Pasal Penyerangan Martabat Presiden Memperoleh Sorotan
Masyarakat sipil menyoroti pasal yang mengatur pidana bagi setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Salah satu pasal di RKUHP itu dinilai perlu dibatasi.
JAKARTA, KOMPAS – Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (14/11/2022), masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Reformasi Kitab KUHP menyoroti sejumlah pasal Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal itu di antaranya pasal-pasal yang mengatur pidana bagi setiap orang yang menyerang martabat presiden dan menghina pemerintah.
Pada kesempatan itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu sebagai salah satu perwakilan dari Aliansi Reformasi KUHP itu menyampaikan, ada sejumlah pasal yang harus dibatasi. Hal itu di antaranya Pasal 218 dan 219 yang, antara lain, mengatur pidana bagi setiap orang yang melakukan penyerangan kehormatan atau harkat serta martabat presiden dan wakil presiden. Selain itu, ada pula Pasal 240 dan 241 yang mengatur pidana bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto itu, Erasmus menyampaikan harapannya agar semua ancaman untuk penghinaan kepada lembaga negara itu dilekatkan dengan tujuan dari pemerintah dan DPR, yakni untuk mengefektifkan pidana kerja sosial. Bagi ICJR, penyerangan kehormatan juga seharusnya dibatasi hanya berupa fitnah. ”Dengan begitu, kita tidak ada perdebatan, ini kritik dan lain-lain. Jadi, semuanya dikunci dengan kalimat, menuduhkan sesuatu yang diketahuinya tidak benar atau secara sengaja,” ujar Erasmus.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan, pihaknya tidak setuju dengan diaturnya pasal penghinaan kepada lembaga negara di RKUHP. Apalagi, disebutkan pula di draf tersebut, penghinaan yang bisa menyebabkan kerusuhan.
Menurut Julius, soal kerusuhan ini, di lapangan, sering kali dijumpai rekayasa kerusuhan yang datang bukan dari masyarakat. Beberapa kali, lanjutnya, ada semacam penyusup yang sengaja melakukan kerusuhan dalam sebuah aksi demonstrasi agar kemudian aksi tersebut dinyatakan rusuh. Alhasil, seluruhnya harus dipidana.
Baca juga: Gaduh di Ruang Sidang Diancam Pidana Penjara 6 Bulan
Kemudian, ada pula Pasal 256, yang mengatur soal pemberitahuan demonstrasi aksi massa yang menimbulkan kerusuhan. Menurut dia, lagi-lagi, publik kerap menghadapi suatu kondisi di mana kerusuhan-kerusuhan itu justru diciptakan oleh orang-orang yang tidak dikenal dengan kemampuan tertentu, dan akhirnya justru dibebankan kepada para demonstran.
“Izin pemberitahuan itu bukan izin, dia hanya sekadar pemberitahuan, apabila terjadi pelanggaran sepanjang exercise dari hak demonstrasi dan berpendapat, maka kami lebih mendorongnya pada situasi pelanggaran ketertiban umum, dia bisa dikenakan denda, kerja sosial, dan lain-lain, tetapi bukan di pemidanaan,” kata Julius.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Antoni Putra kemudian mengapresiasi upaya DPR untuk menjaring masukan masyarakat. Namun, ia mengingatkan pula bahwa DPR nantinya juga harus bisa menjelaskan kepada publik, mana rekomendasi dari aliansi yang dapat diakomodir dan mana yang ditolak.
Penghalusan terakhir
Bambang Wuryanto menegaskan, upaya mengundang Aliansi Reformasi RKUHP merupakan upaya DPR untuk mengedepankan prinsip transparansi dalam proses legislasi, Seiring dengan itu, Komisi III, lanjutnya, juga sudah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mencari dan membaca draf RKUHP di situs DPR.
“Jadi, jangan lagi DPR nanti diberi cap ‘tidak ngomong, menyelesaikan RUU diam-diam’, tidak ada. Kami sudah upload, silakan dibaca,” ucap Bambang.
Selain itu, Bambang juga menjelaskan, melalui RDPU ini, Komisi III DPR sebenarnya ingin mendapatkan beberapa masukan terkait substansi RKUHP. Namun, itu tidak lantas menjamin bahwa masukan-masukan tersebut harus diakomodir.
“Kenapa? Karna kami ini mewakili partai-partai. Tetapi, kalau ketua partai menginginkan pasal itu harus goal, maka dalam rapat-rapat bertempur. Mungkin ketua partainya PPP (Partai Persatuan Pembangunan), berbeda dengan ketua PDI-P, berbeda dengan Golkar, itu juga pertempuran lagi,” ucap Bambang.
Baca juga: DPR Ingin Rekayasa Kasus Jadi Tindak Pidana Baru di RKUHP
Menurut dia, setiap rapat pembahasan RUU selalu akan diwarnai dengan “pertempuran pikir” karena setiap angota DPR mewakili banyak kepentingan. Selain itu, pemerintah juga pasti memiliki kepentingan. “Jadi, tempurnya di titik itu. UU itu, kan, pada hakikatnya adalah siapa yang menang. Nanti boleh dibaca. Oh, yang menang ternyata aliran yang ini atau kelompok yang ini, begitu,” katanya.
Bambang mengungkapkan, Komisi III DPR bersama pemerintah bakal memperhalus substansi RKUHP untuk yang terakhir, pada 21 November mendatang. Setelah itu, ia berharap, RKUHP bisa segera diambil keputusan tingkat satu dan dibawa ke rapat paripurna untuk diambil persetujuan menjadi undang-undang.
“Kan, (keputusan) tingkat 1 sudah selesai, masuknya tinggal paripurna. Maka di rapat ini seluruh fraksi sudah wanti-wanti bahwa ini nanti diharapkan dapat selesai masuk paripurna,” ujar Bambang.
Tidak ada perombakan
Ia menegaskan, pada rapat 21 November mendatang, tidak akan ada perombakan RKUHP terkait usulan-usulan yang baru muncul. Sebab, jika itu baru diakomodir, pemerintah dan DPR masih harus membahasnya kembali dari awal dan waktu pembahasan juga akan menjadi panjang.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Taufik Basari menyampaikan, masukan dari aliansi sangat subsatantif dan patut menjadi bahan untuk dibahas bersama pemeritnah pada 21 November mendatang. Ia sepakat, jangan sampai penerapan RKUHP ini justru nantinya berujung pada multitafsir atau bersifat karet. Sebab, hal itu akan sangat membahayakan bagi proses demokrasi.
Karena itu, menurut Taufik, DPR dan pemerintah kini berkesempatan untuk merumuskan pasal-pasal dalam RKUHP secara lebih ketat, sehingga tidak disalahgunakan.