Ada 800 orang yang menyerahkan dukungan minimal pemilih pada tahap pencalonan anggota DPD di Pemilu 2024. Jumlah ini berpotensi berkurang pada tahap verifikasi sehingga diproyeksikan jadi yang terendah sejak 2004.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Saat ini pencalonan anggota DPD di Pemilu 2024 memasuki tahap perbaikan dukungan minimal.
Ada 800 orang yang menyerahkan dukungan minimal calon anggota DPD. Adapun di Pemilu 2019 ada 807 calon, 945 calon (2014), 1.116 calon (2009), dan di 2004 ada 920 calon masuk DCT.
Penurunan peminat kursi DPD ini diduga karena minimnya peranan DPD dalam ketatanegaraan Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun jumlah kursi Dewan Perwakilan Daerah yang diperebutkan di Pemilu 2024 bertambah seiring dengan penambahan empat daerah otonom baru, peminatnya justru berpotensi menjadi yang terendah dalam lima pemilu terakhir. Penurunan ini dikhawatirkan membuat eksistensi lembaga perwakilan daerah kian terancam dan publik menganggapnya tidak lagi penting.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, di Jakarta, Selasa (17/1/2022), mengatakan, 800 orang telah menyerahkan dukungan minimal pemilih pada tahap pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di 38 provinsi. Namun hingga tahap verifikasi administrasi dukungan yang berakhir 12 Januari, sebagian harus melakukan perbaikan karena belum memenuhi syarat dukungan minimal.
Mereka perlu mengumpulkan lagi kartu tanda penduduk elektronik di masa perbaikan dan penyerahan dukungan minimal pemilih perbaikan pertama pada 16-22 Januari. Jumlah bakal calon anggota DPD itu masih bisa berkurang karena mereka harus melalui berbagai tahapan sebelum ditetapkan sebagai daftar calon tetap (DCT), 25 November 2023. Para bakal calon anggota DPD memenuhi syarat dukungan minimal masih harus melewati tahap pendaftaran yang di dalamnya ada verifikasi administrasi sehingga jumlah bakal calon masih bisa berkurang.
Meski penetapan DCT masih sekitar 10 bulan lagi, bisa dipastikan jumlah calon anggota DPD di Pemilu 2024 akan menjadi yang paling rendah dalam lima pemilu terakhir. Padahal di Pemilu 2024, kursi DPD yang diperebutkan justru bertambah karena jumlah provinsi mencapai 38 provinsi setelah pemekaran di Papua dan Papua Barat. Dengan di provinsi ada empat kursi yang diperebutkan, akan ada 152 kursi DPD yang tersedia di Pemilu 2024.
Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 ada 807 calon yang masuk dalam DCT anggota DPD, sedangkan di Pemilu 2014 ada 945 kandidat, di Pemilu 2009 ada 1.116 kandidat, dan di Pemilu 2004 ada 920 calon anggota DPD.
Salah seorang anggota DPD periode 2019-2024 yang tidak mencalonkan diri pada Pemilu 2024 adalah anggota DPD dari daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta, Jimly Asshiddiqie. Menurut dia, penurunan minat bakal calon anggota DPD disebabkan semakin banyak orang yang mengerti keterbatasan kewenangan DPD. Hal itu mengakibatkan tingkat popularitas dan kesukaan publik terhadap DPD menurun.
”Saya ke DPD dengan maksud untuk memperbaiki, tetapi ternyata tidak bisa diperbaiki dari dalam,” ucapnya.
Jimly yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai, lembaga DPD harus dievaluasi karena ada atau tiadanya lembaga ini untuk negara tetap sama saja. Oleh sebab itu, perlu diperlukan perbaikan secara kelembagaan melalui amendemen konstitusi tentang DPD.
Ia mengusulkan, DPD dibubarkan dan diubah menjadi fraksi utusan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, wakil daerah bisa ikut memutuskan kebijakan DPR. Sementara utusan golongan dihidupkan menjadi fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sifatnya ad hoc, hanya untuk persidangan MPR sekali dalam setahun. ”Dengan begitu, perwakilan dan permusawaratan rakyat di DPR dan MPR tidak hanya diisi oleh perwakilan partai politik,” ujarnya.
Sementara itu, anggota DPD dari dapil Jawa Tengah, Abdul Kholik yang memilih tetap mencalonkan diri pada Pemilu 2024 menilai, secara normatif kewenangan DPD memang lebih terbatas dibandingkan DPR. Namun, DPD lahir dari amendemen UUD 1945 dan menjadi anak kandung reformasi yang memiliki visi sebagai penyambung aspirasi daerah dan melengkapi DPR sebagai perwakilan politik.
