Ubah Pendekatan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dalam Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community, sejumlah wali kota mendorong perubahan pendekatan dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah. Insentif-disinsentif perlu diefektifkan.
Oleh
Tim Kompas
·7 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Wali Kota Bogor yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya (kedua dari kiri), bersama Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Adriyanto (tengah), didampingi Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri), peneliti Litbang Kompas Mahatma Chrysna (kedua dari kanan), dan Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Haryo Damardono menjadi pembicara dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Tren penyusutan rasio dana transfer ke daerah ditangkap sejumlah wali kota sebagai bentuk ketidakpercayaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Padahal, problem daerah yang tak mampu membelanjakan anggaran seharusnya diatasi dengan membangun sistem agar penggunaan anggaran efektif dan mempercepat pembangunan daerah.
Untuk tahun 2023, pemerintah menyusun anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) berkisar Rp 800,2 triliun-Rp 832,4 triliun atau 38-40,1 persen dari anggaran belanja pemerintah pusat Rp 1.995,7 triliun-Rp 2.161,1 triliun. Rasio itu tak jauh berbeda dari tahun ini, yakni Rp 770,4 triliun atau 39,75 persen dari total belanja pemerintah. Namun, pada kurun waktu 2017-2021, mengacu data Institute for Development of Economics and Finance, tren rasio TKDD terhadap belanja pusat terus turun. Tahun 2017, rasionya mencapai 58,64 persen.
Khusus untuk 98 pemerintah kota di 2021, alokasi TKDD mencapai Rp 105,663 triliun dari total TKDD Rp 770,3 triliun. Adapun TKDD mencakup antara lain dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana desa, dan dana bagi hasil.
Dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community bertajuk ”Penguatan Politik Anggaran Transfer Daerah untuk Pembangunan Kota” yang digelar harian Kompas bekerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Jumat (10/6/2022), Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor, Jawa Barat, Bima Arya menyebut, salah satu contoh TKDD yang tak lagi ada ialah dana kelurahan.
Wali Kota Bogor yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya menjadi pembicara dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
Sebelum pandemi Covid-19, pemerintah pusat menyalurkan dana untuk semua kelurahan. Namun, sejak pandemi, penyaluran dana itu berhenti. Padahal, kelurahan tak kalah penting dari desa yang setiap tahun mendapat dana desa, untuk membantu peningkatan pelayanan publik dan pembangunan.
”Akibatnya, kami harus putar otak, mendanai kelurahan dari APBD. Padahal, banyak harapan pembangunan dan pelayanan publik di kelurahan bisa lebih optimal dengan dana kelurahan,” ujarnya.
Selain Bima Arya, hadir sebagai narasumber Direktur Dana Transfer Umum Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Adriyanto. Adapun sebagai penanggap diskusi hadir di Jakarta, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, Wali Kota Jambi Syarif Fasha, dan Wakil Wali Kota Denpasar I Kadek Agus Arya Wibawa. Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar secara daring turut menanggapi paparan.
Di luar dana kelurahan, sejumlah penanggap diskusi juga menyampaikan isu dana perimbangan yang dinilai tidak adil. Helldy, misalnya, menuturkan, bagaimana Cilegon yang banyak industri, tetapi masyarakat diibaratkannya hanya menerima ”abu”-nya. Ini karena selama ini daerah hanya memperoleh bagi hasil dari pajak yang nilainya kecil, seperti pajak penerangan jalan umum dan pajak bumi bangunan.
Di sisi lain, menurut Arya Wibawa, anggaran daerah terbebani oleh penerimaan tenaga honorer dari jalur pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sebab, anggaran untuk PPPK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Wali Kota Jambi Syarif Fasha (kiri), Wali Kota Cilegon Helldy Agustian (kedua dari kanan), Wakil Wali Kota Denpasar I Kadek Agus Arya Wibawa (kedua dari kiri), Pemimpin Umum Harian Kompas Lilik Oetama (tengah), dan wartawan senior Kompas Ninuk Mardiana (kanan) mengikuti diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
Adapun Syarif Fasha menilai porsi DAK fisik untuk pemkot yang terus menyusut. Anggaran infrastruktur, menurut Syarif, seharusnya tidak dominan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat karena pemda lebih tahu infrastruktur yang perlu diprioritaskan di daerah. Sementara Abdullah menyoroti dana bagi hasil cukai dan tembakau yang dinilai tak adil karena antara daerah penghasil dan tidak hampir sama nilainya.
Saya melihat ada godaan-godaan menyelesaikan persoalan, bukan dengan membangun sistem, tetapi karena ketidakpercayaan, kemudian justru mengikis kewenangan-kewenangan di daerah. Inilah yang kemudian kami melihat ada inkonsistensi kita terhadap semangat otonomi daerah (Bima Arya).
