Sudah 59 Tahun Dibahas, RKUHP Diharap Disahkan Bulan Depan
Meski Mahfud MD mengklaim pemerintah dan DPR telah sepakat RKUHP disahkan bulan depan, ada anggota Komisi III DPR yang meragukan rancangan undang-undang itu bisa segera disahkan. Ada kaitannya dengan Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP disahkan tahun ini mengingat pembahasan yang sudah begitu panjang dan telah melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Namun, di kalangan Komisi III DPR, masih ada yang berbeda pendapat. RKUHP bahkan diragukan bisa disahkan oleh DPR periode 2019-2024.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melalui keterangan tertulis, Rabu (16/11/2022), mengatakan, meski draf RKUHP masih ada kekurangan, pembentuk undang-undang diklaimnya sudah menyepakati untuk mengesahkan undang-undang itu pada Desember nanti. Dia juga menyebut bahwa proses penyusunan RKUHP sudah panjang, bahkan memakan waktu puluhan tahun lamanya.
Oleh karena itu, pemerintah berpandangan, tidak mungkin pengesahan RKUHP menunggu semua pihak sepakat. Demokrasi memberi hak kepada semua kalangan untuk memberikan pendapat. Namun, konstitusi juga menentukan pengambilan keputusan jika agregasinya tidak bulat.
”Hukum adalah produk resultante. Produk rakyat dan pemerintahnya. Suara-suara kelompok masyarakat, termasuk Dewan Pers, juga sudah didengar,” ujar Mahfud.
Pemerintah menargetkan pada pada awal pekan depan, perkembangan pembahasan RKUHP itu akan disampaikan kepada Presiden. Setelah itu, pemerintah akan membahas kembali dengan DPR.
”Dengan demikian, diharapkan sebelum masa sidang DPR ini berakhir pada bulan Desember, kita sudah punya KUHP yang baru yang menjadi revisi dari KUHP yang sudah berumur 200 tahun lebih. Yang di negara asalnya sudah diganti dan sudah 59 tahun kami bahas,” tutur Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu membeberkan, semula RKUHP akan diselesaikan sebelum 17 Agustus 2022 sebagai hadiah peringatan kemerdekaan RI. Namun, karena masih masifnya penolakan oleh publik karena pasal-pasal yang bermasalah, Presiden memerintahkan sosialisasi ulang. Semua aspirasi akan ditampung dalam sosialisasi ulang itu.
”Untuk memastikan bahwa masyarakat telah dilibatkan dan diberi ruang yang cukup untuk memberi masukan kepada RKUHP, pemerintah telah menggelar dialog dan diskusi publik di 11 kota sesuai perintah Presiden Joko Widodo. Saya sendiri hadir di sejumlah kota untuk membuka serta memberikan materi dan arahan pada dialog publik itu,” ucapnya.
Baca juga: DPR Ingin Rekayasa Kasus Jadi Tindak Pidana Baru di RKUHP
Pemerintah juga mengapresiasi berbagai elemen masyarakat yang menyampaikan masukan dan aspirasi, termasuk Dewan Pers. Menurut dia, pemerintah menampung tidak hanya 22 materi, tetapi 69 materi masukan dari hasil sosialisasi itu. Masukan kemudian diolah oleh tim di pemerintah.
Pembahasan yang begitu panjang selama 59 tahun itu juga dinilai telah melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Prosesnya sudah mengakomodasi berbagai kepentingan, berbagai aliran, paham, dan situasi budaya yang dirajut menjadi satu dalam visi bersama tentang Indonesia. Dengan begitu, proses yang panjang itu diharapkan bisa menghasilkan RKUHP yang baru, yang merupakan titik temu dan penyatuan pandangan berbagai lapisan masyarakat selama ini.
Kemungkinan batal disahkan
Pada Senin (14/11)/2022, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto seusai rapat bersama dengan Aliansi Reformasi KUHP mengatakan, Komisi III bersama pemerintah bakal memperhalus substansi RKUHP untuk yang terakhir kalinya pada 21 November. Setelah itu, ia berharap RKUHP bisa segera diambil keputusan tingkat satu dan selanjutnya dibawa ke rapat paripurna untuk diambil persetujuan pengesahan menjadi undang-undang.
Namun, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, memiliki pandangan berbeda. Jika melihat perkembangan terakhir di antara sesama anggota DPR, ia yakin RKUHP tidak bakal disahkan di DPR periode 2019-2024. Sebab, sebaik apa pun draf yang disepakati, DPR akan mendapat bully dari media dan lembaga swadaya masyarakat.
Baca juga: Pasal Hukum Adat dan Makar di RKUHP Kembali Dipertanyakan
”Sementara di sisi lain, sepertinya semua fraksi menghindari hal tersebut karena sudah dekat pemilu,” ujar Habiburokhman.
