Sembilan mantan hakim MK menyatakan, keputusan DPR memberhentikan hakim konstitusi Aswanto adalah inkonstitusional. Presiden tak perlu menindaklanjuti putusan DPR itu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, NINA SUSILO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sembilan mantan hakim konstitusi, yang tiga di antaranya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Hamdan Zoelva, sepakat bahwa langkah Dewan Perwakilan Rakyat memberhentikan hakim konstitusi Aswanto di tengah-tengah masa jabatannya adalah perbuatan melanggar konstitusi dan Undang-Undang MK. Pemerintah, dalam hal ini Presiden, didesak untuk tidak menindaklanjuti keputusan DPR itu dengan mengeluarkan keputusan presiden.
Tidak ada konsekuensi bagi Presiden tidak mengikuti keputusan DPR tersebut karena pemberhentian Aswanto memang tidak bisa ditindaklanjuti. ”Memberhentikan Aswanto itu tidak bisa (dilakukan). Kenapa tidak bisa karena menurut undang-undang harus ada surat dari Ketua MK tentang pemberhentian yang bersangkutan. Kalau surat pemberhentian tidak ada, keppres tidak ada. Berarti tidak ada kekosongan hakim. Tidak bisa mengangkat penggantinya,” ujar Jimly, dalam konferensi pers di gedung MK, Jakarta, Sabtu (1/10/2022). Ia didampingi oleh Hamdan Zoelva dan mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan.
Pertemuan selama lebih kurang dua jam tersebut dihadiri oleh sembilan mantan hakim konstitusi. Selain tiga mantan ketua MK dan Maruarar, hadir pula secara daring mantan hakim konstitusi Laica Marzuki (dari Makassar, Sulawesi Selatan), Harjono (dari Surabaya, Jawa Timur), Achmad Sodiki (dari Malang, Jatim), Maria Farida Indrati (dari Depok, Jawa Barat), dan I Dewa Gede Palguna (dari Denpasar, Bali).
Di kesempatan itu, hadir pula Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah yang dipilih oleh DPR untuk menggantikan Aswanto.
Keputusan Komisi III mengganti Aswanto dengan Guntur itu terjadi pada Kamis (29/9/2022). Saat menyampaikan keterangan mengenai putusan itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco mengatakan, DPR tidak akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan lembaga DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang berasal dari DPR (Kompas.id, 29/9/2022).
Putusan itu berangkat dari surat MK kepada DPR. Dalam surat itu, Ketua MK memberitahukan putusan MK terkait uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, khususnya Pasal 87 Huruf b, yakni soal masa tugas hakim konstitusi. Surat mengutip pertimbangan putusan MK yang menyatakan agar ketentuan peralihan tak digunakan untuk memberikan keistimewaan terselubung terhadap orang-orang tertentu yang menjabat hakim konstitusi. Maka, MK berpendapat, diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi ke lembaga pengusul hakim konstitusi yang tengah menjabat berupa surat pemberitahuan dari Ketua MK. Dalam surat itu disebutkan tiga hakim konstitusi yang diusulkan DPR, yaitu Arief Hidayat (berakhir 2026), Aswanto (2029), dan Wahiduddin Adams (2024).
Guntur tidak tahu
Dalam pertemuan bersama sembilan mantan hakim konstitusi itu, Guntur menyampaikan kronologi penggantian Aswanto dengan dirinya. Para mantan hakim konstitusi itu pun ikut memeriksa surat ketua MK ke DPR. ”Ternyata (dari kronologi), itu mendadak. Dia (Guntur) juga tidak tahu, tiba-tiba dipanggil untuk fit and proper test (di Komisi III DPR) tanpa tahu siapa yang mau diganti. Di paripurna, sampai dia dikukuhkan jadi calon, dia belum tahu menggantikan siapa,” kata Jimly.
Menurut Jimly, karena merasa tidak tahu, Guntur menghubungi tiga hakim konstitusi yang diusulkan DPR, seperti yang disebutkan dalam surat Ketua MK ke DPR tersebut. Namun, ketiganya tak tahu siapa yang akan diganti.
Mengutip Pasal 24 UU MK, Jimly menyebutkan bahwa pemberhentian hakim konstitusi dilakukan atas permintaan ketua MK kepada presiden dan bukan ke lembaga pengusul. ”Jadi, kesimpulan kami, pertama ini jelas melanggar UUD. Kedua, melanggar Undang-Undang (MK),” kata Jimly.
