Sinyal Kocok Ulang Komposisi Hakim Konstitusi
Pergantian mendadaka hakim MK Aswanto dengan Sekjen MA Guntur Hamzah tak tertutup adanya kocok ulang hakim konstituti lainnya dari usulan dari DPR, bahkan pemerintah dan MA.
Berakhirnya uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, tak lantas mengakhiri aktivitas di ruang rapat Komisi III DPR, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/9/2022) petang. Pimpinan komisi meminta para anggota tetap di tempat, untuk mengadakan rapat internal. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Bambang Wuryanto, itu, mengagendakan pemanggilan terhadap Sekretaris Jenderal Mahkamah Konsitusi Guntur Hamzah keesokan harinya.
Hal tersebut sontak membuat sejumlah anggota Komisi III terkejut. Sebab, pemanggilan bertujuan meminta kesediaan Guntur Hamzah menggantikan Aswanto, untuk menjadi hakim konstitusi yang berasal dari usulan DPR. Padahal, tak ada pembahasan mengenai pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi sebelumnya.
Pembicaraan internal komisi yang menyangkut hal itu hanya dilakukan sekali, sekitar sepekan sebelumnya. Saat itu, pimpinan Komisi III memberitahukan bahwa pimpinan DPR telah menerima surat Pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berisi pemberitahuan tentang Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Rapat pimpinan DPR pun meminta agar Komisi III menindaklanjutinya sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Berdasarkan dokumen yang didapatkan Kompas, pemberitahuan itu juga disampaikan tertulis dalam surat Nomor: R/451/PW.01/09/2022 tertanggal 23 September 2022 yang ditandangani Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Dokumen yang dimaksud dilengkapi dengan surat dari Ketua MK Anwar Usman yang bernomor 3010/KP.10/07/2022 tanggal 21 Juli 2022.
Baca Juga: Pemberhentian Aswanto Jadi Preseden Buruk
Dalam suratnya, Ketua MK memberitahukan putusan MK terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, khususnya terhadap Pasal 87 Huruf b, yakni mengenai masa tugas hakim konstitusi. Surat itu mengutip pertimbangan putusan MK yang menyatakan agar ketentuan peralihan tersebut tidak digunakan untuk memberikan keistimewaan terselubung terhadap orang-orang tertentu yang menjabat hakim konstitusi. Maka, MK berpendapat, diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga pengusul hakim konstitusi yang tengah menjabat itu.
Konfirmasi yang dimaksud adalah, hakim konstitusi melalui MK memberitahukan kepada lembaga pengusul masing-masing tentang masa jabatannya yang tidak lagi mengenal periodisasi. Dalam surat juga disebutkan masa jabatan tiga hakim konstitusi dari DPR, yaitu Arief Hidayat yang masa jabatannya akan berakhir pada 2026, Aswanto pada 2029, dan Wahiduddin Adams pada 2024.
"Hakim konstitusi melalui MK memberitahukan kepada lembaga pengusul masing-masing tentang masa jabatannya yang tidak lagi mengenal periodisasi"
Keberatan
Oleh karena itu, dalam rapat internal Komisi III, Rabu sore, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari sempat menyatakan keberatan. Menurut dia, surat yang dikirimkan pimpinan MK berisi pemberitahuan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi dari DPR, bukan untuk mengganti hakim konstitusi.
Namun, keberatan itu tak mempengaruhi apa pun. Pemanggilan Guntur Hamzah tetap diagendakan dan dilakukan pada Kamis (29/9) pagi. Dalam rapat yang diselenggarakan sekitar lima jam sebelum Rapat Paripurna DPR Kamis siang, keberatan yang sama kembali disampaikan oleh Taufik dan diperkuat Benny K Harman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat.
Perdebatan sengit terkait tafsir dan mekanisme pemberhentian hakim konstitusi pun sempat terjadi. Pimpinan komisi menyudahinya dengan mekanisme pemungutan suara. Dari sembilan fraksi partai politik, hanya Nasdem dan Demokrat yang tak menyetujui pemberhentian hakim konstitusi itu, sehingga proses penggantian dari Aswanto kepada Guntur Hamzah pun berlanjut.
