Kegamangan KPK Membayangi Pemberantasan Korupsi
Langkah KPK berantas korupsi tunjukkan keragu-raguan, baik pada kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe maupun eks KSAU Agus Supriatna. Kewenangan upaya paksa yang dimiliki pun tak juga digunakan.
Komisi Pemberantasan Korupsi tampak mengalami kegamangan dalam mengusut beberapa kasus korupsi, salah satunya perkara dugaan penerimaan suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe. Lukas hingga saat ini belum ditangkap meskipun tersangka penyuapnya sudah ditahan. Ada pula bekas KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna yang tak juga memenuhi panggilan sebagai saksi dalam sidang korupsi pengadaan helikopter AW.
KPK sebagai aparat penegak hukum telah diberikan kewenangan oleh undang-undang untukmelakukan tindakan paksa merampas kebebasan bergerak seseorang. Jika KPK tetap bersikap ragu-ragu, tidak hanya menimbulkan hambatan seperti pada kasus Lukas dan Agus, tetapi juga dikhawatirkan hal ini akan dicontoh oleh pihak-pihak lain yang berperkara dalam kasus korupsi di masa mendatang, baik saksi maupun tersangka.
Kegamangan tersebut sudah terlihat sejak awal penetapan tersangka terhadap Lukas pada September 2022. Informasi penetapan tersangka terhadap Lukas justru pertama kali disampaikan oleh kuasa hukum Lukas, Roy Rening, seusai bertemu dengan Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal (Pol) Asep Guntur di Markas Brimob Papua. Informasi dari Roy tersebut diperkuat dengan pencegahan Lukas bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sehari kemudian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan adanya transaksi tidak wajar dan tidak sesuai profil dalam sejumlah rekening milik Gubernur Papua Lukas Enembe. KPK baru membenarkan status Lukas sebagai tersangka dua hari kemudian melalui Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Pada 19 September 2022, KPK dan PPATK bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melakukan konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta. Dalam konferensi pers tersebut, PPATK menyampaikan adanya aktivitas perjudian itu diduga dilakukan Lukas di dua negara berbeda. PPATK juga menemukan setoran tunai sebesar 5 juta dollar Singapura yang di antaranya digunakan untuk pembelian perhiasan dan jam tangan dengan harga 55.000 dollar Singapura atau senilai Rp 550 juta.
Baca juga: Kasus Lukas Enembe Kian Terang
”Salah satu hasil analisis itu adalah terkait dengan transaksi setoran tunai yang bersangkutan di kasino judi senilai 55 juta dollar (Singapura) atau Rp 560 miliar. Itu setoran tunai dilakukan dalam periode tertentu,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.
Menurut Ivan, temuan setoran uang ke kasino itu merupakan sebagian dari sejumlah transaksi yang diduga melibatkan Lukas. Selama lima tahun, PPATK menemukan 12 transaksi terkait keuangan Lukas sebagai Gubernur Papua, dengan variasi setoran tunai dan setoran ke pihak lain sebesar Rp 1 miliar sampai ratusan miliar rupiah.
Dengan ditemukannya sejumlah transaksi mencurigakan itu, PPATK lalu membekukan dan menghentikan transaksi kepada sebelas jasa keuangan seperti asuransi serta bank yang terkait dengan Lukas. Nilai transaksi yang dibekukan lebih dari Rp 71 miliar, yang mayoritas dilakukan anak Lukas.
Pada kesempatan yang sama, Mahfud MD mengatakan, kasus lain yang diduga dilakukan Lukas adalah terkait dengan dana operasional pengelolaan Pekan Olahraga Nasional Papua dan pencucian uang yang nilainya ratusan miliar rupiah (Kompas, 20/9/2022).
Setelah konferensi pers tersebut, KPK beberapa kali meminta Lukas datang ke Jakarta. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun meminta semua pihak menghormati proses hukum di KPK. Namun, Lukas tetap tidak datang ke KPK dengan alasan sakit. Penasihat hukumnya meminta izin kepada KPK agar Lukas bisa berobat ke Singapura.
Roy menyampaikan bahwa kondisi kesehatan Lukas memburuk karena mengalami gejala sakit ginjal, jantung, diabetes, dan tekanan darah tinggi sehingga dokter meminta Lukas tidak boleh dalam tekanan. Lukas juga disebutnya mempunyai riwayat empat kali stroke.
Anak dan istri Lukas juga tidak memenuhi panggilan KPK di Jakarta dan meminta diperiksa di Papua.
Anak dan istri Lukas juga tidak memenuhi panggilan KPK di Jakarta dan meminta diperiksa di Papua. Sebelumnya rekening Lukas pun diblokir oleh PPATK. Kemudian, KPK juga memblokir rekening bank istri Lukas, Yulce Wenda.