Hamdan memperjelas dengan menyebutkan bahwa DPR melanggar secara prosedur dan secara materiil. Pelanggaran prosedur yakni berhenti atau berakhirnya jabatan seorang hakim konstitusi harus diberitahukan ke lembaga pengusul enam bulan sebelumnya. Pemberitahuan jadi dasar lembaga negara terkait melakukan proses pergantian hakim baru.
Adapun pelanggaran dari aspek materiil, tambah Hamdan, adalah masa jabatan hakim konstitusi saat ini hingga berumur 70 tahun jika mengacu pada UU MK. ”Kalau ada pemberhentian sebelum mencapai batas usia atau batas masa jabatan, adalah pemberhentian yang biasanya karena meninggal, mengundurkan diri, ataupun diberhentikan dengan banyak alasan antara lain karena pelanggaran etik, hukum. Nah, ini tidak ada satu pun yang terpenuhi,” kata Hamdan.
Selain itu, kesembilan hakim konstitusi sepakat bahwa DPR salah paham dalam memahami isi surat ketua MK tanggal 23 Juli 2022. Surat itu berisi pemberitahuan mengenai putusan MK dan masa jabatan hakim konstitusi saat ini tidak lagi menganut sistem periodisasi dan tapi menggunakan sistem pensiun.
”DPR itu salah memahami seolah-olah minta konfirmasi ke DPR. DPR mengonfirmasi dengan dua kemungkinan, yaitu menjawab lisan dengan kata-kata atau dengan tindakan. Ini dijawab dengan tindakan yaitu memberhentikan dan melakukan penggantian. Padahal, yang dimaksud MK bukan begitu. Surat MK itu menjelaskan, memberitahukan, konfirmasi mengenai masa jabatan sesuai dengan ketentuan UU baru itu sudah diubah berdasarkan usia, bukan lagi berdasarkan periode masa jabatan,” katanya.
Kesembilan mantan hakim konstitusi ini kemudian merekomendasikan agar presiden mendiamkan saja keputusan DPR sehingga tidak usah menandatangani keppres pemberhentian Aswanto. Menurut Jimly, tidak ada konsekuensi bagi Presiden jika tidak menerbitkan keppres tersebut.
Saat ditanya apakah presiden akan melanggar konstitusi jika menandatangani keppres pemberhentian Aswanto, Jimly menyahut, ”Makanya, Presiden tidak akan melakukannya karena ini jelas melanggar konstitusi, melanggar UU, dan salah paham pada surat MK.”
Jimly menyarankan agar permasalahan ini diselesaikan dengan pertemuan politik untuk mencari jalan keluarnya. Keputusan DPR menggantikan Aswanto dengan Guntur, dengan mengacu UU MK, bisa saja dilakukan tetapi menunggu Aswanto pensiun pada 2029.
Menanggapi penilaian sembilan hakim konstitusi tersebut, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, bahwa MK dalam beberapa putusan juga melanggar konstitusi. Hal itu bahkan terjadi di era kepemimpinan Jimly saat membatalkan kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi.
Ia kemudian menjelaskan latar belakang keputusan DPR mengganti Aswanto. Salah satunya terkait putusan MK yang mengandung standar ganda saat memutus uji formil terhadap UU MK dibandingkan uji formil UU Cipta Kerja. Terhadap UU Cipta Kerja, MK menyatakan undang-undang itu inkonstitusional bersyarat karena tak memenuhi syarat partisipasi bermakna. Tak demikian halnya terhadap UU MK.
”Ketika putusan uji formil terhadap UU Cipta Kerja, kita biasa saja. Tapi begitu uji formil UU MK (ditolak oleh MK). Padahal dari partisipasi publik harus diakui dari kuantifikasi dan kualifikasi lebih rendah dari UU CK,” ujar Arsul.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang ditemui pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di Lubang Buaya, Jakarta, menyampaikan, pemerintah akan menyiapkan mekanisme jika MK mengajukan konfirmasi serupa seperti yang dikirimkan ke DPR. ”Yang (hakim konstitusi usulan) pemerintah, nanti akan kita olah agar tidak terjadi kejutan-kejutan,” ujarnya.