RUU Perampasan Aset dan Kawanan Domba dalam Pemberantasan Korupsi
Pembicaraan mengenai pemberantasan korupsi tidak bisa dilepaskan dari integritas aparat penegak hukumnya. Meski RUU Perampasan Aset akan melengkapi pemberantasan korupsi, apakah aparat penegak hukum akan bekerja optimal?
Undang-Undang Perampasan Aset seakan dewa penyelamat dalam usaha pemberantasan korupsi, begitu dipuja-puja dan sangat dinantikan kehadirannya.
Pandangan ini sepenuhnya tidak salah mengingat instrumen ”persenjataan” yang dipersiapkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tersebut cukup untuk membuat ritme jantung para koruptor berdetak lebih cepat, dag-dig-dug, dag-dig-dug!
Keunggulan dari RUU Perampasan Aset yang belakangan ini ramai diperbincangkan sehubungan dengan menyeruaknya skandal pegawai Kementerian Keuangan pada hakikatnya adalah memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum dalam mengambil/merampas aset-aset ilegal (tak sah) yang dikuasai oleh seseorang.
Kemudahan itu tampak dari dapat dilakukannya perampasan aset ilegal tanpa adanya putusan pemidanaan terhadap seseorang. Metode perampasan aset seperti ini dikenal sebagai gugatan terhadap aset (civil forfeiture atau in rem forfeiture).
Meskipun demikian, keberhasilan perampasan aset-aset ilegal terkait tindak pidana korupsi sejatinya sangat bergantung pada kesungguhan aparat penegak hukum itu sendiri.
Baca juga : RUU Perampasan Aset Diserahkan ke DPR, Presiden Minta Prioritas Utama Persetujuan
Seperti pernah diungkapkan Bernardus Maria Taverne, ”Geef me goede rechters, goede rechter commissarisson, goede officeren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wet boek van strafrecht het goede bereiken” yang kurang lebih berarti ’beri saya hakim yang baik, hakim komisaris yang baik, jaksa yang baik, dan petugas polisi yang baik, dan walaupun saya dibekali dengan kitab undang-undang pidana yang buruk, saya akan dapat melaksanakan tugas dengan baik’.
Urgensi RUU Perampasan Aset
Minimnya perampasan aset terhadap para pejabat yang memiliki aset berlimpah dan diduga terkait dengan tindak pidana korupsi sebenarnya bukan karena sama sekali tidak ada instrumen yang mengatur perihal perampasan aset ilegal terkait korupsi tersebut.
Pasal 67 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan, aparat penegak hukum dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan harta kekayaan yang diketahui, atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Bahkan, Mahkamah Agung pun telah membuat tata cara dalam penanganan aset ilegal tersebut sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya.
Kendati demikian, sejak 2013 hingga 2020, menurut penelitian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hanya terdapat empat kasus yang dirampas aset ilegalnya dengan mempergunakan instrumen Pasal 67 UU No 8 Tahun 2010 jo Perma No 1 Tahun 2013 tersebut, yakni satu kasus terkait narkotika dan tiga kasus terkait pemalsuan identitas dalam suatu bussiness email compromise (phising).
Ilustrasi
Jadi, tampak sangat jelas bahwa tidak ada satu pun perampasan aset terkait kasus korupsi dilakukan dengan memberdayakan instrumen itu.
Di sisi lain, UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun telah mengatur mekanisme perampasan aset tanpa harus terbukti tindak pidana korupsinya, yakni melalui gugatan perdata.
Ketentuan ini dapat dijumpai dalam Pasal 32, 33, 34, dan 38C UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu. Namun, apakah instrumen itu sudah dimanfaatkan secara optimal oleh aparat penegak hukum?
Kenyataan ini seharusnya menjadi bahan untuk membuka mata dan pikiran serta mengetahui secara presisi di mana letak permasalahan sebenarnya dalam pemberantasan korupsi.
Bahwa RUU Perampasan Aset nantinya dapat melengkapi dan menyempurnakan pemberantasan korupsi, hal ini tentu saja tidak dapat dimungkiri. Namun, yang paling penting adalah apakah instrumen dalam RUU Perampasan Aset tersebut nantinya akan didayagunakan secara optimal oleh aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi?
Hal ini mengingat bahwa instrumen-instrumen yang sudah tersedia pun nyatanya tidak dioptimalkan sebagaimana mestinya, alias dimubazirkan.
Berbicara mengenai pemberantasan korupsi, hal itu tidak bisa dilepaskan dari integritas aparat penegak hukumnya.
Kawanan domba
Berbicara mengenai pemberantasan korupsi, hal itu tidak bisa dilepaskan dari integritas aparat penegak hukumnya. Seistimewa apa pun instrumen persenjataan tersebut, tidak akan berarti di tangan aparat penegak hukum yang korup.
Mereka layaknya kawanan domba yang dibekali ”gigi taring” untuk membasmi gerombolan kancil, tetapi pada akhirnya kawanan domba malah saling berbagi menikmati ”rerumputan” bersama gerombolan kancil yang seharusnya ditumpas. Mereka sangat disukai oleh oknum yang korup karena mudah digembalakan dan ketika disembelih pun dagingnya tetap terasa nikmat untuk dikonsumsi.
Berbeda dengan aparat penegak hukum yang berintegritas, mereka laksana singa yang tidak segan-segan untuk menerkam dan melahap habis gerombolan kancil, bahkan tanpa gigi taring sekalipun.
Penegakan hukum terkait transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 349 triliun yang menjadi topik hangat beberapa pekan terakhir ini merupakan salah satu ujian integritas dan komitmen bagi aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, khususnya terkait perampasan aset-aset ilegal yang diduga bertalian dengan korupsi.
.
Penanganan kasus ini seharusnya juga dapat menambah daftar implementasi Pasal 67 UU No 8 Tahun 2010 jo Perma Nomor 1 Tahun 2013 ataupun Pasal 32, 33, 34 dan 38C UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 31 Tahun 1999 dalam perampasan aset ilegal.
RUU Perampasan Aset memang merupakan instrumen penting yang diperlukan dalam pemberantasan korupsi, tetapi integritas aparat penegak hukum merupakan syarat mutlak dalam pemberantasan korupsi.
Artinya, di samping terus-menerus mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset, rakyat juga harus senantiasa mendorong revolusi kultural di dalam lembaga-lembaga penegakan hukum supaya dapat secara massal melahirkan aparat penegak hukum yang berintegritas dan memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi.
Vox populi, vox dei. Mari berjuang bersama-sama, jangan pernah berhenti dan semoga keadilan berumur panjang di negeri ini!
Rendi Yudha Syahputra,Praktisi dan Pemerhati Hukum