Bupati Bangkalan Diduga Gunakan Sebagian Uang Suap untuk Survei Elektabilitas
Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan bahwa Bupati Bangkalan Abdul Latif diduga menggunakan sebagian uang suap yang diterimanya untuk keperluan pribadi, termasuk untuk survei elektabilitas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bupati Bangkalan R Abdul Latif Amin Imron ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi terkait dengan lelang jabatan, gratifikasi, dan penerimaan sejumlah uang dalam pengaturan beberapa proyek di semua dinas di Pemerintah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. KPK juga menemukan indikasi sebagian uang suap yang diterima digunakan Abdul Latif untuk membiayai survei elektabilitas.
Menjelang Pemilu dan Pilkada 2024, dugaan korupsi yang dilakukan kepala daerah dikhawatirkan akan meningkat. Sebab, ada potensi kebutuhan dana untuk mengikuti kontestasi elektoral.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, KPK menangkap Abdul Latif setelah tim penyidik memanggil para tersangka untuk diperiksa di Polda Jawa Timur. Selain Abdul Latif, KPK juga telah menahan lima tersangka lainnya. Mereka adalah Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Aparatur Kabupaten Bangkalan Agus Eka Leandy, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Wildan Yulianto, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Achmad Mustaqim, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hosin Jamili, serta Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Salman Hidayat.
”Dalam jabatannya selaku Bupati Bangkalan periode 2018 sampai dengan 2023, tersangka RALAI (Abdul Latif) memiliki wewenang, di antaranya, untuk memilih dan menentukan langsung kelulusan dari para ASN (aparatur sipil negara) di Pemkab Bangkalan yang mengikuti proses seleksi ataupun lelang jabatan,” kata Firli dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (8/12/2022) dini hari.
Dalam kurun waktu 2019 sampai dengan 2022, Pemkab Bangkalan atas perintah tersangka Abdul Latif membuka formasi seleksi pada beberapa posisi di tingkat jabatan pimpinan tinggi (JPT), termasuk promosi jabatan untuk eselon 3 dan 4. Melalui orang kepercayaannya, tersangka Abdul Latif meminta komitmen fee berupa uang kepada setiap ASN yang berkeinginan untuk bisa dinyatakan terpilih dan lulus dalam seleksi jabatan tersebut.
Adapun ASN yang mengajukan diri dan sepakat untuk memberikan sejumlah uang sehingga dipilih dan dinyatakan lulus oleh tersangka Abdul Latif, yaitu para tersangka Agus Eka, Wildan Yulianto, Achmad Mustaqim, Hosin Jamili, dan Salman Hidayat.
Firli mengungkapkan, besaran komitmen fee yang diberikan dan diterima tersangka Abdul Latif melalui orang kepercayaannya bervariasi sesuai dengan posisi jabatan yang diinginkan. Dugaan besaran nilai komitmen fee tersebut dipatok mulai dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 150 juta yang teknis penyerahannya secara tunai melalui orang kepercayaan dari tersangka Abdul Latif.
Untuk survei elektabilitas
Diduga pula ada penerimaan sejumlah uang lain oleh tersangka Abdul Latif karena turut serta dan ikut campur dalam pengaturan beberapa proyek di semua dinas di Pemkab Bangkalan dengan penentuan besaran fee sebesar 10 persen dari setiap nilai anggaran proyek. Jumlah uang yang diduga telah diterima tersangka Abdul Latif melalui orang kepercayaannya sekitar Rp 5,3 miliar.
”Penggunaan uang-uang yang diterima tersangka RALAI (Abdul Latif) tersebut diperuntukkan bagi keperluan pribadi, di antaranya untuk survei elektabilitas. Disamping itu, tersangka RALAI juga diduga menerima pemberian lainnya, di antaranya dalam bentuk gratifikasi, dan hal ini akan ditelusuri dan dikembangkan lebih lanjut oleh tim penyidik,” kata Firli.
Firli mengungkapkan, KPK prihatin modus korupsi jual-beli jabatan masih rentan terjadi. Karena itu, KPK akan terus melakukan upaya pencegahan dan pemonitoran melalui Monitoring Centre for Prevention (MCP) pada fungsi koordinasi supervisi. KPK mengimbau semua kepala daerah untuk melaksanakan manajemen ASN secara profesional dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance and Clean Government dengan menghindari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sangat mungkin sekali akan ada banyak kepala daerah yang melakukan korupsi jelang tahun politik 2024, khususnya oleh petahana yang akan maju lagi pada periode kedua. Petahana untuk maju lagi membutuhkan dana yang bersumber dari investor politik, penggalangan dana dari masyarakat, dan dana pribadi.
”Sumber dana yang bermasalah itu kalau dia lakukan dengan cara jual-beli jabatan, penyalahgunaan barang dan jasa, penyalahgunaan perizinan,” kata Djohermansyah.
Menurut Djohermansyah, dugaan korupsi tersebut dilakukan oleh petahana karena biaya pengeluaran politik yang besar untuk kembali maju ke pilkada, seperti untuk survei, mahar partai, tim sukses, sukarelawan, bahkan untuk merawat hubungan baik dengan parpol serta tokoh masyarakat supaya mendapatkan dukungan.
Ia mengungkapkan, kebutuhan tersebut semakin meningkat jelang Pilkada Serentak 2024. Tahap awal yang sudah dimulai saat ini seperti survei serta menyebarluaskan spanduk dan poster di berbagai macam media konvensional dan media sosial.
Agar para kandidat tidak mencari uang dengan cara yang tidak sah, kata Djohermansyah, negara harus hadir dengan memberi subsidi, seperti untuk sosialisasi. Negara melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat menyebarluaskan informasi tentang para calon melalui sejumlah media. Selain itu, biaya saksi di tempat pemungutan suara juga dapat ditanggung oleh negara.
Terkait dengan mahar politik, kata Djohermansyah, negara dapat memberikan subsidi kepada partai politik. Alhasil, partai politik tidak perlu lagi meminta uang kepada kandidat untuk mahar politik. Menurut Djohermansyah, saat ini negara masih pasif dan tidak ada mitigasi melalui kebijakan untuk mengatasi korupsi politik. Jika hal itu dibiarkan, pada 2023 dan 2024 akan terjadi peningkatan kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah.