RUU Perampasan Aset Diserahkan ke DPR, Presiden Minta Prioritas Utama Persetujuan
Setelah surpres berikut naskah RUU Perampasan Aset diserahkan ke DPR, Kamis lalu, pemerintah berharap pembahasan RUU tuntas dalam dua kali masa sidang DPR atau tuntas sebelum akhir tahun ini.
JAKARTA, KOMPAS — Terkatung-katungnya nasib Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana sedikit menemui titik terang.
Presiden Joko Widodo telah melayangkan surat Presiden disertai naskah rancangan undang-undang itu kepada Ketua DPR untuk meminta DPR membahasnya. Pembahasan dan pengesahan segera rancangan regulasi ini penting untuk melengkapi instrumen hukum dalam pemberantasan korupsi.
Berdasarkan informasi yang diterima Kompas, surat presiden berikut naskah RUU Perampasan Aset dikirimkan kepada DPR pada Kamis (4/5/2023). Di dalam surat termuat permintaan kepada DPR agar pembahasan dan persetujuan RUU Perampasan Aset menjadi prioritas utama.
Adapun yang ditugaskan dari pemerintah oleh Presiden untuk membahas RUU itu dengan DPR adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo.
Saat dikonfirmasi, Jumat (5/5/2023), Menko Polhukam Mahfud MD membenarkan telah dilayangkannya surat Presiden dan naskah RUU Perampasan Aset ke DPR.
Menurut dia, RUU Perampasan Aset sudah melalui perjalanan panjang sejak digagas awal pada 2010. Presiden Joko Widodo lalu mengajukan RUU itu ke DPR sejak 2016. Namun, saat itu nasib RUU terkatung-katung karena ditarik lagi.
Kemudian, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, pemerintah mengajukan lagi pembahasan RUU itu ke DPR, yang kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
”Tetapi, tahun 2020, DPR menghubungi saya. Katanya dua RUU yang kami ajukan, yaitu RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Uang Kartal atau Uang Tunai belum disetujui oleh DPR sehingga keluar dari prolegnas, padahal kita (pemerintah) sudah masukkan,” ucapnya.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas
Setelah itu, lanjut Mahfud, pemerintah masih memperjuangkan RUU itu masuk lagi ke Prolegnas. Akhirnya, terjadi kompromi di antara pembentuk UU. Pemerintah dan DPR sepakat kedua undang-undang itu dibahas, tetapi dibagi. RUU Perampasan Aset diajukan sebagai inisiatif pemerintah. Adapun RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai diminta sebagai inisiatif DPR meskipun tim penyusun awal adalah pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
”Kami setuju. Itu pun masuknya (RUU Perampasan Aset ke prolegnas prioritas) baru pada awal tahun ini. DPR setuju sehingga pemerintah sekarang karena DPR setuju bisa masuk (Prolegnas Prioritas 2023),” ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menjelaskan, karena sudah masuk Prolegnas Prioritas 2023, pemerintah segera mengirimkan surpres setelah proses harmonisasi RUU Perampasan Aset di level kementerian tuntas. Pada 4 Mei 2023, Presiden telah mengeluarkan dua surat.
Pertama, surat Presiden kepada DPR yang dilampiri dengan RUU Perampasan Aset bernomor R 22-Pres-05-2023. Surat sudah dikirimkan dan diterima oleh DPR. Adapun yang kedua adalah surat kepada kementerian dan lembaga yang ditugaskan untuk membahas RUU tersebut melalui surat nomor B399-M-D-HK-0000-05-2023. Empat pemimpin instansi itu diminta membahas ini secara sungguh-sungguh dengan DPR agar segera dibahas.
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, Presiden Jokowi: ”Masa Enggak Rampung-rampung?”
”Mudah-mudahan masa sidang yang akan datang sudah mulai bisa dibahas agar kami bisa segera membuat para pelaku tindak pidana, terutama koruptor takut. Karena, koruptor hanya takut miskin, bukan takut dihukum,” ujarnya.
