DPR Ingin Rekayasa Kasus Jadi Tindak Pidana Baru di RKUHP
Tiadanya pengaturan tentang rekayasa kasus dalam RKUHP menjadi sorotan Komisi III DPR. Untuk itu, tindakan pidana rekayasa perkara diusulkan dimasukkan ke dalam RKUHP. Tujuannya untuk mengontrol penegak hukum.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi berunjuk rasa, Senin (16/9/2019), di depan gerbang DPR, Senayan, Jakarta. Mereka menolak pengesahan RKUHP.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah dan tim perumus Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk memasukkan ketentuan mengenai rekayasa kasus ke dalam regulasi tersebut. Pasal rekayasa kasus dinilai penting untuk mengimbangi aparat penegak hukum selaku penyidik kasus yang dinilai memiliki kewenangan yang sangat kuat atau powerfull.
Dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/11/2022), hampir seluruh anggota DPR menyoroti draf terakhir RKUHP versi 9 November 2022 yang diajukan pemerintah karena tidak memuat pengaturan tentang rekayasa perkara. Dalam rapat kerja yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir itu hadir Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej.
Draf versi 9 November merupakan hasil perumusan setelah digelar dialog publik dan sosialisasi di 11 kota yang dimulai pada 23 Agustus lalu. Dialog publik dan sosialisasi dilaksanakan setelah Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet 2 Agustus lalu meminta RKUHP disosialisasikan kembali ke seluruh lapisan masyarakat.
Usulan untuk memasukkan tindak pidana baru berupa rekayasa kasus pertama kali disuarakan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Pengaturan tentang rekayasa kasus tersebut dinilai mendesak untuk memastikan agar penegak hukum tidak hanya mampu memberi keadilan, tetapi juga benar dan kasusnya pun tidak dibuat-buat. Pihaknya mendapatkan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat yang meminta pentingnya pengaturan mengenai hal tersebut mengingat banyak sekali keluhan di lapangan tentang rekayasa perkara dengan meletakkan barang bukti seperti narkotika di mobil atau dilempar di tempat tertentu.
”Mungkin ini menjadi bagian atau subbagian dalam bab obstruction of justice (merintangi penyidikan),” kata Arsul.
Usulan itu didukung oleh mayoritas anggota Komisi III yang memberikan pandangan, di antaranya Taufik Basari dari Partai Nasdem, I Wayan Sudirta dari Fraksi PDI-P, Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat, dan Nasir Djamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Taufik Basari mendukung usulan Arsul, tetapi ia secara spesifik mengusulkan pemaknaannya dalam konteks rekayasa barang bukti atau fabricated evidence. “Semua yang membuat bukti palsu, itu termasuk rekayasa kasus yang harus dipidana,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengusulkan diaturnya tindak pidana baru dalam RKUHP, yaitu pasal rekayasa kasus, dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu (9/11/2022). Wamenkumham Eddy OS Hiariej menyerahkan draf terakhir RKUHP versi 9 November yang sudah diperbaiki sesuai hasil dialog publik dan sosialisasi.
Bagian dari kontrol
Berbda lagi dengan I Wayan Sudirta yang mendukung penuh Arsul dan tidak sependapat jika makna rekayasa kasus dibatasi dengan rekayasa barang bukti. Sebab, ada banyak perkara yang kemudian dikenal dengan peradilan sesat. Salah satu contohnya adalah Sengkon dan Karta. ”Itu benar-benar rekayasa kasus,” tambahnya.
Nasir Djamil pun sependapat mengenai hal tersebut. Bahkan, ia mengutip catatan dari salah satu organisasi nonpemerintah yang mencatat ada 27 perkara hasil rekayasa kasus sepanjang 2019-2022. ”Itu yang tercatat oleh mereka, belum lagi yang tidak tercatat. Jangan dianggap remeh lho. Jangan dilihat angka 27-nya. Kita lihat rekayasa kasusnya karena negara hadir untuk melindungi warga negara. Tetapi oleh aparat negara, malah sebaliknya,” tuturnya.
Pasal yang mengatur ancaman pidana bagi pihak-pihak yang melakukan rekayasa kasus diperlukan untuk mengontrol posisi penyidik yang memiliki kekuasaan cukup besar dalam hukum pidana RI.
Sementara bagi Hinca Panjaitan, pasal yang mengatur ancaman pidana bagi pihak-pihak yang melakukan rekayasa kasus diperlukan untuk mengontrol posisi penyidik yang memiliki kekuasaan cukup besar dalam hukum pidana RI. ”Pasal rekayasa kasus harus dimasukkan (ke RKUHP) sebagai bagian kontrol power yang dimiliki penyidik meski sudah ada pengawasan internal. Termasuk fabrikasi bukti, itu jadi contoh yang paling menarik. Ini terbuka malah, bukan direkayasa. Dalam penyidikan kasus narkoba, ada quantity case yang harus dikejar, 10 kasus misal per bulan. Kalau sudah akhir bulan, tetapi belum ada kasus, maka terjadilah kasus di Binjai (Sumatera Utara). Narkoba dimasukkan ke dalam mobil atau dilempar. Ini telanjang. Kasat mata terjadi di masyarakat,” kata Hinca.