Ia mencontohkan pasal yang masih problematik, yakni Pasal 416 RKUHP yang mengatur mengenai kohabitasi atau pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan. Sebagian masyarakat meminta agar hal tersebut dilarang keras dan redaksi yang ada di draf sekarang dinilai terlalu lemah. Sebaliknya, ada juga masyarakat yang mengutuk pelarangan tersebut.
Soal pidana mati yang diatur dalam Pasal 100 RKUHP juga disebutnya banyak ditolak oleh masyarakat. Namun, banyak pula publik yang setuju agar hal tersebut diatur. Kemudian, terkait perluasan larangan zinah, sebagian publik mengecam karena dianggap mencampuri urusan pribadi, tetapi sebagian lain justru menganggap larangannya terlalu ringan.
”Nah, kalau salah satu diikuti, media lantas mengecam dan bully DPR. Karena itu, feeling saya, fraksi-fraksi tidak akan ambil risiko. Sekarang, kita nikmati saja KUHP buatan kolonial Belanda yang tegas mengatur hukuman mati sebagai pidana pokok, yang tidak mengenal restorative justice, yang sudah banyak sekali mengantarkan kaum aktivis kritis ke penjara,” ucap Habiburokhman.
Baca juga: Pasal Penyerangan Martabat Presiden Memperoleh Sorotan
Jauh lebih progresif
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho mendorong agar RKUHP segera disahkan. Menurut dia, draf RKUHP versi 9 November 2022 sudah jauh lebih progresif dibandingkan dengan KUHP warisan kolonial yang saat ini berlaku. ”(Muatan) yang baru mungkin sekitar 20 persen. Tetapi, yang 20 persen (ketentuan) baru ini sudah disesuaikan dengan politik hukum Indonesia, sudah merespons kebijakan sekarang,” ujarnya.
Ia memberi contoh diakuinya hukum yang hidup di masyarakat atau living law. Menurut dia, pengaturan tentang hukum yang hidup di masyarakat tidak serta-merta menyatakan bahwa hukum adat berlaku, tetapi penyelenggaraan hukum adat bisa dilakukan melalui pengadilan.
”Artinya, faktor kepentingan adat bisa menjadi pertimbangan. Selain itu, delik-delik yang dulu merupakan delik laporan, sekarang menjadi aduan,” katanya.
Ia mengakui bahwa RKUHP tidak kelihatan sempurna. Namun, hal tersebut merupakan suatu jalan yang memang harus dilakui dan perlu didukung. ”Kalau ingin ada perubahan, bisa dilakukan di MK (Mahkamah Konstitusi), tetapi ini bukan melimpahkan semuanya ke MK, harus sesuatu yang beralasan,” tambahnya.
Baca juga: Gaduh di Ruang Sidang Diancam Pidana Penjara 6 Bulan
Di antara sejumlah klausul yang masih dipersoalkan oleh sebagian masyarakat sipil adalah tentang pengaturan pidana mati. Pasal tersebut berbunyi, hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar pemerintah dan DPR menghapus kata ”dapat” dalam ketentuan tersebut sehingga penjatuhan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun otomatis berlaku begitu hakim menjatuhkan vonis. Masa percobaan tidak lagi serahkan kepada majelis hakim untuk memutuskan.
Hal tersebut dinilai tidak akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menyerahkan pengaturan pidana mati kepada pembentuk undang-undang sebagai open legal policy. MK memang menyebutkan bahwa pidana mati dengan masa percobaan ”dapat” dijatuhkan.
Hibnu menilai, pengaturan pidana mati dalam RKUHP sudah merupakan jalan tengah yang menjembatani pihak-pihak yang ingin menghapuskan hukuman mati dan yang masih ingin mempertahankan capital punishment tersebut. ”Hukuman mati dijatuhkan dengan masa percobaan, tetapi ada syaratnya. Kalau ada penilaian yang baik (terhadap terpidana), tidak jadi (pidana) mati. Ini sebuah kompromi dan sebuah perkembangan yang lebih bagus,” ujarnya.
Ilustrasi
Ia menyadari bahwa kata ”dapat” dalam pasal tersebut memiliki makna yang sangat signifikan. ”Kata ’dapat’ artinya tidak wajib. Itu bahasa hukum yang signifikan. Majelis hakim diberikan alternatif apakah akan memberikan hukuman percobaan atau tidak.”
Nanti dilihat apakah motifnya, apakah modusnya. Misalnya karena kejam atau karena apa sehingga tidak diberi masa percobaan. Ini bisa dilihat dari berbagai faktor,” katanya.