Tenaga honorer K2 Kudus yang tidak lolos menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Kudus, Jawa Tengah, Senin (24/2). Mereka menuntut diangkat menjadi CPNS dan meminta aparat penegak hukum mengusut dugaan pemalsuan data tenaga honorer yang seharusnya tidak memenuhi persyaratan tetapi diloloskan menjadi CPNS.Kompas/Albertus Hendriyo Widi (HEN)24-02-2014
JAKARTA,KOMPAS – Negara membutuhkan aparatur sipil negara atau ASN berkualitas untuk meningkatkan pelayanan publik, menopang pembangunan, dan membuat negara berdaya saing dalam kompetisi global. Untuk itu, siapapun yang hendak menjadi ASN harus melalui proses seleksi dan memenuhi persyaratan undang-undang.
Ini termasuk berlaku bagi 438.590 tenaga honorer kategori (THK) 2 yang tidak lulus seleksi pada 2013, dan menuntut agar diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Setiawan Wangsaatmadja saat rapat gabungan tujuh komisi di DPR dengan tujuh kementerian, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/6), mengatakan, dari 4,3 juta ASN saat ini, 1,6 juta (37,7 persen) orang merupakan tenaga administrasi.
Jumlah ini lebih besar dari guru (37,6 persen), jabatan fungsional teknis (8,57 persen), jabatan struktural (9,99 persen), dan jabatan fungsional kesehatan (6,07 persen). Di sejumlah instansi pemerintah, komposisi tenaga administrasi bahkan sudah lebih dari 50 persen. Di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), misalnya, mencapai 60 persen dan Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat, mencapai 81 persen.
Sementara jumlah ASN berkompetensi teknis yang sesuai kebutuhan organisasi dan arah pembangunan, sangat minim. Di Kementerian PUPR, jumlah pegawai di jabatan teknis penunjang hanya sebelas persen. Kemudian di Sulawesi, jumlah ASN yang berkompetensi teknis di bidang perikanan hanya 0,1 persen.
Jumlah total tenaga administrasi itu bakal lebih besar jika 438.590 THK-2 diangkat menjadi CPNS. Ini karena separuhnya atau sebanyak 269.400 orang diantaranya, tenaga administrasi.
Padahal ASN berkompetensi teknis lebih banyak dibutuhkan daripada yang berkompetensi administrasi guna menopang pembangunan termasuk pembangunan daerah, meningkatkan pelayanan publik, dan agar negara bisa bersaing dalam kompetisi global.
Selain itu, yang dibutuhkan adalah ASN berkualitas. Untuk itu, mereka yang menjadi ASN harus terlebih dulu lolos seleksi. Metode seleksi berbasis komputer yang dimulai sejak tahun 2014, diyakini pemerintah bisa memenuhi kebutuhan negara tersebut.
Atas dasar itu, terhadap 438.590 THK-2 yang tidak lulus tes menjadi CPNS tahun 2013 tetapi tetap ingin menjadi CPNS, mereka harus tetap melalui seleksi. Tak hanya itu, mereka yang bisa ikut seleksi hanya yang dibutuhkan pemerintah untuk mencapai program prioritas pemerintah, seperti guru, dosen, dan petugas kesehatan. Hal lainnya, mereka harus memenuhi syarat yang diatur di Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Aparatur Sipil Negara. Syarat itu seperti batas usia maksimal 35 tahun saat tes CPNS, dan kualifikasi akademik, seperti guru minimal S1 atau D4 dan tenaga kesehatan minimal D3.
Jika mengacu pada hal-hal tersebut, Setiawan melanjutkan, maka hanya ada 13.347 THK-2 yang bisa mengikuti seleksi. Mereka adalah THK-2 yang bekerja sebagai guru dan kesehatan.
Sisanya, bagi yang berusia masih di bawah 35 tahun, tetap bisa mencoba mengikuti tes CPNS. Namun jika usianya sudah melebihi 35 tahun bisa mencoba mengikuti seleksi untuk menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) setelah peraturan teknis atau peraturan pemerintah yang mengatur soal PPPK tuntas dibahas dan disahkan oleh pemerintah.
“Kemudian yang tidak bisa menjadi keduanya, karena honorer itu banyak yang diangkat oleh pemda (pemerintah daerah), maka kami serahkan kepada pemda. Ini dengan catatan mereka harus diberikan kesejahteraan yang memadai,” ujar Setiawan.
Sikap pemerintah ini menurut Setiawan, bukan berarti pemerintah tidak memperhatikan nasib THK-2. Dia mengingatkan, pemerintah sudah mengangkat 1.070.092 tenaga honorer menjadi CPNS sejak tahun 2005-2014. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan jumlah pelamar umum yang diangkat menjadi CPNS, sebanyak 775.884 orang.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo pun mengingatkan pengangkatan honorer menjadi CPNS tetap harus merujuk pada dasar hukum yang ada dan data yang akurat. Hal lain yang penting, harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syarifuddin mengatakan, jika seluruh THK2 diangkat menjadi CPNS, bisa membuat anggaran daerah terbebani sebesar Rp 8,4 triliun. “Ini kebutuhan untuk satu tahun anggaran,” katanya.
Penghargaan pengabdian
Sementara sejumlah anggota DPR keberatan dengan sikap Kemenpan RB. Mereka tetap menuntut THK2 diangkat menjadi CPNS. Menurut Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Misbakhun, mereka harus diangkat sebagai bentuk penghargaan negara atas pengabdian dan dedikasi para honorer kepada negara sekalipun selama ini, mereka tidak pernah memperoleh upah yang layak dari negara.
“Negara harus tegas bersikap menyelesaikan persoalan yang tidak kunjung tuntas ini, terutama untuk mengayomi mereka yang telah mengabdi pada negara,” ujarnya.
Apalagi realitanya menurut Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Fikri Faqih, para honorer itu, terutama guru dan petugas kesehatan, dibutuhkan negara untuk menutupi kekurangan guru dan petugas kesehatan dari PNS.
Oleh karena rapat kerja gabungan itu dinilai belum bisa melahirkan solusi untuk menyelesaikan persoalan THK2, DPR dan pemerintah sepakat akan kembali menggelar rapat gabungan, 23 Juli mendatang. Dalam rapat selanjutnya, seluruh menteri terkait diharapkan hadir sehingga rapat bisa mengambil keputusan.