Selain mengenai rekayasa kasus, Taufik Basari dan Hinca Panjaitan meminta pemerintah dan tim perumus RKUHP agar menghapus kata ”dapat” dalam perumusan Pasal 100 Ayat (1) RKUHP versi 9 November. Disebutkan dalam pasal tersebut, ”Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan percobaan selama 10 tahun jika: …”. Keduanya meminta agar pemerintah langsung mengatur agar ”Hakim menjatuhkan pidana mati dengan percobaan 10 tahun jika....”
Taufik Basari mengingatkan kembali isi putusan MK Nomor 2 Tahun 2007 yang dalam pertimbangannya MK memberikan kembali pengaturan hukuman mati kepada pembentuk undang-undang sebagai open legal policy jika akan menjatuhkan pidana mati dengan percobaan 10 tahun. Ia pun mengungkapkan perlunya kembali menelaah putusan MK tersebut dalam pembahasan RKUHP mendatang yang akan diagendakan pada 21 November mendatang.
Catatan lainnya yang dilontarkan anggota Komisi III DPR adalah terkait pengaturan living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Sebagian anggota DPR mengusulkan agar yang dimasukkan ke RKUHP bukan delik adat, melainkan sanksi adat yang masih berlaku dan dapat diambil hakim pada saat menjatuhkan putusan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengusulkan diaturnya tindak pidana baru dalam RKUHP, yaitu pasal rekayasa kasus, dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu (9/11/2022). Wamenkumham Eddy OS Hiariej menyerahkan draf terakhir RKUHP versi 9 November yang sudah diperbaiki sesuai hasil dialog publik dan sosialisasi.
Taufik Basari juga menyoroti pasal makar yang masih dipertahankan di RKUHP draf 9 November. Ia mengingatkan pemerintah akan pengalaman di masa Orde Baru di mana pasal makar ditafsir secara luas untuk kepentingan politik oleh pemerintahan yang otoriter. Ia menyarankan perlunya pembatasan definisi makar sehingga nantinya pengalaman serupa tidak terulang kembali jika pada suatu ketika pemerintahan jatuh ke tangan penguasa yang otoriter.
Demikian pula dengan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang memicu diskursus berkepanjangan. Taufik meminta agar pasal tersebut dibatasi dalam definisi yang spesifik, yaitu fitnah atau menuduh dengan sesuatu yang tidak benar. ”Biar pembuktiannya obyektif. Kalau penghinaan itu, kan, subyektif, terhina atau tidak,” ujarnya.
Taufik Basari juga menyoroti pasal makar yang masih dipertahankan di RKUHP draf 9 November.
Perubahan draf
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej saat memaparkan hasil perumusan akhir draf mengungkapkan, ada sejumlah perubahan draf RKUHP dari versi 6 Juli 2022 yang memuat 632 pasal dengan draf terakhir 9 November 2022 yang memuat 627 pasal. Draf terakhir RKUHP juga mengadopsi 53 masukan masyarakat yang kemudian dimasukkan ke dalam batang tubuh RUU dan bagian penjelasan.
Perubahan yang dilakukan mencakup empat macam, yaitu penghapusan ketentuan, reformulasi, penambahan pasal, dan reposisi. Pasal-pasal yang dihapuskan, menurut Eddy, antara lain terkait dengan pasal penggelandangan, unggas dan ternak yang melewati kebun, dan dua pasal tindak pidana lingkungan hidup.
Penambahan pasal dilakukan sesuai dengan masukan dari masyarakat terkait dengan penegasan beberapa tindak pidana di dalam RKUHP yang tergolong sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Ada pasal dan ayat baru yang ditambahkan terkait dengan hal tersebut.
Dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu (9/11/2022),,Wamenkumham Eddy OS Hiariej melaporkan dan menyerahkan draf terakhir RKUHP versi 9 November yang sudah diperbaiki sesuai hasil dialog publik dan sosialisasi.
Sementara itu, reformulasi pasal dilakukan untuk sejumlah ketentuan, misalnya menambahkan kata kepercayaan pada pasal-pasal yang mengatur mengenai agama, mengubah frasa pemerintahan yang sah menjadi ”pemerintah” dalam pasal penghinaan terhadap pemerintah, serta mengubah pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden pada Pasal 218 RKUHP. Khusus reposisi, dilakukan pada tindak pidana pencucian uang dari tiga pasal menjadi dua pasal tanpa perubahan substansi.
”Kami akan menyerahkan dua naskah, yaitu naskah utuh RKUHP dan satu lagi matriks penyempurnaan RKUHP,” ujar Eddy.