Komisi III menyepakati untuk mengganti hakim konstitusi dari DPR, Aswanto, kepada Guntur Hamzah dan membawanya ke rapat paripurna. Dalam rapat paripurna, semua fraksi akhirnya pun menyetujuinya.
Benny K Harman saat dihubungi, Jumat (30/9), membenarkan bahwa dirinya dan Taufik telah menyampaikan penolakan atas pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi dalam rapat internal Komisi III dengan argumentasi serupa. Keduanya menilai, hal tersebut melanggar ketentuan yang ada di UU MK. Merujuk Pasal 23 Ayat (1) Huruf c UU MK, pemberhentian hakim konstitusi dilakukan jika hakim yang dimaksud telah berusia 70 tahun. Namun, tidak satu pun dari tiga hakim konstitusi dari DPR itu yang masuk dalam kategori tersebut.
"Keduanya menilai, hal tersebut melanggar ketentuan yang ada di UU MK. Merujuk Pasal 23 Ayat (1) Huruf c UU MK, pemberhentian hakim konstitusi dilakukan jika hakim yang dimaksud telah berusia 70 tahun. Namun, tidak satu pun dari tiga hakim konstitusi dari DPR itu yang masuk dalam kategori tersebut"
Selain itu, pemilihan Guntur Hamzah juga tak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam Pasal 20 Ayat (2) UU MK. Pasal tersebut menyebutkan, proses pemilihan hakim konstitusi oleh setiap lembaga negara yang berwenang dilakukan melalui seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka. “Ini, kan, tidak transparan, tetapi ujug-ujug ada. Calonnya ini, kan, seperti hantu dari goa saja, tidak jelas,” kata Benny.
Sebelumnya, kata Benny, tak pernah ada pembahasan terkait evaluasi Aswanto, apalagi pertimbangan untuk memilih Guntur Hamzah. Ia menilai, pemberhentian dan penggantian ini memperlihatkan penyalahgunaan kekuasaan, karena DPR tidak berwenang untuk memakzulkan hakim konstitusi. Hal tersebut juga menunjukkan adanya kecenderungan untuk mengontrol kekuasaan kehakiman untuk kepentingan pihak tertentu.
“Ini hanya karena mau mengontrol lembaga (MK) itu saja, supaya sejalan dengan (pihak) yang mengontrol”
“Ini hanya karena mau mengontrol lembaga (MK) itu saja, supaya sejalan dengan (pihak) yang mengontrol,” kata Benny.
Atas sejumlah kejanggalan tersebut, Benny mendorong agar Presiden Joko Widodo tidak menyetujui penggantian hakim konstitusi tersebut. Hal serupa juga disampaikan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil.“Jadi, sepertinya memang ada kesalahpahaman dalam membaca surat dari MK tersebut. Oleh karena itu, kalau merujuk pada UU tentang MK yang terbaru, maka apa yang dilakukan oleh DPR itu, patut dievaluasi, mumpung masih ada kesempatan. Dan saya pikir nanti Presiden juga akan mencermati keputusan DPR terkait hakim MK tersebut,” ujar Nasir.
Tidak sejalan kepentingan DPR
Ditemui di Kompleks Parlemen, Bambang Wuryanto mengakui, penggantian Aswanto berkaitan dengan kinerjanya yang mengecewakan. Ia menyebut, banyak putusan Aswanto justru tidak sejalan dengan kepentingan DPR. Aswanto pun dinilai tidak berkomitmen terhadap DPR yang merupakan lembaga pengusulnya.
“Dasarnya tidak komitmen. Tentu mengecewakan dong. Tidak komit dengan kami, ya mohon maaf-lah, ketika kami punya hak, dipakai-lah. Ya gimana, kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia (Aswanto). Dia wakilnya dari DPR,” ujar Bambang.
Bambang mengakui, keputusan penggantian Aswanto merupakan keputusan politik. Menurut dia, ini juga terjadi karena hadirnya surat dari MK. “Dasar-dasar hukumnya bisa dicari-lah, tetapi ini, kan, dasar surat MK yang mengonfirmasi bahwa tidak ada periodisasi, ya sudah,” ucapnya.
