Pasal Hukum Adat dan Makar di RKUHP Kembali Dipertanyakan
Pakar hukum pidana Agustinus Pohan berpandangan, di Indonesia, hukum adat memang diperlukan. Namun, caranya tidak tepat jika dimasukkan dalam RKUHP. Sebab, ada prinsip asas legalitas atau aturan seseorang dapat dipidana.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP versi 9 November 2022 masih memicu perdebatan sengit di publik. Selain pasal yang dinilai mengancam demokrasi, norma yang mengatur tentang hukum adat (living law), dan makar yang dianggap karet, juga dipertanyakan keberadaannya.
Pakar hukum pidana Agustinus Pohan berpandangan, di Indonesia, hukum adat memang diperlukan. Namun, caranya tidak tepat jika dimasukkan dalam RKUHP. Sebab, ada prinsip asas legalitas atau aturan bahwa seseorang dapat dipidana jika telah ada aturan terlebih dahulu melarang dan mengancam pidana untuk perbuatan tersebut.
”Saya apresiasi upaya untuk mengakui hukum adat itu memang perlu. Namun, apakah harus dimasukkan dalam RKUHP? Sebab, hukum adat ada unsur perdata dan pidananya. Mengapa mengakuinya harus dalam kerangka pidana?” kata Agustinus, saat dihubungi, Selasa (15/11/2022).
Saya apresiasi upaya untuk mengakui hukum adat itu memang perlu. Namun, apakah harus dimasukkan dalam RKUHP? Sebab, hukum adat ada unsur perdata dan pidananya. Mengapa mengakuinya harus dalam kerangka pidana?
Pengajar Universitas Parahyangan, Bandung, itu juga mempertanyakan tentang urgensi kebutuhan untuk mengakui hukum adat di RKUHP. Menurut dia, saat ini tidak ada kebutuhan konkret yang mendesak untuk memasukkan hukum yang hidup di masyarakat itu ke dalam RKUHP.
Baca juga: RKUHP Berjalan dalam Lorong Gelap
Selain itu, dia juga berpandangan bahwa teknis pelaksanaan penegakan hukum adat di RKUHP akan sulit. Sebab, ada pertentangan mengenai asas legalitas dalam hukum. Ketika hukum adat menjadi hukum tertulis, artinya telah menjadi hukum yang mati.
Kemudian, jika memang nantinya hukum adat akan dirumuskan menjadi peraturan daerah, siapa pihak yang akan membuat aturan itu. Jika DPRD yang berisi politikus parpol, dia khawatir perda itu akan menjadi alat politik. Akan ada keputusan politik yang menentukan mengapa perda tersebut dirumuskan menjadi hukum pidana. Masalah itu akan semakin kompleks ketika hukum adat bersinggungan dengan kaidah agama. Bisa terjadi gesekan-gesekan karena sulit untuk menegaskan dan memisahkan norma hukum dan kaidah agama.
Bisa jadi, di suatu daerah yang agamanya dominan jangan-jangan ada hukum adat yang dominan juga. Apakah itu tidak akan menimbulkan persoalan baru? Padahal, saat ini, sepertinya semuanya baik-baik saja.
”Bisa jadi, di suatu daerah yang agamanya dominan jangan-jangan ada hukum adat yang dominan juga. Apakah itu tidak akan menimbulkan persoalan baru? Padahal, saat ini, sepertinya semuanya baik-baik saja,” ucapnya.
Dia menyarankan alternatif, jika memang ingin mengakui hukum adat, lebih baik dimasukkan dalam hukum perdata. Ini tidak akan bertentangan dengan asas legalitas.
Menjaga demokrasi
Selain itu, dia juga menyoroti soal pasal makar yang tertuang dalam Pasal 191, yang berbunyi setiap orang yang melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan presiden atau wakil presiden atau menjadikan presiden dan wakil presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Menurut dia, pasal itu memang bertujuan untuk melindungi penguasa.
Kalau tujuannya untuk menjaga hasil proses demokrasi itu bagus. Namun, kalau perumusan norma pasalnya tak tepat bisa disalahgunakan untuk mengkhianati demokrasi.
Pasal perlindungan terhadap kekuasaan yang sah memang diperlukan untuk menjamin hasil dari proses demokrasi. Pemimpin yang terpilih melalui pemilihan umum langsung berhak mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan melalui hukum positif bertujuan untuk menjaga supaya demokrasi terus berlangsung dan hasilnya terjaga.
”Kalau tujuannya untuk menjaga hasil proses demokrasi itu bagus. Namun, kalau perumusan norma pasalnya tak tepat bisa disalahgunakan untuk mengkhianati demokrasi,” katanya.
Dia menilai, pasal makar memang seperti pisau bermata dua. Selain melindungi demokrasi, pasal itu juga bisa digunakan untuk berlindungnya kekuasaan, melanggengkan kekuasaan, serta melindungi penguasa dari gangguan. Oleh karena itu, menurut dia, sulit juga untuk merumuskan pasal seperti itu.
