MK Diminta Samakan Syarat Pencalonan DPD bagi Mantan Napi
Persyaratan pencalonan anggota DPD dipersoalkan ke MK. Dalam hal ini, MK diminta menyamakan syarat calon anggota DPD, khususnya bagi mantan napi, dengan syarat calon anggota DPR/DPRD.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi diminta untuk menyamakan syarat calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, khususnya bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri dalam Pemilu 2024, dengan syarat untuk calon anggota DPR dan DPRD. Bagi mereka yang merupakan mantan napi, ada jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana baru dapat maju dalam pemilihan anggota legislatif serta bukan pelaku kejahatan berulang.
Syarat serupa berlaku untuk calon kepala daerah. Pengaturan yang sama untuk seluruh kluster pejabat hasil pemilu (elected official) penting demi menjaga kepastian hukum.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mengingat tahapan pemilu sudah berjalan sejak Juni 2022, Mahkamah Konstitusi (MK) juga diminta memprioritaskan penanganan perkara tersebut. Mengacu pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024, tahap pencalonan anggota DPR sudah berjalan sejak 6 Desember 2022 dan akan berakhir pada 5 November 2023.
”Untuk menjamin kepastian hukum terhadap syarat calon anggota DPD, khususnya terkait pengaturan bagi mantan terpidana untuk menjadi calon anggota DPD, penting agar permohonan ini diperiksa dan diadili sesegera mungkin dan dijadikan prioritas,” kata Heroik Pratama, salah satu kuasa hukum pemohon, Sabtu (21/1/2023).
Adapun pemohon uji materi tersebut adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem. Permohonan didaftarkan pada 13 Januari lalu, tetapi hingga Sabtu (21/1/2023) belum diregister sebagai perkara konstitusi.
Perludem mempersoalkan ketentuan Pasal 182 Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya frasa, ”Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Sebelumnya, MK sudah menjatuhkan putusan untuk memperketat syarat pencalonan bagi kandidat dalam pemilihan kepala daerah melalui putusan 56/PUU-XVII/2019 dan anggota DPR dan DPRD melalui putusan 87/PUU-XX/2022. Pengetatan itu, antara lain, dilakukan dengan mengatur mantan terpidana yang akan mengikuti kandidasi harus melewati jeda waktu lima tahun setelah menjalani masa pidana.
Perbedaan persyaratan bagi calon anggota DPD dengan calon anggota DPR/DPRD akan membuat ketidakpastian hukum.
Kedua putusan tersebut tidak berlaku bagi calon anggota DPD. Padahal, DPD memiliki kewenangan yang cukup luas dan berada di level nasional sehingga akan memengaruhi kebijakan publik secara luas.
”Apalagi secara jenis pemilihan, pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPR dan DPRD, sama-sama jabatan elected official, yang dipilih melalui proses pemilu. Artinya, persyaratan untuk satu masalah yang sama, mesti diatur sama,” tambah Heroik.
Perbedaan persyaratan bagi calon anggota DPD dengan calon anggota DPR/DPRD akan membuat ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK diminta menyatakan Pasal 182 Huruf g UU No 7/2017 inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan tafsir persyaratan calon anggota DPR dan DPRD, termasuk juga syarat calon kepala daerah.
Selain itu, DPD memiliki kewenangan yang strategis dalam kaitannya dengan relasi serta urusan pusat-daerah. Misalnya, DPD bisa mengajukan rancangan undang-undang yang berkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta kewenangan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping mengajukan usulan RUU, DPD juga ikut membahas RUU dan mengawasi pelaksanaan undang-undang dalam lingkup yang sama.
Menurut pemohon, kehadiran anggota DPD yang berintegritas dan berkomitmen tinggi terhadap tugas-tugas negara menjadi sulit dibayangkan jika melihat situasi biaya politik tinggi dan integritas pejabat politik yang cenderung rendah. Sebab, biaya politik tinggi memaksa sebagian kandidat untuk memiliki relasi klientalistik dengan pemodal yang berharap manfaat setelah kandidat terpilih. Kekuasaan anggota DPD juga rentan dikanalisasi dalam bentuk keuntungan tertentu bagi pemodal atau terpaksa mengembalikan modal yang digunakan semasa kampanye.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, menjadi penting untuk mengatur persyaratan pencalonan anggota DPD, khususnya bagi mantan napi. Penting pula ditekankan mengenai ketidakberulangan kejahatan yang dilakukan, bukan pelaku kejahatan berulang atau residivis. Hal itu dibutuhkan agar anggota DPD yang terpilih di masa mendatang dapat memenuhi ekspektasi, berpihak kepada rakyat, dan mampu menguatkan otonomi daerah.