Muncul anggapan ada dimensi politik dalam kebijakan terbaru pemerintah terkait honorer. Untuk mencegah hal itu, rekrutmen honorer ataupun tenaga alih daya gunamenggantikan honorer, harus tetap kedepankan sistem merit.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) saat mengikuti HUT ke-45 Korpri Jawa Timur di Gedung Grahadi Surabaya, Selasa (29/11/2016).
JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan terbaru pemerintah soal tenaga honorer dikhawatirkan ditunggangi kepentingan politik untuk pemenangan Pemilu 2024. Untuk mencegah hal itu, sistem perekrutan harus ketat dan transparan. Begitu pula dalam perekrutan tenaga alih daya oleh pemerintah daerah sebagai ganti ketiadaan honorer.
Sinyalemen soal kepentingan politik 2024 itu sempat dilontarkan sejumlah wali kota dan wakil wali kota dalam diskusi Kompas Collaboration Forum- City Leaders Community bertajuk ”Penguatan Politik Anggaran Transfer Daerah untuk Pembangunan Kota” yang digelar harian Kompas bersama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Jumat (10/6/2022), di kantor Redaksi Kompas, Jakarta.
Hadir sebagai narasumber Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor Bima Arya dan Direktur Dana Transfer Umum Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Adriyanto. Adapun sebagai penanggap diskusi hadir di Jakarta, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, Wali Kota Jambi Syarif Fasha, dan Wakil Wali Kota Denpasar I Kadek Agus Arya Wibawa. Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar secara daring turut menanggapi paparan.
Awal Juni lalu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) mengumumkan bahwa pada 28 November 2023 tidak boleh lagi ada honorer. Sekitar 360.000 honorer yang masih bekerja di instansi pemerintah pusat dan daerah dibukakan pintu untuk menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) atau pegawai negeri sipil (PNS). Namun, syaratnya harus melalui serangkaian tes.
Para aparatur sipil negara (ASN) mengikuti upacara hari ulang tahun ke-47 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (29/11/2018).
Jika setelah tak ada lagi honorer, pejabat pembina kepegawaian (PPK), yakni menteri, kepala lembaga atau kepala daerah, menilai masih membutuhkan tenaga di luar PNS dan PPPK, mereka dapat mengangkat pegawai outsourcing (pekerja alih daya). Perekrutan ini harus mempertimbangkan keuangan dan kebutuhan.
Menyikapi kebijakan itu, Bima Arya menyampaikan, saat ini muncul spekulasi bahwa ada kepentingan politik di balik kebijakan itu. ”Ada anggapan, jangan-jangan ada dimensi politik di sini, adanya rekrutmen, misal tenaga kebersihan, dan lain-lain, untuk akomodasi politik,” katanya.
Jika spekulasi itu benar, ia melihatnya sebagai hal yang wajar. Kepala daerah, misalnya, akan berpikir bagaimana konstituennya memperoleh pekerjaan. Asalkan, menurut dia, penerimaan honorer itu sesuai dengan aturan dan kebutuhan. ”Jadi, inilah yang penting. Sejauh kebutuhannya jelas, alokasi di mana, pusat mau berapa, ini yang harus di-clear-kan,” ujarnya.
Kelumpuhan birokrasi
Yang juga harus dipastikan, pelayanan publik tak terimbas oleh kebijakan itu. Pasalnya, pemda mempertahankan tenaga honorer karena terbatasnya ASN. ”Kalau nanti di 2023, kami diminta stop tenaga honorer, tanpa ada pemetaan atau tanpa sinkronisasi data, akan ada kelumpuhan masif dari pelayanan publik dan mungkin pengangguran,” ujar Bima.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Wali Kota Bogor yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya (dua dari kiri) bersama Direktur Dana Transfer Umum Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (tengah) didampingi Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri), peneliti Litbang Kompas Mahatma Chrysna (dua dari kanan), dan Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Haryo Damardono menjadi pembicara dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022). Hadir dalam diskusi yang diselenggarakan secara hybrid tersebut antara lain Wali Kota Jambi Syarif Fasha, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, dan Wakil Wali Kota Denpasar I Kadek Agus Arya Wibawa. Sementara Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mengikuti duiskusi melalui daring.
