Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Sarat Kepentingan Politik
Revisi UU Desa seharusnya untuk pembenahan tata kelola pembangunan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, dan terkait implementasi pembangunan, bukan perpanjangan masa jabatan kepala desa .
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Sejumlah perwakilan kepala desa dari berbagai kota di Indonesia berdiri di atas panggung di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2022). Ribuan kepala desa yang tergabung ke dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka meminta pemerintah untuk merevisi Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014 pasal 39 ayat (1) tentang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Menurut massa aksi, masa jabatan 6 tahun tidak cukup untuk membenahi desa. Polarisasi warga yang sulit diredam dan cenderung memanjang akibat pemilihan kepala desa juga membuat pekerjaan kepala desa terpilih menjadi sulit untuk terealisasi dalam 6 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun rentan dipolitisasi dan sarat kepentingan politik jelang Pemilu dan Pilkada 2024. Revisi Undang-Undang Desa lebih urgen dilakukan untuk pembenahan tata kelola pembangunan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, dan terkait implementasi pembangunan seperti mengoptimalkan peran Badan Permusyawaratan Desa.
Tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa mengemuka ketika kepala desa menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023) lalu. Mereka meminta masa jabatannya ditambah karena jangka waktu enam tahun dirasa tidak cukup untuk membenahi desa. Polarisasi warga yang sulit diredam dan cenderung memanjang akibat pemilihan kepala desa juga membuat pekerjaan kepala desa terpilih menjadi sulit untuk terealisasi dalam 6 tahun.Mereka meminta agar UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa direvisi.
Pada Pasal 39 UU Desa disebutkan, kepala desa memegang jabatan selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala desa dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Politikus PDI-P, Budiman Sudjatmiko, seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka setelah unjuk rasa ribuan kades di depan Gedung DPR mengatakan, Presiden sepakat dengan tuntutan itu karena dinamika di desa berbeda dengan kabupaten atau kota pasca-pilkades. ”Saya sampaikan pernyataan beliau, beliau setuju dan tinggal dibicarakan di DPR,” katanya.
”Saya sampaikan pernyataan beliau, beliau setuju dan tinggal dibicarakan di DPR”
Momentum Pemilu 2024
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, wacana perpanjangan masa jabatan tersebut dilontarkan hanya untuk memanfaatkan momentum Pilkada dan Pemilu 2024 oleh kepala desa maupun politisi di tingkat nasional. Sebab, jumlah desa yang mencapai 83.843 (Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2021) cukup menjanjikan, terutama bagi politisi DPR dan lokal.
“Ini sangat rentan dipolitisasi terkait dengan revisi UU Desa ini,” kata Herman saat dihubungi di Jakarta, Senin (23/1/2023).
Menurut Herman, jika dilakukan revisi UU Desa, seharusnya untuk pembenahan tata kelola pembangunan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, dan terkait implementasi pembangunan. Dalam hal ini, seharusnya peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk pengawasan dan kontrol terhadap kinerja kepala desa dioptimalkan.
Fungsi BPD sangat strategis, terutama dengan banyaknya masalah kepala desa terkait kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, sejak 2012 sampai 2021 terdapat 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus.
“Ini yang mestinya dikuatkan atau diwacanakan untuk merevisi UU Desa. Bukan malah menaikkan isu memperpanjang masa jabatan. Masa jabatan 6 tahun itu waktu yang cukup untuk bisa merealisasikan visi dan misinya”
“Ini yang mestinya dikuatkan atau diwacanakan untuk merevisi UU Desa. Bukan malah menaikkan isu memperpanjang masa jabatan. Masa jabatan 6 tahun itu waktu yang cukup untuk bisa merealisasikan visi dan misinya,” kata Herman.
FAKHRI FADLURROHMAN
Ribuan kepala desa yang melakukan unjuk rasa mendengarkan penjelasan dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di atas mobil komando di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2022). Ribuan kepala desa yang tergabung ke dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka meminta pemerintah untuk merevisi Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014 pasal 39 ayat (1) tentang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Menurut massa aksi, masa jabatan 6 tahun tidak cukup untuk membenahi desa. Polarisasi warga yang sulit diredam dan cenderung memanjang akibat pemilihan kepala desa juga membuat pekerjaan kepala desa terpilih menjadi sulit untuk terealisasi dalam 6 tahun.
Ia menjelaskan, kepala desa memiliki rencana pembangunan setiap tahun. Perencanaan tersebut masih realistis bisa diselesaikan dalam waktu satu tahun anggaran.
Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa juga kontraproduktif dengan upaya demokratisasi di tingkat desa. Masa jabatan 6 tahun merupakan waktu yang cukup bagi masyarakat menilai kinerja kepala desa. Kalau kinerjanya bagus, masyarakat bisa memberikan kepercayaan lagi untuk 6 tahun berikutnya. Bahkan, mereka punya waktu hingga 18 tahun untuk menjabat ketika dipercaya masyarakat dan memiliki kinerja bagus.