Ia pun berharap RUU Perampasan Aset bisa dibahas paling lama dua kali masa persidangan DPR atau dengan kata lain sudah dituntaskan sebelum akhir tahun inj. Sebab, sudah ada kompromi yang sebelumnya disepakati oleh pembentuk UU.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, pengiriman surpres dan naskah RUU Perampasan Aset dari pemerintah ke DPR merupakan wujud keseriusan pemerintah untuk melengkapi instrumen hukum pemberantasan korupsi.
Menurut Zaenur, selama ini banyak kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terhambat penyelesaiannya karena kurangnya aturan yang efektif. Aturan perundang-undangan yang ada tidak dapat secara efektif menjerat pelaku korupsi dengan modus pencucian uang. ”Salah satunya karena tidak mudahnya ditemukan predicate crime (tindak pidana asal) oleh aparat penegak hukum,” imbuhnya.
Contohnya, kata Zaenur, adalah kasus dugaan korupsi bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Rafael Alun. Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangani kasus itu sulit mendapatkan bukti tindak pidana asalnya. Selain Rafael, juga ada kasus-kasus serupa yang diungkap oleh publik, di mana ada banyak penyelenggara negara memiliki kekayaan yang tidak wajar.
”Dalam konteks kondisi kasus-kasus itu, UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) masih memiliki banyak keterbatasan. Memang, UU TPPU seharusnya lebih banyak digunakan. Nyatanya, masih ada kebutuhan untuk dilengkapi dengan instrument hukum asset recovery dengan menggunakan pembuktian terbalik,” ujarnya.
Baca juga: Ditetapkan Tersangka, Rafael Alun Diduga Terima Gratifikasi Selama 12 Tahun
Zaenur memaparkan, untuk penindakan aset kekayaan pejabat yang tidak wajar memang dibutuhkan aturan illicit enrichment untuk membebankan pembuktiannya kepada tersangka. Ini sejalan dengan komitmen Konvensi Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Konvensi itu meminta kepada negara yang sudah meratifikasi aturan itu untuk membuat instrumen hukum untuk melaksanakan poin-poin dalam konvensi PBB tersebut.
”Banyak kasus terbaru ini, ditambah dengan polemik transaksi janggal Rp 349 triliun yang terkait dengan kewenangan Kementerian Keuangan, juga tidak jelas juntrungannya sehingga Menko Polhukam sampai membentuk satgas,” katanya.
Pukat UGM sudah melakukan kajian terhadap draf RUU Perampasan Aset sejak tahun 2009.
”Efektivitas RUU Perampasan Aset ini nanti akan teruji ketika ada metode pembalikan beban pembuktian perolehan aset yang nanti akan digunakan oleh jaksa penuntut umum. Nanti, kemungkinan besar akan menjadi rezim perdata sehingga kasus perampasan aset akan ditangani oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara atau Jaksa Pengacara Negara,” ucapnya.
Zaenur berharap perjalanan pembahasan RUU itu di DPR akan lancar dan mulus, dan tidak mendapatkan resistensi kuat dari anggota parlemen. Sebab, legislasi itu memang dibutuhkan untuk melengkapi instrumen pemberantasan korupsi agar lebih komprehensif. Parpol di DPR seharusnya memikirkan bagaimana mewariskan rezim antikorupsi di tengah pelemahan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Menjelang agenda Pemilu 2024, masyarakat pun akan menyoroti kinerja DPR dan pemerintah. Masyarakat pasti akan mempertimbangkan parpol mana yang memperjuangkan RUU yang dibutuhkan masyarakat dan mana yang tidak. Dengan demikian, menurut dia, akan rugi bagi parpol yang menolak membahas dan mengesahkan RUU tersebut.
”Indonesia juga ingin masuk sebagai anggota tetap Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (Financial Action Task Force) pada tahun ini sehingga legislasi ini harus segera disahkan. Akan rugi jika pembentuk UU tidak mengesahkan regulasi ini di saat momentumnya sudah pas,” katanya.