Jumlah Tenaga Honorer Membengkak, Menpan dan RB Minta Pendataan Ulang
Setelah pemerintah meminta agar honorer di setiap instansi didata, jumlahnya justru membengkak. Data BKN hanya sekitar 400.000 honorer tersisa, tetapi data yang masuk dari instansi, sudah mencapai 1,1 juta honorer.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas berbicara dalam dalam acara Rapat Koordinasi antara Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Kemenpan RB di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas meminta seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah mendata ulang pegawai honorer yang bekerja di instansi masing-masing.
Pendataan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Menpan dan RB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pusat Daerah. Apabila data yang disampaikan tak sesuai kriteria, akan ada konsekuensi hukum.
Hal itu disampaikan Azwar Anas dalam acara Rapat Koordinasi antara Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dengan Kemenpan dan RB di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Azwar mengatakan, melalui forum itu, dia ingin mendengar masukan dari kepala daerah dan sekretaris daerah. Acara itu juga sekaligus menjadi ajang sosialisasi kebijakan Kemenpan dan RB bahwa pada 28 November 2023 tidak boleh lagi ada tenaga honorer.
Mantan Bupati Banyuwangi itu menjelaskan, dari waktu ke waktu permasalahan tenaga honorer terus muncul. Pada 2005, pemerintah sudah menerbitkan regulasi yang mengatur soal tak lagi rekrutmen tenaga honorer.
Namun, kenyataannya, saat itu masih tersisa sekitar 60.000 tenaga honorer yang belum diangkat. Sisa tenaga honorer yang belum diangkat itu ditargetkan rampung pada 2012. Namun, ternyata saat akan diselesaikan, datanya melonjak menjadi 11 kali lipat lebih banyak, mencapai 700.000 tenaga honorer.
”Ini dilema bagi pemerintah. Di satu sisi, kami diminta oleh publik agar aparatur sipil negara (ASN) memiliki competitiveness tinggi. Namun, di sisi lain ada tenaga honorer yang terus tumbuh dan muncul,” katanya.
Tahun 2018, kemudian muncul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dari beleid itu, keberadaan tenaga honorer tidak dikenal di nomenklatur ASN. ASN hanya terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan PPPK.
Ratusan tenaga honorer Kategori 2 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdemonstrasi di Gedung DPRD DIY, Kota Yogyakarta, Kamis (4/10/2018). Dalam demonstrasi itu, mereka menuntut penundaan penerimaan calon pegawai negeri sipil tahun 2018.
Lebih rinci lagi, Pasal 99 Ayat (1) PP No 49/2018 juga memberi batasan, keberadaan pegawai honorer yang bekerja di instansi pemerintah agar diberi tenggat paling lama lima tahun sejak PP itu diundangkan pada 28 November 2018. Artinya, batas akhir keberadaan tenaga honorer, baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah, paling lambat pada 28 November 2023.
”Ternyata setelah PP itu keluar pun masih menyisakan 400.000 yang harus dibereskan di tahun ini untuk transisi sampai tahun 2023. Almarhum Pak Menteri (Tjahjo Kumolo) sudah memberikan surat pada 2023 ini yang terakhir. Ternyata ada fakta baru juga bahwa jumlahnya lebih banyak dari itu,” ujarnya.
Menurut dia, pembengkakan data yang dilaporkan oleh instansi pusat maupun daerah itu setelah diteliti karena tak sesuai dengan kriteria PP 48/2005. Instansi pusat dan daerah berdalih keberadaan tenaga honorer masih diperlukan untuk membantu kegiatan di lapangan karena masih ada jabatan yang kosong.
Namun, bagi pemerintah, untuk mewujudkan birokrat yang melayani, akuntabel, dan bersaing itu diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Oleh karena itu, rekrutmen ASN juga harus memenuhi standar nilai tertentu. Saat nilai diturunkan, imbuhnya, ternyata banyak dari tenaga honorer yang tak bisa lolos seleksi.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Lebih dari 1.000 guru honorer di Jawa Barat berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (31/10/2016). Mereka menuntut peningkatan kesejahteraan, salah satunya memberlakukan honor sesuai standar upah minimum provinsi.
”Hari ini, prioritas kami adalah yang wajib yang kami bereskan, yaitu masalah pendidikan dan kesehatan. Sebab, faktanya, masih banyak puskesmas dan di beberapa tempat ternyata tidak ada guru dan kurang tenaga kesehatannya,” ujarnya.
Di sisi lain, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga menyebut bahwa masih ada kelebihan 200.000 tenaga guru karena penumpukan di daerah tertentu, seperti Pulau Jawa. Masalah penumpukan guru tersebut harus diatasi dengan meredistribusi jumlah guru ke daerah lain yang membutuhkan.
”Bapak Presiden memerintahkan untuk didata dengan baik. Ternyata, pada saat didata ulang ada yang gelembung datanya agak beda. Kami minta kemudian data ini diaudit lagi dengan baik,” ujarnya.
Instansi pemerintah pusat dan daerah diberi waktu selama satu bulan untuk mengaudit ulang data honorer yang diajukan. Data yang disetor harus sesuai dengan kriteria. Ketika menyetor data itu, bupati dan sekretaris daerah, misalnya, diminta untuk meneken surat pertanggungjawaban bahwa data mereka sudah sesuai dengan realitas. Jika data tak sesuai, akan ada konsekuensi hukum. Kebijakan ini diambil karena Azwar merasa kasihan dengan tenaga honorer yang sudah mengabdi selama 5-10 tahun, tetapi datanya tertimpa dengan yang lain.
Tiga opsi
Setelah data yang disetor sesuai, Kemenpan RB akan mempertimbangkan tiga opsi untuk penyelesaian masalah honorer hingga 2023. Tiga opsi yang disampaikan Azwar di depan forum Apkasi itu adalah tenaga honorer diangkat seluruhnya menjadi ASN, diberhentikan seluruhnya, atau diangkat sesuai dengan prioritas.
”Presiden meminta bahwa birokrasi harus cepat melayani. Sudah banyak daerah yang birokrasinya jemput bola, melayani, ada mal pelayanan publik, tetapi di sisi lain ada masalah lain soal honorer yang tidak bisa melewati passing grade. Masalah ini harus diatasi,” ucapnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana mengatakan, sejak 2005 sudah ada 1,4 juta orang yang diterima sebagai ASN dari tenaga honorer.
Kemudian, berdasarkan data BKN, honorer tersisa hanya 410.010 orang. Namun, hingga kini, pengajuan jumlah tenaga honorer yang bisa mengikuti rekrutmen menjadi ASN dari instansi pusat dan daerah telah mencapai 1,1 juta orang.
Maria Ulfa (31), guru honorer di SD Negeri 72 Banda Aceh, mengajar siswanya. Maria menjadi guru honorer sejak 2018. Upah yang dia dapatkan sebagai guru honorer Rp 230.000 per bulan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Maria juga menjadi buruh cuci pakaian.
Karena itu, ia juga sepakat bahwa audit data, atau pendataan ulang data jumlah tenaga honorer yang bisa mengikuti rekrutmen pengangkatan sebagai ASN harus dilakukan.
”Data ulang, sebenarnya mana yang riil dan sesuai kriteria yang berlaku,” kata Bima.
Pendataan ulang atau audit jumlah tenaga honorer itu akan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Data akan disisir ulang dan diverifikasi supaya sesuai dengan kriteria yang diatur di PP No 48/2005 sehingga pemerintah bisa benar-benar membereskan persoalan tenaga honorer ini.