“Dasar-dasar hukumnya bisa dicari-lah, tetapi ini, kan, dasar surat MK yang mengonfirmasi bahwa tidak ada periodisasi, ya sudah”
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menambahkan, belakangan DPR juga merasakan ada penyalahgunaan independensi kekuasaan kehakiman yang melekat pada hakim konstitusi. Salah satunya soal kewenangan untuk melakukan uji formil. Dari situ, MK mulai mengadili UU Cipta Kerja yang belakangan dinilai inkonstitusional bersyarat, serta mengadili UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Padahal, jika merunut risalah pembahasan amandemen UUD 1945, tidak ada desain yang mengarah bahwa MK dibentuk untuk juga memiliki kekuasaan menguji formil. Desainnya adalah untuk melakukan uji materiil terhadap UU dengan menggunakan parameter yang diatur di dalam UUD 1945.
“Ketika MK melakukan uji formil, yang terjadi kemudian adalah MK juga menggunakan UU Pembentukan Peraturan Perundangan untuk menguji UU yang dihasilkan, UU Cipta Kerja, lalu juga UU No 7/2020. Lha ini, kan, inkonstitusional. Sebab, kalau kita baca Pasal 24C UUD 1945, maka kewenangan MK jelas, menguji UU terhadap UUD 1945. Jadi, enggak boleh menggunakan parameter UU,” kata Arsul.
Bagi DPR, independensi itu disalahgunakan ketika putusan MK dalam uji formil menggunakan parameter dan standar yang berbeda. Saat MK menguji formil UU Cipta Kerja, uji formil dikabulkan, tetapi menolak formil UU No 7/2020. Padahal, keduanya mempertimbangkan aspek partisipasi bermakna selama pembentukan UU.
“Ketika MK melakukan uji formil, yang terjadi kemudian adalah MK juga menggunakan UU Pembentukan Peraturan Perundangan untuk menguji UU yang dihasilkan, UU Cipta Kerja, lalu juga UU No 7/2020. Lha ini, kan, inkonstitusional. Sebab, kalau kita baca Pasal 24C UUD 1945, maka kewenangan MK jelas, menguji UU terhadap UUD 1945. Jadi, enggak boleh menggunakan parameter UU”
“Padahal, kalau bicara proses pembuatan UU No 7/2020, yang disebut meaningful participation, kalau kita mau ukur dari sisi kuantifikasi dan kualifikasinya, jauh di bawah UU Cipta Kerja,” ucap Arsul.
Catatan Kompas, dalam putusan MK tentang UU Cipta Kerja, memang sempat terjadi pendapat yang berbeda di antara sembilan hakim konstitusi. Pendapat berbeda itu disampaikan Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic P Foekh. Adapun hakim konstitusi yang mengabulkan uji formil tersebut adalah Aswanto, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.
Baca Juga: Mendadak, DPR Ganti Hakim MK Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah
Penggantian hakim lain
Arsul melanjutkan, penggantian hakim konstitusi bisa saja tidak hanya terjadi pada Aswanto. Ia mengisyaratkan, terkait dengan adanya kecenderungan penyalahgunaan independensi kekuasaan kehakiman, terbuka kemungkinan akan ada penggantian hakim konstitusi lain, bukan saja yang diusulkan DPR, melainkan juga usulan pemerintah dan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, ia meminta agar para hakim konstitusi mengintrospeksi diri terkait sikap kenegarawanan yang ada pada diri mereka masing-masing. “Kita tidak tahu, besok mau ada (penggantian hakim konstitusi) lagi atau enggak, baik yang dari pemerintah maupun yang dari MA. Jangan-jangan nanti pemerintah juga akan bersikap sama. Kita tunggu saja lah,” katanya.
Dihubungi terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjawab singkat mengenai kemungkinan Presiden Joko Widodo akan memberhentikan dan mengganti hakim konstitusi demi mengamankan produk legislasi pemerintah. “Saya belum dalami, ya. Tetapi coba dicek, mungkin faktor usia,” katanya.