Karena Lukas tak juga memenuhi panggilan pemeriksaan di Jakarta, KPK mendatangi Lukas di Papua. Empat dokter dari KPK dan Ikatan Dokter Indonesia Papua memeriksa Lukas di kediaman pribadinya di daerah Koya Tengah, Kota Jayapura, Papua, pada 3 November 2022. Pemeriksaan tersebut juga dihadiri Ketua KPK Firli Bahuri.
Baca juga: KPK Tegaskan Pemeriksaan Gubernur Lukas Enembe Sesuai Prosedur Hukum
Dua bulan setelah pemeriksaan tersebut, KPK akhirnya menahan tersangka penyuap Lukas, yakni Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka, terkait proyek pembangunan infrastruktur di Papua pada Kamis (5/1/2023). Ketika Rijatono sudah ditahan, Lukas yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka justru masih menghirup udara bebas. Bahkan, akhir tahun lalu masih bisa meresmikan sejumlah bangunan pemerintah di Papua.
Butuh waktu
Pada Jumat (6/1/2023), di Jakarta, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menegaskan bahwa KPK pasti melakukan upaya penahanan terhadap seorang tersangka. KPK masih membutuhkan waktu untuk proses penahanan terhadap Lukas. Saat ini, KPK fokus mengumpulkan alat bukti terkait aliran dana dalam kasus Lukas seperti telah memeriksa terhadap 65 saksi.
KPK tidak hanya memeriksa di Jakarta dan Papua, tetapi juga ke Batam, Sulawesi, dan Medan. Mereka tidak hanya memeriksa saksi, tetapi juga melakukan penggeledahan untuk menelusuri dugaan uang yang diterima oleh Lukas, termasuk penerimaan yang berubah menjadi aset yang bernilai ekonomis.
”Justru itu menjadi lebih penting ya dalam penyidikan. Baru kemudian kalau kita bicara bukti, kan, sesungguhnya keterangan tersangka itu salah satu alat bukti,” kata Ali. Ia menjelaskan, ketika tersangka diam saat diperiksa, hal itu tidak memengaruhi pembuktian.
KPK pernah mengalami berkasnya dikembalikan oleh pengadilan karena tidak memenuhi syarat, tersangka sakit, dan lain-lain sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Karena itu, kata Ali, lebih baik KPK mengumpulkan alat bukti secara menyeluruh. Setelah lengkap, baru tersangka diserahkan kepada jaksa penuntut umum.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menampik bahwa KPK seolah lemah dalam menangani perkara Lukas. Ia menegaskan, dalam penanganan perkara ini, KPK tidak bergerak sendiri. Mereka berkoordinasi dengan aparat setempat dari Kepala Polda Papua, Komando Distrik Militer (Kodim), dan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) untuk mengakses situasi di Jayapura, Papua. KPK tidak menghendaki adanya efek seperti konflik horizontal dari penjemputan paksa terhadap Lukas.
”Bukan kami tidak tegas, bisa saja kami jemput paksa. Terkait dengan efek sampingannya nanti. Kalau masyarakat nanti yang dirugikan terjadi konflik, tentu itu yang tidak kami kehendaki. Untuk itu, kami menunggu informasi dari aparat setempat apakah memungkinkan untuk dilakukan penahanan dan seterusnya, termasuk penjemputan,” kata Alexander.
Menurut Alexander, jika Lukas kooperatif bersedia ke Jakarta, akan berdampak baik juga untuk masyarakat. Jalannya pemerintahan di Papua akan lebih bagus karena Lukas sudah lama tidak bekerja di kantor gubernur, tetapi di rumah yang bersangkutan. Hal tersebut membuat jalannya roda pemerintahan sudah agak terganggu.
Baca juga: Lukas Enembe Diduga Bertransaksi Rp 560 Miliar di Kasino Judi
”Ini juga harus jadi perhatian dari bapak LE (Lukas) maupun PH (penasihat hukum)-nya. Jangan sampai karena peristiwa ini, publik jadi terganggu,” kata Alexander.
Asep Guntur pun menegaskan bahwa KPK akan berusaha menangkap para tersangka, termasuk bekas calon anggota legislatif dari PDI-P Harun Masiku dan buron lainnya. Ia mengungkapkan, Harun diketahui ada di luar negeri. Namun, Asep enggan menjelaskan secara detail lokasinya. KPK masih berkoordinasi dengan beberapa agensi dari luar negeri dan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Sebelumnya, Silmy Karim,saat dilantik sebagai Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Rabu (4/1/2023), mengatakan bahwa ia akan mempelajari kasus Harun Masiku yang telah masuk daftar pencarian orang (DPO) pada 2020.
