Pengetatan syarat bagi eks narapidana yang ingin menjadi calon anggota DPR dan DPRD tidak berlaku bagi calon anggota DPD. Kondisi ini berpotensi membuat bekas narapidana membanjiri pencalonan anggota DPD.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bisa dibanjiri eks narapidana. Ini terutama jika syarat jeda lima tahun yang sudah diberlakukan bagi calon anggota DPR dan DPRD tidak diberlakukan untuk calon anggota DPD. Karena itu, Mahkamah Konstitusi diminta memberlakukan syarat yang sama bagi calon anggota DPD.
Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pangestu mengatakan, pemantauan tahapan pencalonan anggota DPD di sejumlah provinsi oleh JPPR menemukan adanya bekas narapidana yang ikut mendaftar, antara lain di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bengkulu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Proses penelusuran mantan narapidana yang mendaftar sebagai bakal calon anggota DPD masih dilakukan. Kemungkinan jumlahnya bisa bertambah,” ujar Aji saat dihubungi, Minggu (22/1/2022).
Mereka yang berstatus eks narapidana bisa mendaftar menjadi calon anggota DPD meski baru bebas dari lembaga pemasyarakatan karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu membolehkannya. Hal ini berbeda dengan syarat untuk maju menjadi calon anggota DPR dan DPRD bagi mereka yang berstatus eks narapidana.
Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022, eks terpidana yang akan mengikuti pencalonan anggota DPR dan DPRD harus terlebih dulu melewati jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Menurut Aji, syarat pencalonan DPD semestinya diberlakukan sama dengan pencalonan DPR dan DPRD. Terlebih, syarat serupa telah berlaku untuk calon kepala daerah di pemilihan kepala daerah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, khawatir ketiadaan aturan masa jeda lima tahun bagi bekas narapidana yang ingin menjadi calon anggota DPD membuat pendaftaran ”senator” akan dibanjiri eks narapidana.
Sebab, para eks narapidana yang tidak memenuhi syarat pencalonan anggota DPR dan DPRD karena belum melewati masa jeda bisa saja kemudian mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa berbuat banyak terkait hal itu.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, penyelenggara pemilu menjalankan seluruh tahapan pemilu berdasarkan undang-undang. Dalam putusan MK No 87/PUU-XX/2022 yang diperketat syarat pencalonannya hanya untuk DPR dan DPRD. Karena itu, pihaknya tidak menerapkan aturan jeda lima tahun bagi eks narapidana yang akan mendaftar menjadi calon anggota DPD.
”Selama belum ada putusan MK yang menyatakan norma di persyaratan pencalonan DPD (di Undang-Undang Pemilu) tidak bertentangan dengan konstitusi, norma tersebut masih berlaku,” kata Idham.
Uji materi ke MK
Adanya pembedaan syarat antara eks narapidana yang ingin menjadi calon anggota DPR, DPRD, dengan DPD itu yang mendorong Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materi pasal terkait syarat pencalonan DPD ke MK. Permohonan yang telah didaftarkan pada 13 Januari lalu itu diwakili Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati.
Tak hanya itu, mengingat tahapan pemilu sudah berjalan sejak Juni 2022, MK juga diminta memprioritaskan penanganan perkara itu. Mengacu pada tahapan dan jadwal Pemilu 2024 yang dibuat KPU, tahap pencalonan anggota DPD sudah berjalan sejak 6 Desember 2022 dan akan berakhir pada 25 November 2023.
”Untuk menjamin kepastian hukum terhadap syarat calon anggota DPD, khususnya terkait pengaturan bagi mantan terpidana untuk menjadi calon anggota DPD, penting agar permohonan ini diperiksa dan diadili sesegera mungkin dan dijadikan prioritas,” kata Heroik Pratama, salah satu kuasa hukum pemohon, Sabtu (21/1).
Perludem mempersoalkan ketentuan Pasal 182 Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya kalimat, ”Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Sebelumnya, MK sudah menjatuhkan putusan untuk memperketat syarat pencalonan bagi kandidat dalam pemilihan kepala daerah melalui putusan Nomor 56/PUU-XVII/ 2019 dan anggota DPR dan DPRD melalui putusan Nomor 87/PUU-XX/2022. Pengetatan itu, antara lain, dilakukan dengan mengatur eks terpidana yang akan mengikuti kandidasi harus melewati jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Kedua putusan tersebut tidak berlaku bagi calon anggota DPD. Padahal, DPD memiliki kewenangan yang cukup luas dan berada di level nasional sehingga akan memengaruhi kebijakan publik secara luas.
”Apalagi secara jenis pemilihan, pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPR dan DPRD sama-sama jabatan elected official, yang dipilih melalui proses pemilu. Artinya, persyaratan untuk satu masalah yang sama mesti diatur sama,” tambah Heroik.
Perbedaan persyaratan bagi calon anggota DPD dengan calon anggota DPR/DPRD akan membuat ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu, MK diminta menyatakan Pasal 182 Huruf g UU No 7/2017 inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan tafsir persyaratan calon anggota DPR dan DPRD, termasuk juga syarat calon kepala daerah.
Selain dapat menciptakan ketidakpastian hukum, DPD dipandang memiliki kewenangan strategis. Itulah sebabnya, kehadiran anggota DPD yang berintegritas sangat penting. Untuk itu, menjadi penting memperketat syarat pencalonan anggota DPD.