjadi ladang mencari uang oleh APH,” jelasnya.
Menurut Zaenur, risiko pengumpulan kekuasaan perampasan aset di Kejagung itu perlu didiskusikan secara intensif oleh publik. Sehingga diharapkan, ada keseimbangan instrumen hukum yang efektif untuk menjamin hak-hak warga negara dan menghindari penyelewengan kekuaasan.