Bukan hanya belum dapat menahan Lukas, saat ini KPK juga belum mampu menghadirkan eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna sebagai saksi dalam sidang korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 tahun 2016-2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Korupsi ini ditaksir merugikan keuangan negara Rp 738,9 miliar.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/10/2022), disebutkan bahwa Agus menerima aliran dana Rp 17,7 miliar. Selain Agus, kasus ini diduga juga memperkaya dua korporasi, yakni Agusta Westland sebesar 29,5 juta dollar AS atau setara Rp 391,6 miliar dan Lejardo Pte Ltd sebesar 10,9 juta dollar AS atau setara Rp 146,3 miliar.
KPK juga belum mampu menghadirkan eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna sebagai saksi dalam sidang korupsi pengadaan helikopter.
Upaya paksa
Menurut peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, KPK mengalami kegamangan dalam menindak beberapa perkara, salah satunya terkait Lukas. Kegamangan tersebut menyebabkan para pihak yang terkait, baik tersangka maupun saksi, menjadi tidak menghormati KPK sebagai lembaga penegak hukum yang sedang menjalankan undang-undang.
Baca juga: Hakim Meminta KPK Panggil Paksa Mantan KSAU Agus Supriatna
”Wujud tidak hormatnya para pihak tersebut misalnya tidak bersedia menghadiri panggilan sebagai saksi dalam persidangan, misalnya eks KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna (kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 tahun 2016-2017). Dalam kasus Lukas Enembe ada resistensi dari Lukas Enembe ketika KPK melakukan pemeriksaan. Resistensi tersebut didasarkan pada alasan kesehatan,” tutur Zaenur.
Ketika dikonfirmasi, Agus mengaku tidak pernah menerima surat panggilan untuk menjadi saksi di persidangan. Sementara itu, Roy selaku kuasa hukum Lukas tak kunjung merespons telepon dan pesan singkat dari Kompas setelah Rijatono Lakka ditahan KPK.
Zaenur melihat, KPK tidak menggunakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang pada kondisi seorang tersangka tidak kooperatif. Padahal, KPK mempunyai kewenangan upaya paksa seperti penangkapan. Upaya paksa itu merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada aparat penegak hukum untuk melakukan satu tindakan paksa merampas kebebasan bergerak seseorang.
Seorang tersangka yang tidak kooperatif seharusnya ia dipanggil secara layak. Ketika tersangka tersebut tidak datang dan menggunakan alasan yang belum diuji, maka KPK dapat melakukan upaya paksa.
”Menurut saya, alasan sakit itu tidak kuat. Kenapa? Karena, misalnya, di dalam pemberitaan kita melihat Lukas Enembe beraktivitas dalam acara-acara di pemerintah provinsi, meresmikan gedung dan lain-lain,” ujar Zaenur.
Ia menambahkan, apabila Lukas beralasan sakit, KPK dapat melakukan perawatan kesehatan, tetapi tetap menjalani proses hukum. Dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menentukan kondisi Lukas sehat atau sakit.
Dengan ketidaktegasan KPK di awal penanganan kasus ini, menurut Zaenur, posisi KPK sudah cukup berisiko karena Lukas bisa menggalang massa untuk melakukan penghalang-halangan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh KPK.
Menurut Zaenur, saat ini KPK harus segera merancang tindakan upaya paksa untuk membawa Lukas ke Jakarta agar bisa dilakukan proses hukum seperti penyidikan dan dinaikkan ke penuntutan. Apabila Lukas mengalami sakit dalam proses tersebut, KPK bisa merawatnya dengan merujuk ke rumah sakit.
Demikian pula terhadap Agus, Zaenur berharap KPK bisa bersikap tegas untuk menghadirkan Agus yang berkali-kali tidak hadir di persidangan. Ia melihat, ketidaktegasan KPK dalam menangani kedua kasus tersebut berangkat dari pemikiran untuk menjaga keharmonisan dan hubungan yang dianggap baik antara pejabat KPK dan pejabat lainnya. Padahal, seharusnya KPK menuntaskan perkara sesuai dengan prosedur hukum. Ketika ada pihak yang tidak kooperatif, maka dilakukan penangkapan atau jemput paksa.
”Keragu-raguan KPK itu akhirnya mengakibatkan hambatan-hambatan. Kalau hukum tidak dihargai, ya, kita khawatir hal yang seperti ini akan dicontoh oleh pihak-pihak lain di masa depan, baik saksi maupun tersangka. Seharusnya namanya lembaga penegak hukum harus mengikuti prosedur hukum yang sudah disediakan oleh undang-undang, bukan menggunakan pertimbangan-pertimbangan seperti hubungan baik atau hubungan harmonis,” tutur Zaenur.