Kala Wacana Pasangan Prabowo-Jokowi Dibawa ke Mahkamah Konstitusi
Soal apakah Presiden yang sudah dua kali menjabat bisa mencalonkan sebagai wakil presiden menjadi isu hangat beberapa waktu terakhir. Kini, muncul permohonan uji materi syarat calon presiden-wakil presiden ke MK.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Ghea Gyastie Italiane yang menggunakan atribusi Koordinator Sekretariat Bersama Prabowo-Jokowi 2024-2029 menggugat syarat pencalonan presiden-wakil presiden di UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Pemohon mempersoalkan pembatasan masa jabatan presiden dan wapres selama dua masa jabatan.
Ketua MK Anwar Usman diminta masyarakat sipil tidak ikut menangani permohonan ini karena ia adik ipar Presiden Jokowi.
Beberapa waktu lalu, dunia hukum tata negara heboh dengan pernyataan juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso yang menyatakan Presiden dua periode tidak dilarang maju sebagai calon wakil presiden. Dalam pemberitaan sebuah media online nasional, Fajar mengungkapkan tidak ada peraturan yang melarang hal tersebut, hanya saja hal itu lebih terkait dengan etika politik .
Ia mengutip bunyi Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
”Kata kuncinya kan: dalam jabatan yang sama,” kata Fajar, seperti dikutip media tersebut pada 12 September 2022 pagi.
Berita ini menjadi perbincangan hangat di kalangan ahli hukum tata negara. Bahkan, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie ikut urun rembuk. Menurut dia, UUD 1945 sudah mengatur Presiden hanya menjabat selama 2 x 5 tahun, sesudahnya tidak boleh lagi, termasuk jadi wakil presiden. Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, pun mengeluarkan pernyataan yang hampir serupa.
Beberapa waktu kemudian, MK menyampaikan siaran pers resmi yang menyatakan bahwa pernyataan Fajar bukan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan MK. Disebutkan pula pernyataan itu ialah respons yang disampaikan dalam diskusi informal melalui chat WA, bukan dalam forum resmi, doorstop, apalagi pertemuan khusus yang sengaja dimaksudkan untuk itu.
Disebutkan pula Fajar juga merupakan pengajar atau akademisi sehingga dalam beberapa kesempatan membuka ruang bagi wartawan mendiskusikan isu-isu publik aktual sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundangan atau kode etik.
Rupanya, yang tadinya wacana tersebut kini menjadi sebuah perkara di MK. Adalah Ghea Gyastie Italiane yang menggunakan atribusi Koordinator Sekretariat Bersama Prabowo-Jokowi 2024-2029 menjadi pihak yang membawa masalah itu ke MK.
Ia mempersoalkan ketentuan Pasal 169 Huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang persyaratan presiden/wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu berbunyi: ”Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wapres selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Ghea mempertentangkan pasal tersebut dengan Pasal 7 UUD 1945 dan Pasal 28D terkait dengan kepastian hukum dan jaminan bagi warga negara memiliki kesempatan di dalam pemerintahan.
Dalam permohonannya, Ghea mempersoalkan adanya pembatasan masa jabatan presiden dan wapres selama dua masa jabatan sehingga menimbulkan pembatasan hak. ”Pemohon membutuhkan kepastian hukum apakah presiden yang telah menjabat 2 periode dapat maju lagi, tetapi sebagai wapres,” ungkapnya dalam permohonan.
Ia meminta MK agar menyatakan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu harus dimaknai sebagai dalam masa jabatan yang sama secara berturut-turut.
Posisi Ketua MK
Denny Indrayana mengungkapkan, Anwar Usman harus mengundurkan dan tidak turut menyidangkan perkara yang diajukan Ghea. Ia mengacu pada Peraturan MK Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, khususnya prinsip ketidakberpihakan.
Poin ke-5 penerapan prinsip ketidakberpihakan tersebut antara lain, hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di antaranya, hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunya kepentingan langsung terhadap putusan.
Karena permohonan yang diujikan berkaitan dengan Pak Jokowi sebagai ipar Ketua MK, maka sewajibnya tidak ikut periksa yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kakak ipar tersebut.
”Karena permohonan yang diujikan berkaitan dengan Pak Jokowi sebagai ipar Ketua MK, maka sewajibnya tidak ikut periksa yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan kakak ipar tersebut,” kata Denny.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengatakan, Ketua MK Anwar Usman tidak bisa ikut menyidangkan perkara pengujian UU Pemilu tersebut. Memang benar bahwa yang diuji adalah norma Pasal 169 Huruf n UU Pemil. Namun Anwar ”kebetulan” memiliki hubungan personal dengan Presiden berkuasa saat ini, yaitu sebagai saudara ipar.