Langkah yang tepat baginya adalah menjamin penerapan pasal itu dari sisi kekuasan yudikatif. Hakim harus bisa menjamin bahwa penggunaan pasal itu tidak disalahgunakan untuk mengkriminalisasi seseorang yang menunjukkan ekspresi politiknya. Namun, untuk sampai pada konsep ideal itu, kekuasaan eksekutif harus benar-benar bebas dari pengaruh cabang kekuasaan eksekutif. Selama ini, pada praktiknya, yudikatif tidak sungguh-sungguh bersifat independen sehingga kekhawatiran bahwa pasal ini akan bersifat karet bisa dipahami.
”Memang yang dikhawatirkan itu kekuasaan eksekutif bisa lebih digdaya. Karena jika tidak berhati-hati memang aturan bisa dipakai untuk melindungi diri sendiri dan untuk mengkhianati demokrasi,” katanya.
Masa transisi
Juru bicara tim sosialisasi RKUHP, Albert Aries, mengungkapkan, masa transisi pemberlakuan RKUHP yang diatur dua tahun dalam draf versi 9 November 2022 memang perlu dipikirkan ulang, terutama jika mempertimbangkan kesiapan penerapan living law di sejumlah daerah. Sebab, waktu dua tahun bertepatan dengan tahun politik (2023 dan 2024).
”Kalau ngomong logis dan rasionalnya, tiga tahun paling cocok. Sampai 2025 berarti,” katanya.
Menurut dia, dari sejumlah daerah di Indonesia, Bali paling siap dengan penerapan hukum adat atau living law yang sudah terorganisasi dengan baik di dalam Kitab Adigama. Hanya saja, ada beberapa persoalan yang harus difilter apakah ketentuan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan kebinekaan. ”Nah, ini memang butuh waktu,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia sepakat dan mendorong pengakuan hukum yang hidup di masyarakat tersebut untuk dipergunakan. Sebab, dengan memasukkan klausul hukum yang hidup di masyarakat, hal tersebut mencegah terjadinya dua pengadilan berjalan untuk sebuah kasus. Ia mencontohkan kasus pembunuhan wanita Dayak oleh pemuda dari Madura. Selain kasus pembunuhan berencananya disidangkan di pengadilan negeri, pengadilan adat juga menangani kasus tersebut untuk memulihkan keseimbangan.
Nanti sanksi adatnya bisa tidak ada kontrol yang jelas. Misalnya, satu keluarga harus dikeluarkan dari wilayah adat setempat, yang ini kan belum tentu inline dengan Pancasila. Hal-hal seperti itu yang harus diperhatikan.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (14/11/2022), masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyoroti sejumlah pasal. Di antaranya adalah pasal yang mengatur pidana bagi setiap orang yang menyerang martabat presiden dan menghina pemerintah (Kompas.id, Selasa 15/11/2022).
Masukan publik
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu sebagai salah satu perwakilan dari Aliansi Reformasi KUHP menyampaikan, ada sejumlah pasal yang harus dibatasi. Hal itu di antaranya adalah Pasal 218 dan 219 yang, antara lain, mengatur pidana bagi setiap orang yang melakukan penyerangan kehormatan atau harkat serta martabat presiden dan wakil presiden. Selain itu, ada pula Pasal 240 dan 241 yang mengatur pidana bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah.
Erasmus juga menyampaikan harapannya agar semua ancaman untuk penghinaan kepada lembaga negara itu dilekatkan dengan tujuan dari pemerintah dan DPR, yaitu untuk mengefektifkan pidana kerja sosial. Bagi ICJR, penyerangan kehormatan juga seharusnya dibatasi hanya berupa fitnah.
Dengan begitu, kita tidak ada perdebatan, ini kritik dan lain-lain. Jadi, semuanya harus dikunci dengan kalimat, menuduhkan sesuatu yang diketahuinya tidak benar atau secara sengaja.
”Dengan begitu, kita tidak ada perdebatan, ini kritik dan lain-lain. Jadi, semuanya harus dikunci dengan kalimat, menuduhkan sesuatu yang diketahuinya tidak benar atau secara sengaja,” ujarnya.
Baca juga: RKUHP Berjalan dalam Lorong Gelap
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menegaskan, upaya mengundang Aliansi Reformasi RKUHP merupakan upaya DPR untuk mengedepankan prinsip transparansi dalam proses legislasi. Seiring dengan itu, Komisi III, lanjutnya, juga sudah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mencari dan membaca draf RKUHP di situs DPR.
”Jadi, jangan lagi DPR nanti diberi cap ’tidak ngomong, menyelesaikan RUU diam-diam’, tidak ada. Kami sudah upload, silakan dibaca,” ucapnya.
Politikus PDI-P itu juga menjelaskan, melalui RDPU itu, Komisi III DPR sebenarnya ingin mendapatkan beberapa masukan terkait substansi RKUHP. Namun, hal itu tak lantas menjamin bahwa masukan-masukan tersebut harus diakomodasi.
”Kenapa? Karena kami ini mewakili partai-partai. Tetapi, kalau ketua partai menginginkan pasal itu harus goal, maka dalam rapat-rapat bertempur. Mungkin ketua partainya PPP (Partai Persatuan Pembangunan), berbeda dengan ketua PDI-P, berbeda dengan Golkar, itu juga pertempuran lagi,” ucap Bambang. (DEA/ANA/BOW)