Ratusan Nama Diduga Dicatut untuk Dukungan Bakal Calon DPD
Bawaslu menerima setidaknya 313 aduan warga yang nama dan nomor induk kependudukan mereka diduga dicatut oleh 164 bakal calon anggota DPD untuk memenuhi syarat dukungan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pencatutan nama dan nomor induk kependudukan disinyalir kembali terjadi dalam proses penentuan peserta Pemilu 2024. Kali ini dalam tahapan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Untuk mencegah upaya pencatutan, publik bisa berpartisipasi mengecek melalui laman situs yang disiapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty, melalui keterangan tertulis, Selasa (24/1/2023), mengatakan, posko aduan Bawaslu di 21 provinsi menerima setidaknya 313 aduan masyarakat serta pengawas pemilu yang mengaku dicatut nama dan nomor induk kependudukan oleh bakal calon anggota DPD. Laporan masuk ke posko baik secara luring maupun daring melalui link aduan masyarakat yang dipublikasikan di masing-masing situs dan media sosial Bawaslu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dari total aduan yang masuk, paling banyak dari Aceh, yaitu 56 aduan, dan Jawa Barat 29 aduan. Sisanya tersebar di 19 provinsi lainnya. Pencatutan itu diduga dilakukan 164 bakal calon anggota DPD. Adapun total bakal calon anggota DPD hingga kini, menurut data dari KPU, 800 orang.
”Terhadap temuan itu, Bawaslu menginstruksikan seluruh jajaran untuk menyurati KPU agar mengoreksi dan menghapus data nama-nama yang dicatut,” ujar Lolly.
Hingga Kamis (19/1), dari total 313 aduan, Bawaslu sudah menindaklanjuti 224 aduan ke KPU. Sisanya, sebanyak 89 aduan, belum ditindaklanjuti dan akan digabung dengan data aduan terkini yang masuk ke posko Bawaslu.
Publik bisa mengecek sendiri apakah nama dan NIK dicatut sebagai dukungan bakal calon anggota DPD tertentu melalui laman yang dibuat KPU, yakni infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Cari_nik_pendukung.
Menanggapi adanya dugaan pencatutan tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, setiap laporan yang masuk ke Bawaslu akan dianalisis dan dibuktikan keabsahannya. Berbeda halnya jika itu temuan dari KPU, maka akan langsung dilakukan verifikasi faktual atau memverifikasi langsung kepada orang yang mengaku nama dan NIK-nya dicatut.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, syarat bagi calon peserta pemilu perseorangan DPD adalah menyerahkan syarat dukungan minimal dari publik. Jumlah dukungan minimal disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi tempat bakal calon DPD mendaftar. Adapun dukungan dibuktikan dengan surat pernyataan mendukung bakal calon serta menyertakan fotokopi KTP.
Dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD disebutkan, jika ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja digandakan bakal calon anggota DPD terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon dikenai pengurangan jumlah dukungan sebanyak 50 kali temuan bukti data palsu atau data yang digandakan.
Jadi, jika ditemukan satu dukungan ganda atau palsu bagi bakal calon, jumlah dukungan yang telah dihimpun akan dianggap berkurang 50 orang dan berlaku kelipatannya.
Menurut Hasyim, tak menutup kemungkinan KPU menjatuhkan sanksi administratif itu kepada bakal calon yang terbukti memalsukan dokumen dukungan. ”Namun, untuk itu, harus ada pembuktian terlebih dahulu karena pemalsuan itu, kan, tindak pidana pemilu sehingga harus didahului putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati, Bawaslu juga bisa memproses laporan pencatutan itu ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Dengan demikian, dugaan pemalsuan dokumen itu bisa diproses pidana di kepolisian dan kejaksaan.
”Bawaslu perlu menindaklanjuti dengan memanggil bakal calon yang dilaporkan. Karena sudah ada laporan resminya, jika memang terbukti memalsukan atau memanipulasi, bisa jadi statusnya (bakal calon anggota DPD) menjadi tidak memenuhi syarat,” tuturnya.
Pencatutan nama dan NIK sebelumnya ditemukan saat proses verifikasi partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024. Kala itu KPU dan Bawaslu menemukan banyak warga yang dicatut nama dan NIK mereka sebagai anggota parpol tertentu. Bahkan, anggota KPU dan Bawaslu ada yang dicatut. Untuk menjadi peserta pemilu, parpol memang diwajibkan memenuhi persyaratan keanggotaan dalam jumlah tertentu.
Sementara itu, terkait dengan aturan pencalonan DPD bagi mantan narapidana, KPU menyatakan tetap mengacu pada Undang-Undang Pemilu. Dengan kata lain, tak ada syarat harus jeda lima tahun setelah menjalani masa pidana seperti yang berlaku bagi calon anggota DPR dan DPRD yang berstatus sebagai eks narapidana.
KPU belum bisa memberlakukan syarat tersebut pada calon anggota DPD karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru, yakni putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022, hanya menerapkan syarat jeda lima tahun itu bagi calon anggota DPR dan DPRD.
Menurut Hasyim, menjelang Pemilu 2019, KPU pernah membuat aturan jeda minimal lima tahun bagi calon anggota DPD berstatus mantan narapidana, selain calon anggota DPR dan DPRD yang juga berstatus sama. Namun, aturan itu digugat dan kemudian dibatalkan di Mahkamah Agung.
KPU tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Alhasil, terkait dengan pencalonan anggota DPD berstatus mantan narapidana, KPU masih menunggu hasil uji materi pasal terkait syarat pencalonan DPD di UU Pemilu yang tengah diajukan oleh Perludem di MK.
Dugaan kecurangan
Adapun menyangkut laporan dugaan pelanggaran etik kecurangan dalam proses verifikasi faktual parpol, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito mengatakan, laporan dari anggota KPU Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, sudah memenuhi syarat administratif ataupun materiil sehingga bisa segera disidangkan. Penentuan jadwal sidang menurut rencana akan diputuskan dalam rapat internal DKPP, hari ini.
Dalam laporan pengaduan itu, komisioner KPU RI, Idham Holik, menjadi salah satu pihak yang diadukan. Sebelumnya, satu laporan terkait perkara yang sama sudah dicabut oleh pelapor dari Murung Raya, Kalimantan Tengah. Padahal, laporan sudah dinyatakan memenuhi syarat materiil oleh DKPP. Namun, DKPP menghargai keputusan dari prinsipal ataupun kuasa hukumnya itu.