Menurut dia, kewenangan yang ada dapat dioptimalkan dalam menjalankan fungsi konstituensi ataupun agregasi kepentingan daerah. Inisiasi dan inovasi dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan mesti bisa memberikan manfaat bagi daerah. ”Saya berpandangan DPR dan DPD sama pentingnya dalam konteks keterwakilan kita. Keduanya bisa saling melengkapi untuk mewujudkan parlemen yang modern dan efektif serta mewakili komponen yang lebih lengkap,” tutur Kholik.
Sementara itu, bagi anggota DPD dari dapil Papua Barat, Filep Wamafma, kewenangan DPD masih sangat baik sehingga ia memilih tetap maju sebagai calon anggota DPD di Pemilu 2024. Sebab, DPD masih sangat dibutuhkan, terutama di era otonomi daerah yang membutuhkan saluran kepentingan daerah kepada pemerintah.
Selama menjadi anggota DPD sejak 2019, ia menilai DPD memiliki peran penting dalam beberapa kebijakan, di antaranya Pansus Papua pada 2019, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, pembentukan empat daerah otonom baru di Papua, serta rekrutmen anggota TNI/Polri agar mengutamakan orang asli Papua. DPD membawa aspirasi daerah dan sebagian diterima sehingga berdampak pada kesejahteraan masyakat di daerah.
”DPD punya kemampuan dan representasi yang kuat untuk memperjuangkan daerah, tetapi kembali ke orientasi setiap wakil rakyat. Sebab DPD adalah lembaga sebagai sarana yang digunakan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah,” kata Filep.
Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pangestu menuturkan, penyelenggara pemilu mesti menganalisis penyebab menurunnya peminat calon anggota DPD. Menurut dia, ada beberapa faktor yang bisa membuat peminat DPD kian tergerus. Pertama, makin banyak yang menyadari kewenangan DPD hanya sebatas mengusulkan kebijakan yang berkaitan dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah serta pengawasan pelaksanaan otonomi daerah.
”Bakal calon anggota DPD akhirnya memikirkan ulang usaha dalam mengumpulkan dukungan dan ongkos politik dengan kewenangannya menjadi tidak sebanding,” ungkapnya.
Selain itu, KPU mesti meningkatkan sosialisasi secara formal maupun secara substansial tentang pentingnya lembaga DPD dalam pengawasan pelaksanaan otonomi daerah. Sosialisasi tentang persyaratan sebagai calon anggota DPD juga harus ditingkatkan agar setiap bakal calon anggota DPD bisa mempersiapkan persyaratan sejak awal.
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, menurunnya animo pendaftar calon anggota DPD ,di antaranya, karena persyaratan berupa dukungan pemilih dianggap lebih berat dibandingkan persyaratan untuk menjadi calon anggota DPR. Selain itu, kontestasi memperebutkan kursi DPD dianggap lebih berat karena dalam satu provinsi hanya ada empat kursi.
”Konsekuensinya, dibutuhkan stamina dan dukungan finansial yang tidak sedikit,” katanya,
Selain itu, kewenangan DPD yang lemah membuat lembaga ini dianggap tidak mampu berperan banyak dalam praktik ketatanegaraan Indonesia. Apalagi dalam praktiknya, banyak terjadi konflik di antara anggota DPD yang membuat mereka lebih dikenali karena kontroversinya daripada prestasi kerja mereka sesuai tugas dan wewenangnya.
”Akhirnya muncul stigma pada DPD yang butuh legitimasi tinggi untuk terpilih, tetapi kewenangannya sangat minim sehingga dianggap kurang sepadan dengan ongkos politiknya,” tutur Titi.
Menurunnya jumlah bakal calon anggota DPD, menutur dia, membuat pilihan bagi pemilih semakin terbatas. Kondisi tersebut bisa menguatkan kemunculan dinasti politik atau politik kekerabatan di daerah karena mereka cenderung lebih stabil dalam hal jaringan dan dukungan finansial. Eksistensi DPD juga menjadi kian terancam yang berujung pada apatisme publik karena menganggap lembaga ini tidak penting.
”Pembenahan harus serius dilakukan, mulai dari menata kewenangan yang lebih berimbang dan bermakna bagi DPD sebagai perwakilan daerah yang diharapkan bisa benar-benar membawa suara dan kepentingan daerah secara optimal,” ujar Titi.