Cacat Prosedur, Presiden Diminta Tak Lantik Guntur Jadi Hakim MK
Pemilihan hakim MK seharusnya melalui proses seleksi yang obyektif, akuntabel, transparan, dan terbuka. Namun, dalam pemilihan Guntur Hamzah sebagai hakim MK, DPR mengabaikannya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
DPR menyetujui Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah untuk menjadi hakim konstitusi dari DPR menggantikan Wakil Ketua MK saat ini, Aswanto, dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (29/9/2022), di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diminta untuk tidak melantik hakim konstitusi terpilih dari DPR, yakni Guntur Hamzah, yang diputuskan untuk menggantikan Aswanto. Sebab, penggantian itu dinilai cacat prosedur dan melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Proses tersebut juga sarat dengan kepentingan politis.
Permintaan itu salah satunya disampaikan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman. ”Sebaiknya Presiden tidak melantik karena cacat prosedur,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (2/10/2022).
Benny menambahkan, proses pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi kemudian menggantinya dengan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Guntur Hamzah memperlihatkan kesewenang-wenangan. Pasalnya, hal tersebut tidak dilakukan sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Salah satunya, mengacu Pasal 23 Ayat (1) huruf c UU MK, pemberhentian hakim konstitusi dilakukan jika sudah berusia 70 tahun.
Selain itu, dalam Pasal 20 Ayat (2) UU MK, proses pemilihan hakim konstitusi dari ketiga unsur lembaga yang berwenang (DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung) dilakukan melalui proses seleksi yang obyektif, akuntabel, transparan, dan terbuka oleh tiap lembaga negara.
Namun, kata Benny, proses pemberhentian dan penggantian yang dilakukan di Komisi III tidak transparan. Tidak pernah ada pembahasan baik mengenai evaluasi terhadap Aswanto maupun sosok Guntur sebagai penggantinya.
Ia mengingatkan, DPR tidak memiliki wewenang untuk memakzulkan hakim. Tidak ada alasan pula bagi DPR untuk memberhentikan hakim jika dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu, apalagi penguasa.
”Meng-impeach ini apa alasannya. Masak meng-impeach hanya karena tidak sesuai dengan kekuasaan, di mana (fungsi) checks and balances-nya,” ujar Benny.
Selain itu, ia menengarai pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi secara mendadak ini sarat kepentingan politis. Ada kecenderungan untuk mengontrol MK demi kepentingan tertentu yang nantinya diproses di MK.
Misalnya, isu terkait perpanjangan masa jabatan presiden, presiden tiga periode, atau kemungkinan bagi presiden dua periode untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden (pilpres).
Sebelumnya, kritik tersebut juga ia sampaikan dalam rapat Komisi III DPR pada Kamis (29/9/2022). Dalam rapat tersebut, Komisi III menghadirkan Guntur untuk diminta kesediaannya menjadi hakim konstitusi menggantikan Aswanto, kemudian menyetujui untuk membawa hasil pertemuan tersebut ke Rapat Paripurna DPR yang diselenggarakan pada hari yang sama.
Dalam rapat paripurna, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa DPR sepakat untuk tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto serta menunjuk Guntur sebagai hakim konstitusi yang baru.
Meski sudah disetujui melalui rapat paripurna, sebelumnya terjadi perdebatan keras di Komisi III DPR. Perdebatan diakhiri dengan mekanisme pemungutan suara.
KOMPAS/NINA SUSILO
Aswanto mengucapkan sumpah sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2019-2021, Selasa (26/3/2019).
Namun, Benny mengatakan, kesepakatan di komisi tidak bulat karena ada dua fraksi partai politik yang tidak hadir memberikan suara, yakni Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.
”Demokrat, Nasdem, dan Partai Amanat Nasional tidak setuju, sedangkan yang setuju adalah sisanya (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa),” kata Benny.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, membenarkan bahwa dirinya sempat menyampaikan keberatan terhadap mekanisme penggantian hakim konstitusi yang dilakukan. Saat itu, ia menjelaskan, surat MK yang dikirim kepada pimpinan DPR bukanlah permintaan penggantian hakim konstitusi, melainkan pemberitahuan perpanjangan masa jabatan hakim. Adapun penggantian hakim harus mengacu pada Pasal 20 Ayat (2) UU MK, yakni dilakukan dengan proses seleksi yang obyektif, akuntabel, transparan, dan terbuka.
Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 87 huruf b UU MK masih berlaku. Pasal tersebut menjadi dasar masa jabatan para hakim konstitusi yang tengah menjabat. Pasal yang dimaksud menyebutkan, hakim konstitusi yang sedang menjabat dianggap memenuhi syarat dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Namun, kata Taufik, saat ini proses penggantian telah tuntas dan DPR sudah menyetujuinya melalui rapat paripurna. Oleh karena itu, saat ini, keputusan ada di tangan Presiden Joko Widodo.
”Kita tunggu sikap Presiden, apakah akan langsung mengeluarkan keppres ataukah akan mempertimbangkan dahulu berbagai aspek, terutama aspek hukum. Bisa juga berkonsultasi dulu dengan berbagai pihak, termasuk DPR, MA, dan bahkan para mantan hakim konstitusi. Yang jelas, kuncinya saat ini ada di Presiden,” ucap Taufik.
Lacak aktor dan kepentingan
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi secara mendadak akan menjadi preseden buruk bagi lembaga kekuasaan kehakiman. Preseden ini berpotensi digunakan oleh politisi untuk memberhentikan setiap hakim yang putusannya dinilai tidak sejalan dengan kepentingan pihak tertentu, sebagaimana pernah terjadi pada Orde Baru.
”Kayak zaman Soeharto, dulu Benyamin Mangkudilaga memutus berlawanan dengan Soeharto, terus kemudian disingkirkan,” katanya.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Bivitri Susanti di Yogyakarta, Rabu (28/8/2019).
Oleh karena itu, menurut dia, aktor-aktor di balik pemberhentian Aswanto dan penunjukan Guntur secara tiba-tiba ini perlu dilacak. Begitu juga dengan motif di balik pemberhentian dan penunjukan sosok-sosok tersebut.
Ia menengarai, peristiwa ini tidak terlepas dari kepentingan pihak tertentu dalam menghadapi Pemilu 2024. Sebab, semua sengketa pemilu, baik pileg, pilpres, maupun pilkada, nantinya akan diproses di MK. ”Bayangkan kalau MK didesain sedemikian rupa. Nanti partai tertentu dan presiden tertentu akan melenggang kangkung (di 2024),” kata Bivitri.
Lebih lanjut ia mengatakan, pemberhentian hakim konstitusi yang dilakukan DPR itu juga sudah melanggar UU MK. Oleh karena itu, ia mendorong Presiden tidak mengeluarkan keputusan untuk menyetujuinya.
”Presiden dengan wewenangnya sebagai pejabat administrasi pemerintahan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik bisa untuk tidak mengeluarkan keputusan itu,” ujarnya.