“Kalau dia diberi waktu langsung 9 tahun, kalau kompetensinya itu tidak menjanjikan atau malah merugikan pembangunan desa, 9 tahun itu berlalu sia-sia”
“Kalau dia diberi waktu langsung 9 tahun, kalau kompetensinya itu tidak menjanjikan atau malah merugikan pembangunan desa, 9 tahun itu berlalu sia-sia,” ujarnya.
Herman menegaskan, dengan jumlah desa yang mencapai puluhan ribu, kepala desa memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menggalakkan dukungan, terutama dari akar rumput. Alhasil, politisi di Senayan maupun menteri memberikan pernyataan yang mendukung perpanjangan masa jabatan tersebut.
FAKHRI FADLURROHMAN
Salah satu kepala desa melakukan orasi di atas mobil komando di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2022). Ribuan kepala desa yang tergabung ke dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka meminta pemerintah untuk merevisi Undang-Undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014 pasal 39 ayat (1) tentang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Menurut massa aksi, masa jabatan 6 tahun tidak cukup untuk membenahi desa. Polarisasi warga yang sulit diredam dan cenderung memanjang akibat pemilihan kepala desa juga membuat pekerjaan kepala desa terpilih menjadi sulit untuk terealisasi dalam 6 tahun.
Menurut Herman, kepala desa menyambut dukungan tersebut untuk menggalakkan dukungan terhadap partai atau politisi tertentu yang mendukung. Bagi kepala desa, dukungan dari DPR atau politisi juga memberikan angin segar kepada mereka untuk berkuasa lebih lama. “Jadi ada semacam simbiosis mutualisme antara kepala desa dengan kepentingan elite di Jakarta terkait dengan isu perpanjangan ini,” kata Herman.
Jejak digital
Dalam konferensi pers di Jakarta yang dilasanakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPP Apdesi), Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional (DPP Abpednas), dan Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (DPN PPDI), diakui bahwa wacana perpanjangan masa jabatan ini sarat dengan kepentingan politik.
Wakil Ketua Umum DPP Apdesi Sunan Bukhari enggan menyebutkan partai politik tertentu yang ingin memanfaatkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa ini. Namun, jika melihat jejak digital, akan terlihat kepentingan perpanjangan masa jabatan kepala desa dimanfaatkan oleh partai politik. Apabila revisi ini disetujui, maka parpol akan meminta imbal balik berupa suara. Kepala desa akan mendukung partai politik yang memperjuangkan kepentingan desa.
“Ini kan suatu mutualisme yang normatif saja sebenarnya dari aksi ada reaksi,” kata Sunan.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Wakil Ketua Umum DPP Apdesi Sunan Bukhari (kedua dari kiri)
Menurut Sunan, revisi UU Desa memiliki urgensi karena masa jabatan enam tahun masih meninggalkan luka pada para pemilihnya. Di desa, terjadi tarik-menarik kepentingan dan gesekan sosial karena mereka tatap muka setiap hari antara yang mendukung dengan yang tidak mendukung. Konflik sosial itu diminimalkan dengan perpanjangan masa jabatan 9 tahun.
Ia merekomendasikan perpanjangan masa jabatan bukan 9 tahun selama 2 periode, tetapi 3 periode. Sebab, kepala desa yang sudah menjabat masa jabatan sekarang tidak bisa mencalonkan lagi.
Selain itu, kata Sunan, revisi UU Desa diperlukan menyangkut usulan 7-10 persen dana desa dari APBN yang selama ini hanya sekitar 2,56 persen. Hal itu sesuai dengan Nawacita yakni membangun Indonesia dari pinggiran.
Bisa dimobilisasi
"Jika satu desa terdapat 7 orang dan semua dimobilisasi, maka itu menjadi potensi suara yang luar biasa yakni hampir 70 persen suara nasional"
Ketua Umum DPP Abpednas Indra Utama mengatakan, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menarik bagi partai politik karena ada lebih dari 80.000 desa. Jika satu desa terdapat 7 orang dan semua dimobilisasi, maka itu menjadi potensi suara yang luar biasa yakni hampir 70 persen suara nasional.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus
Anggota Komisi II dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus, meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk melakukan kajian secara mendalam dari berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, kemasyarakatan, politik, dan sebagainya terkait masa jabatan kepala desa ini. Kajian ini harus dilakukan secara komprehensif dan obyektif, mana yang lebih menguntungkan bagi masyarakat, kepala desa, dan pemerintah.
Menurut Guspardi, jika sengkarut akibat Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) menjadi alasan perpanjangan masa jabatan kepala desa karena menimbulkan dinamika di masyarakat, maka seharusnya yang diperbaiki adalah aturan main dan tata laksana Pilkades.