Jumlah Kandidat DPD di Pemilu 2024 Dipastikan Turun Lagi
Jumlah kandidat DPD di Pemilu 2024 dipastikan lebih rendah dibandingkan pemilu sebelumnya. Beratnya persyaratan dan tertutupinya peran anggota DPD oleh DPR di Parlemen diduga sebagai penyebabnya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kandidat yang berkompetisi untuk merebut kursi Dewan Perwakilan Daerah di Pemilu 2024 dipastikan lebih rendah dibandingkan pemilu sebelumnya. Tren penurunan ini telah terjadi sejak Pemilu 2014. Beratnya persyaratan, mengingat daerah pemilihannya mencakup satu provinsi, diduga menjadi kendala bagi tiap bakal bakal calon memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah tersebut.
Merujuk catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilu 2014 diikuti 945 calon tetap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemilu 2019 sebanyak 811 calon tetap. Untuk Pemilu 2024, berdasarkan bakal calon peserta Pemilihan DPD yang telah mengajukan persyaratan, jumlahnya terbatas 622 orang. Dipastikan jumlah calon tetap nantinya tidak akan melebihi angka itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dari 38 provinsi, setelah dilakukan pemekaran provinsi di Papua, bakal calon anggota DPD pada Pemilu 2024 terbanyak berasal dari Jawa Barat, berjumlah 55 orang. Jumlah bakal calon paling sedikit dari DI Yogyakarta, berjumlah 9 orang. Para bakal calon ini harus berjuang memperoleh dukungan suara karena hanya tersedia empat kursi di DPD untuk setiap provinsi.
Anggota KPU Idham Holik, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (24/4/2023), mengatakan, sebelumnya ada 1.100 orang membuat akun di aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) untuk mengunggah persyaratan sebagai calon peserta Pemilihan DPD. Namun, dari jumlah sebanyak itu ada yang tak memenuhi syarat dan gugur, sehingga tersisa 622 yang bisa dilanjutkan ke tahap pendaftaran berikutnya sebagai peserta pemilu.
”Antusiasme untuk mendaftar sebenarnya tinggi. Akan tetapi, kesiapan mereka dalam pencalonan itu yang kurang. Banyak dari bakal calon yang gugur karena tidak memenuhi syarat,” ujarnya.
Menurut Idham, berdasarkan informasi yang dikumpulkannya dari anggota KPU Daerah, ada beberapa faktor yang menyebabkan gugurnya bakal calon. Hal itu di antaranya karena bakal calon terbentur dengan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan calon, yakni putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan No 12/PUU-XXI/2023. Setiap putusan itu menyatakan calon DPD tidak boleh menjadi kader dari partai politik dan bagi mantan narapidana perlu menunggu lima tahun untuk mencalonkan diri.
Peneliti ahli utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menuturkan, pencalonan DPD lebih berat ketimbang DPR ataupun DPRD karena daerah pemilihan mereka mencakup satu provinsi. Hal ini menjadi pertimbangan para bakal calon peserta pemilu untuk melenggang ke Parlemen, Senayan, Jakarta.
”Dari faktor ini saja, bisa dibayangkan betapa besar modal dan jangkauan kenalan yang dibutuhkan calon untuk berkompetisi. Hal ini membuat orang akan berpikir-pikir untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD,” ungkapnya.
Mungkin tidak hanya sistem yang harus dievaluasi, tetapi juga peran DPD itu sendiri. Apakah saat lembaga DPD hilang, masyarakat akan sadar bahwa ada sesuatu yang hilang?
Di sisi lain, calon anggota DPD terpilih juga akan tertutupi perannya oleh DPR. Padahal, anggota DPD representasi satu provinsi, sehingga seharusnya suara anggota DPD lebih didengar untuk pembuatan kebijakan di level nasional. Karena, pada dasarnya, DPD berperan sebagai penyeimbang dari kepentingan anggota DPR agar kebijakan yang dilahirkan lebih rasional dan matang.
Menurut Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta, besarnya peran DPD tidak seimbang dengan sorotan publik yang diterima. Selain publik, berdasarkan pemantauan KIPP, perhatian KPU terhadap keluhan bakal calon DPD juga minim.
Dia melanjutkan, ingar-bingar Pemilu 2024 juga lebih didominasi oleh pembahasan calon presiden dan calon wakil presiden. Ini merupakan akibat dari pemilu yang berlangsung secara serentak. ”Mungkin tidak hanya sistem yang harus dievaluasi, tetapi juga peran DPD itu sendiri. Apakah saat lembaga DPD hilang, masyarakat akan sadar bahwa ada sesuatu yang hilang?” tutur Kaka.
Kelembagaan dan hubungan DPD, lanjutnya, menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Hal ini mencakup koneksi antara DPD dan pemerintah serta DPD dan DPR.