Mendagri: Pemerintah Akan Kaji Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kades
Kemendagri akan kaji tuntutan para kades yang tergabung di Apdesi agar masa jabatan kades diperpanjang, dari 6 jadi 9 tahun. Jika tunjukkan hal positif, aspirasi akan diakomodasi. Jika sebaliknya, dipertahankan 6 tahun.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pemerintah masih akan mengkaji dampak positif dan negatif tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Hasil kajian itu akan disampaikan ke DPR yang saat ini sudah memproses revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi inisiatif DPR.
Ditemui saat acara Rapat Koordinasi Inspektur Daerah seluruh Indonesia di Jakarta, Rabu (25/1/2022), Tito mengatakan, menanggapi demo dan aspirasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun, Kemendagri masih aman mengkaji terlebih dahulu. Jika hasil kajian menunjukkan banyak sisi positifnya, tidak menutup kemungkinan aspirasi itu akan diakomodasi.
Namun, jika banyak negatifnya, tak menutup kemungkinan juga pemerintah akan mempertahankan pengaturan yang ada di UU Desa sekarang, yaitu masa jabatan enam tahun dan periodisasi tiga kali masa jabatan. ”Enam tahun kali tiga sudah 18 tahun, kan lama juga,” kata Tito.
Dalam pengkajian yang dilakukan oleh Kemendagri, pemerintah akan mengundang sejumlah tokoh yang paham mengenai masalah desa seperti pegiat desa. Aspirasi lain dari Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), katanya, juga sudah diterima olehnya. Ada tiga aspirasi yang disampaikan PPDI di antaranya tentang pemberhentian jabatan perangkat desa. Mereka merasa banyak diberhentikan ketika masa jabatan kepala desa baru. Mereka juga mengeluhkan mengenai status kepegawaian perangkat desa. Mereka ingin statusnya seperti pegawai negeri.
Jika banyak negatifnya, tak menutup kemungkinan juga pemerintah akan mempertahankan pengaturan yang ada di UU Desa sekarang, yaitu masa jabatan enam tahun.
Yang ketiga adalah mereka meminta diberi penghasilan tetap. Selama ini, gaji mereka sering terlambat dibayarkan karena pengaruh pencairan dana desa yang sering terlambat. Mereka meminta penghasilan tetap yang bisa diambil dari dana perimbangan. Hal itu harus didiskusikan secara komprehensif dengan pemangku kepentingan baik Menteri Keuangan, Badan Anggaran DPR, dan lain-lain.
”Ini yang akan kami kaji terutama menyangkut revisi UU,” katanya.
Maksimal dua periode
Penggagas UU Desa, Budiman Sudjatmiko, mengungkapkan, usulan yang mengemuka dari kepala desa saat ini adalah perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun tetapi maksimal dua kali periode. Dengan usulan itu, lamanya masa jabatan kades sama dengan UU yang berlaku saat ini yaitu maksimal 18 tahun. Pengaturan periodisasi ini, menurut dia, akan memberikan peluang perkembangan demokrasi menjadi lebih sehat. Sebab, desa berkesempatan mengubah corak kepemimpinan menjadi lebih baik dalam rentang waktu 18 tahun.
”Masa jabatan sembilan tahun hingga dua periode akan menghasilkan proses demokrasi yang lebih murah dan efisien dari sisi pembiayaan. Desa tidak perlu mengeluarkan tiga kali biaya kontestasi demokrasi untuk masa jabatan maksimal selama 18 tahun,” katanya.
Politikus PDI-P itu juga berpendapat, dari sisi manfaat, masa jabatan sembilan tahun dan dua kali periode dinilai memberi kesempatan berlangsungnya kepemimpinan desa yang lebih fokus dan stabil dalam pengembangan potensi sumber daya manusia (SDM) untuk menghasilkan satu generasi unggul bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa.
Masa jabatan itu juga dapat memberikan kesempatan untuk keberlangsungan kepemimpinan desa yang mampu menjaga karakter dan budaya desa. Secara alamiah, desa adalah kelompok masyarakat berbasis tradisi dan adat budaya yang adaptif terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Selain itu, periode sembilan tahun juga dianggap bisa memberikan iklim yang lebih kondusif dan stabil untuk pembangunan ekonomi desa. Desa akan lebih mampu menjadi basis produksi dan penyedia kebutuhan ekonomi nasional yang optimal tanpa harus mengubah kebijakan ekonomi terlalu sering dalam waktu singkat.
”Berdasarkan dasar pemikiran dan manfaat itu, kami merasa perlu melakukan revisi terhadap UU Desa terkait perubahan periodisasi dan jabatan kepala Desa, dari enam tahun maksimal tiga periode menjadi sembilan tahun maksimal dua periode. Ini masih sama-sama 18 tahun,” ujarnya.
Budiman menambahkan, dasar pemikiran lain wacana itu adalah fungsi desa sebagai fondasi pembentukan karakter kebangsaan dan penjaga kedaulatan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan fungsi itu, desa dituntut memiliki stabilitas politik yang tinggi. Untuk mencapainya, salah satunya dengan mengatur dinamika kontestasi demokrasi dalam bentuk pemilihan kepala desa yang berlangsung jauh lebih panjang dibandingkan jenjang pemerintahan di atasnya, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Perpanjangan masa jabatan kepala desa dinilai sebagai solusi untuk memperkuat stabilitas politik di tingkat desa.
Periode sembilan tahun juga dianggap bisa memberikan iklim yang lebih kondusif dan stabil untuk pembangunan ekonomi desa.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), M Nur Ramadhan, mengingatkan tentang ancaman politik transaksional menuju Pemilu 2024. Presiden dan DPR adalah pihak yang memegang kewenangan legislasi sehingga besar kemungkinan wacana itu dijadikan ajang politik transaksional. Apalagi, menurut PSHK, argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa itu tidak penting dan mendesak.
Baginya, sulit untuk tidak menghubungkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dengan usulan tiga periode masa jabatan presiden. Selama ini, ide perpanjangan masa jabatan presiden tidak pernah surut. Tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa justru membuktikan bahwa jika bola liar wacana perpanjangan masa jabatan presiden tak dihentikan dengan tegas, bisa dicontoh oleh struktur kepemimpinan pada level paling bawah.
”Preseden ini menyingkap persoalan dekadensi etika kepemimpinan di tengah capaian kinerja yang minim dan justru bisa menjadi teladan buruk yang diikuti oleh para kepala desa,” ungkapnya.
PSHK pun mendesak kepada presiden dan DPR untuk menolak wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dan menunda rencana untuk merevisi UU Desa sampai setelah Pemilu 2024. Alih-alih merevisi UU Desa untuk menambah masa jabatan kepala desa, pembentuk UU diminta fokus menata pemerintahan desa. Terutama untuk menghilangkan peluang korupsi dan memperbaiki kehidupan demokrasi di tingkat bawah.
Data menunjukkan bahwa hingga 2022 ada 686 kepala desa yang terjerat korupsi dana desa. Ini menunjukkan bahwa dengan masa jabatan yang ada saat ini yaitu enam tahun saja sudah tercipta perilaku koruptif. Potensi perilaku koruptif dikhawatirkan akan semakin tinggi jika masa jabatan diperpanjang.
”Semua pihak, khususnya Apdesi, kami harapkan menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dan fokus untuk meningkatkan kehidupan demokrasi di tingkat desa,” katanya.