Gaduh di Ruang Sidang Diancam Pidana Penjara 6 Bulan
Komisi Yudisial menilai aturan yang tertuang di RKUHP itu berlebihan dan meminta pembentuk undang-undang mengurangi ancaman pidana bagi pihak yang membuat kegaduhan di dalam sidang pengadilan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memperberat ancaman pidana bagi pihak-pihak yang membuat gaduh di dalam sidang pengadilan, dari yang semula paling lama tiga minggu penjara menjadi enam bulan. Tak hanya itu, setiap orang yang membuat gaduh di dekat ruang sidang pengadilan saat sidang berlangsung pun terancam pidana denda maksimal Rp 1 juta.
Komisi Yudisial menilai aturan tersebut berlebihan dan meminta pembentuk undang-undang mengurangi ancaman pidana bagi pihak yang membuat kegaduhan di dalam sidang pengadilan. Selain itu, KY juga meminta pemerintah dan DPR menghapus ancaman pidana bagi pihak-pihak yang melakukan kegaduhan di dekat ruang sidang pengadilan.
Ancaman bagi pihak-pihak yang membuat gaduh di pengadilan terdapat di dalam Bab VI tentang Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan RKUHP versi 9 November, khususnya Pasal 278 dan 279. Pasal 278 mengatur tentang ancaman pidana denda maksimal Rp 10 juta (kategori II), orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan, tidak bersikap hormat terhadap hakim, dan tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung (live streaming).
Sementara Pasal 279 mengatur tentang tindakan menghalang-halangi proses peradilan, yakni membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan tiga kali yang diancam 6 bulan penjara atau denda paling banyak Rp 10 juta. Demikian pula orang yang membuat gaduh di dekat ruang sidang pengadilan saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan hingga tiga oleh petugas akan diancam denda Rp 1 juta.
Komisioner KY Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi Hukum, Penelitian dan Pengembangan, Binziad Kadafi, mengatakan, pihaknya meminta agar formulasi Pasal 278 ditinjau ulang. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian. Yang pertama, terkait terminologi pengadilan dalam frasa ”tidak mematuhi perintah pengadilan”, seharusnya diganti menjadi ”tidak mematuhi perintah hakim ketua sidang”. Sebab, istilah pengadilan lebih cenderung diartikan sebagai ketua pengadilan atau pejabat birokrasi pengadilan.
Demikian pula dengan terminologi proses peradilan yang cenderung kabur dan subyektif. KY mengusulkan agar terminologi itu diganti dengan tata tertib persidangan yang nantinya dibuat oleh Mahkamah Agung.
”Kami merekomendasikan Pasal 278 Huruf b (tak bersikap hormat terhadap hakim) dan Pasal 278 Huruf c (larangan live streaming) untuk dihapus,” ujar Binziad Kadafi.
Selain itu, ia juga meminta pembentuk undang-undang untuk menurunkan ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang membuat gaduh di dalam sidang pengadilan. KY menyarankan agar pidana 6 bulan penjara diturunkan menjadi 3 bulan penjara. Dengan demikian, Pasal 279 Ayat (1) RKUHP masih dalam kategori tindak pidana ringan sehingga penegakan hukumnya cukup dilakukan penyidikan dengan mekansime sederhana.
Yang tak kalah penting, tambah Binziad Kadafi, perlu dibuat kriteria obyektif mengenai makna gaduh atau tidaknya persidangan yang diakibatkan oleh perbuatan seseorang atau sekelompok orang. ”Yang paling obyektif dikaitkan dengan tata tertib persidangan,” katanya.
Mengenai ancaman pidana bagi pembuat kegaduhan di dekat ruang sidang pengadilan, KY berharap pasal tersebut dihapus. Persoalan kegaduhan di dekat ruang sidang pengadilan pada saat persidangan berlangsung seharusnya dapat diatasi dengan pengetatan protokol persidangan dan pengamanan pengadilan. Hal ini bisa dilakukan dengan merujuk pada Peraturan MA Nomor 5 dan 6 Tahun 2020 .
Pengamanan pengadilan sesuai standar yang ditetapkan antara lain, adanya petugas keamanan di tiap ruang sidang, akses satu pintu untuk pengunjung yang berbeda dengan akses untuk hakim dan panitera, adanya jalan darurat/evakuasi apabila bahaya terjadi, kamera pemantau atau CCTV, metal detector, dan sebagainya.
Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, mengungkapkan, pihaknya menghargai masukan dari KY yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, dan perilaku hakim.
Namun, maksud perumusan dari Pasal 278 Huruf b dan c RKUHP adalah untuk melindungi proses peradilan. Di antaranya, mencegah perilaku seseorang yang bersikap tidak hormat terhadap hakim padahal telah diperingatkan (misbehaving in court) atau menyerang integritas hakim di dalam sidang pengadilan saat berlangsung (scandalising the court). Tujuan pengaturannya adalah untuk menjamin terciptanya penyelenggaraan peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan yang bebas dari perbuatan atau tingkah laku yang dapat merendahkan wibawa dan kehormatan peradilan (contempt of court).
”Jadi, kata kuncinya adalah pelaku sudah diperingatkan tetapi masih bersikap tidak hormat atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan (berlangsung) sehingga mengganggu proses peradilan,” katanya.
Terkait dengan larangan live streaming dalam Pasal 278 Huruf c RKUHP, Albert Aries mengungkapkan agar publikasi dari proses persidangan secara langsung hanya dilakukan dengan seizin hakim. Ini berlaku khususnya untuk sidang pembuktian dengan saksi-saksi sebagaimana sudah dilakukan pada saat ini sehingga tidak akan mengurangi kebebasan pers dalam memublikasikan persidangan yang terbuka untuk umum.
Berkaitan dengan kegaduhan di dekat ruang sidang seperti diatur dalam Pasal 279 Ayat (2) RKUHP, Albert mengungkapkan hal itu dilakukan untuk mencegah kegaduhan di ruang sidang pengadilan yang akan mengganggu proses peradilan. Meskipun demikian, sikap kritis para pihak berperkara tetap dilindungi hukum sepanjang dilakukan dalam koridor yang tepat, etis, dan obyektif.
”Pengaturan kedua pasal tersebut juga jangan dimaknai sebagai pembatasan atau disinsentif bagi pihak berperkara atau masyarakat untuk membuat laporan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, karena itu merupakan perbuatan hukum yang dijamin dan dilindungi UU KY sebagai alasan pembenar,” pinta Albert Aries.