Seperti diketahui, Anwar Usman telah melangsungkan pernikahan dengan adik Presiden Jokowi, Idayati, pada 26 Mei 2022. ”Justru karena ’kebetulan’ itulah dia harus mundur. Norma tersebut menjadi konkret bagi Presiden dan Ketua MK,” ujarnya.
MK, dalam persidangan perkara tersebut, nantinya dapat mengumumkan bahwa Ketua MK tidak turut dalam pemeriksaan perkara tersebut. Atau, mekanisme lainnya adalah Ketua MK harus menyatakan dalam persidangan bahwa dirinya tidak ikut memeriksa dan mengadili perkara.
Juru bicara MK, Fajar Laksono Suroso, yang dikonfirmasi mengenai hal ini tidak memberikan respons.
Mengenai apakah bisa Jokowi menjadi cawapres dalam Pemilu 2024, Denny menegaskan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan. Tidak hanya melanggar etika politik, menurut Denny, gagasan tersebut juga bertentangan dengan konstitusi. Jokowi tidak dapat maju baik sebagai capres maupun cawapres mengingat ada pembatasan masa jabatan dua periode.
”Kalau untuk cawapres dibatasi oleh Pasal 8 juncto Pasal 7 UUD 1945. Pasal 8 mengatur, jika Presiden berhalangan, maka Presiden digantikan oleh wapres. Ketika wapresnya pernah menjadi presiden dua periode, pasal tidak bisa dieksekusi. Sebab, kalau Pak Jokowi naik jadi Presiden, maka terbentur Pasal 7. Oleh karena itu, beliau tidak bisa menjadi wapres karena akan nabrak Pasal 8 Ayat (1) juncto Pasal 7 UUD 1945,” ujar Denny.
Lebih lanjut, menurut Denny, sebaiknya Presiden Jokowi secara tegas saja menyatakan bahwa dirinya tidak akan mencalonkan diri dalam Pemilu 2024, baik sebagai capres maupun cawapres, karena akan melanggar konstitusi. Presiden juga perlu meminta supaya semua pihak untuk menghentikan wacana tersebut, apalagi mengampanyekannya.
”Selama Presiden tidak tegas, banyak orang yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat mencoba-coba mendorong tentang tiga periode atau pencalonan dia sebagai cawapres,” kata Denny.
Ditanya wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (16/9), Presiden Joko Widodo enggan menjawab panjang ketika ditanya mengenai dirinya yang disebut berpeluang maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Presiden justru memberi pertanyaan balik mengenai asal dari wacana peluang dirinya maju sebagai calon wakil presiden itu.
Pasalnya, didorong-dorong memperpanjang jabatan dua tahun lagi dan diperpanjang tiga periode jabatannya saja Presiden Jokowi menolak, apalagi hanya menjadi calon wapres. ”Sejak awal saya sampaikan bahwa... ini yang menyampaikan bukan saya, lho ya. Urusan tiga periode sudah saya jawab. Begitu (urusan tiga periode) itu sudah dijawab, muncul lagi yang namanya perpanjangan. (Urusan perpanjangan ini) Juga sudah saya jawab,” kata Presiden Jokowi.
Persoalan etik juga disuarakan Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera Muhammad Kholid. Seandainya secara norma hukum Presiden dua periode dimungkinkan maju menjadi cawapres, standar moral pemimpin akan berkurang karena etika dikesampingkan demi meraih kekuasaan. Padahal, sebagai Presiden, etika mesti berada di atas norma hukum karena menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
”Di sistem presidensial, posisi Presiden merupakan yang tertinggi. Kalau turun jabatan menjadi Wakil Presiden, akan menurunkan derajat standar pemimpin negeri,” katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengingatkan agar semua pihak konsisten terhadap pembatasan masa jabatan hanya dua periode. Sebab, hal itu merupakan buah dari reformasi yang diperjuangkan sejumlah pihak hingga akhirnya ada amandemen UUD 1945.
Bahkan, pembatasan masa jabatan menjadi penting karena bisa menjaga konsolidasi demokrasi agar terjaga dengan baik. ”Pembuat UU dalam membahas UU Pemilu telah mempertimbangkan banyak aspek dalam merumuskan pasal tersebut. Ada perdebatan panjang terkait dengan beberapa isu, termasuk pembatasan masa jabatan, yang mengacu pada UUD 1945,” ucap Ace.