Helldy mencontohkan peta ASN di lingkup Pemerintah Kota Cilegon. Pada 2021 hingga Juni 2022 ada 354 ASN pensiun, sedangkan yang masuk hanya 69 orang. ”Antara yang masuk dan keluar tak seimbang. Makanya, honorer dibutuhkan,” ujarnya.
Adapun Syarif Fasha mempersoalkan mekanisme perekrutan honorer menjadi PPPK, di mana sejak 2021 ada ruang bagi honorer menjadi PPPK di mana pun, tak harus di tempat ia bekerja saat ini. Imbasnya, ada honorer dari daerah lain yang menjadi PPPK di Jambi. ”Kami tidak rela kalau tenaga honorer Jambi yang akan jadi PPPK begitu buka online pendaftaran masuk dari kota lain. Apalagi gaji mereka dibayar APBD kami,” katanya.
Syarif juga mempersoalkan gaji honorer. Sebab, menurut dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan gaji PPPK ditanggung APBN. ”Sampai detik ini tak ada ditanggung APBN,” ucapnya.
Arya Wibawa pun mengingatkan agar semua problem yang ada diatasi sebelum batas akhir perekrutan honorer menjadi PPPK pada 2023. ”Itu tahun politik. Kalau tidak semua honorer ditampung menjadi PPPK, saya yakin akan jadi ribut di bawah,” ucapnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Suasana diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
Adriyanto mengatakan, pemerintah pusat memahami implikasi dari dihapuskannya honorer, termasuk dimensi politik dan sosial yang mungkin muncul. Karena itu, ia meyakini Kemenpan dan RB akan mengambil kebijakan dengan mengantisipasi hal-hal itu. Adapun menyangkut gaji PPPK, ia menyampaikan, kebutuhan itu sudah dimasukkan di dana alokasi umum yang dikucurkan ke daerah. Jumlahnya sekitar Rp 18 triliun.
Keberadaan honorer
Jika ditilik ke belakang, keberadaan honorer di instansi-instansi pemerintah kerap sarat dengan kepentingan politik. Mereka menjadi honorer, sebagian karena kedekatan dengan pejabat. Ada pula yang menjadi honorer sebagai bentuk balas jasa dari kepala daerah atau anggota legislatif yang didukungnya saat pemilu.
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, honorer dibukakan pintu menjadi PNS tanpa melalui tes. Sejak 2005 hingga 2014, sebanyak 1.163.883 honorer diangkat jadi PNS. Dengan 75 persen di antaranya sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, kualitas birokrasi menjadi terimbas. Apalagi jumlah honorer yang diangkat tersebut mencapai 26 persen dari total PNS sebanyak 4,5 juta orang.
Guru honorer yang tergabung dalam FHK21 Surabaya melakukan aksi damai menolak Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 dan No 37 tahun 2018 di Halaman Gedung DPRD Kota Surabaya, Selasa (18/9/2018). Para guru honorer yang bertahun-tahun mengabdi tersebut menuntut untuk tetap bisa diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara.
Pada era pemerintahan Joko Widodo, mekanisme perekrutan honorer diubah dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Untuk menjadi PNS ataupun PPPK, setiap honorer harus lolos tes. Mekanisme seleksi ini untuk meningkatkan kualitas birokrasi selain menutup peluang ”titipan” honorer menjadi ASN dari pejabat.
Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto mengingatkan, pola perekrutan PNS dan PPPK yang berjalan saat ini, yang mengedepankan sistem merit harus dipertahankan. Untuk itu, sistem perekrutan tetap harus ketat dan transparan. Dengan cara itu, selain bisa menutup celah masuknya kepentingan politik dalam perekrutan honorer atau tenaga alih daya, bisa dipastikan siapa pun yang bekerja di pemerintahan kelak mampu meningkatkan kualitas birokrasi. Terlebih pemerintah telah menargetkan birokrasi Indonesia menjadi birokrasi berkelas dunia.