Problem-problem tersebut, lanjut Bima Arya, menggambarkan kian dikikisnya kewenangan pemerintah daerah (pemda) serta keseimbangan keuangan pusat dan daerah. Sikap pemerintah pusat itu pun ditangkap sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada pemda untuk mengelola anggaran. Apalagi ada pernyataan sejumlah pejabat pusat yang dinilai tidak tepat, seperti pemda yang menimbun anggarannya di bank, tidak segera menyalurkannya untuk kepentingan publik.
Persentase realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi tahun anggaran 2020-2021
DOKUMENTASI KEMENDAGRI
Persentase realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota tahun anggaran 2020-2021
Ia mengakui, optimalnya penyerapan anggaran salah satunya memang bertumpu pada faktor kepemimpinan di jajaran pemda. Namun, di luar itu, ada juga faktor dari pemerintah pusat yang mengganjal. Di antaranya, petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari penggunaan DAU dan DAK yang kerap terlambat diterbitkan. Akibatnya, meski DAK dan DAU telah diterima pemda, tidak bisa segera digunakan oleh pemda.
”Saya melihat ada godaan-godaan menyelesaikan persoalan, bukan dengan membangun sistem, tetapi karena ketidakpercayaan, kemudian justru mengikis kewenangan-kewenangan di daerah. Inilah yang kemudian kami melihat ada inkonsistensi kita terhadap semangat otonomi daerah,” tambahnya.
Pembangunan sistem, misalnya, bisa dengan pola insentif dan disinsentif. Dalam konteks dana kelurahan, misalnya, bisa saja insentif diberikan jika performa satu kelurahan dalam meningkatkan pembangunan dan pelayanan publik dinilai baik. Sebaliknya, disinsentif diberikan kepada kelurahan yang tidak berkinerja baik. ”Jadi, sistem yang dibangun, bukan kemudian dana itu tidak diberikan lagi,” ujarnya.
Adriyanto tak menampik masih adanya sejumlah problem dalam hubungan keuangan pusat dan daerah sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diterapkan pascareformasi.
RIZA FATHONI
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/9/2021). Rapat kerja tersebut beragendakan penyerahan daftar investarisasi masalah RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). RUU HKPD disahkan awal 2022.
Namun, bukan berarti dengan adanya problem itu, pemerintah pusat lantas ingin menggerus semangat otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dari tahun ke tahun justru dinilainya menunjukkan perkembangan positif. Bahkan, tahun 2020, saat anggaran tertekan oleh pandemi dan penerimaan negara turun hampir 16 persen, besaran transfer ke daerah hanya turun sekitar 7 persen.
”Jadi, artinya, keberpihakan pemerintah pusat kepada pemda memang terus dijaga,” katanya.
Adapun menyangkut problem yang ada terus dicari jalan keluarnya agar pembangunan di daerah bisa lebih cepat sekaligus mengikis disparitas pembangunan wilayah barat dan timur. Selain itu, agar terjadi keselarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah sehingga tak ada tumpang tindih anggaran.
Perbaikan tak hanya dari desain dana transfer ke daerah, tetapi juga desain pendapatan daerah dan belanja daerah. Termasuk di dalamnya upaya monitoring dan evaluasi belanja daerah agar setiap anggaran yang ada digunakan secara efektif dan efisien dan bisa mendorong peningkatan pendapatan asli daerah agar tercipta kemandirian fiskal daerah.
Dalam penghitungan DAU untuk daerah, misalnya, UU ini mengamanatkan tidak hanya menghitung kebutuhan dan kemampuan fiskal daerah, tetapi juga memperhitungkan karakter daerah. Misalnya, daerah kepulauan, daerah dengan hutan yang luas, serta daerah dengan penduduk yang banyak, DAU-nya tidak sama dengan dengan daerah lainnya (Adriyanto).
Upaya perbaikan terbaru, menurut Adriyanto, bisa dilihat dari Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) yang disahkan awal tahun ini.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Wali Kota Bogor yang juga Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya (kedua dari kiri), bersama Direktur Dana Transfer Umum Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Adriyanto (tengah), didampingi Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri), peneliti Litbang Kompas Mahatma Chrysna (kedua dari kanan), dan Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Haryo Damardono menjadi pembicara dalam diskusi Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community APEKSInergi #2 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
”Dalam penghitungan DAU untuk daerah, misalnya, UU ini mengamanatkan tidak hanya menghitung kebutuhan dan kemampuan fiskal daerah, tetapi juga memperhitungkan karakter daerah. Misalnya, daerah kepulauan, daerah dengan hutan yang luas, serta daerah dengan penduduk yang banyak, DAU-nya tidak sama dengan dengan daerah lainnya,” ujarnya.
Perhitungan itu disebutnya sudah mencakup pula kebutuhan anggaran untuk kelurahan. Bahkan, ia mengklaim, kebutuhan anggaran kelurahan sudah diperhitungkan pula saat menyusun DAU pada 2020. Karena itu, tak ada lagi khusus dana kelurahan sejak 2020. Memasukkan dana kelurahan pada komponen perhitungan DAU sekaligus upaya untuk mencegah tumpang tindih anggaran.
”Formula menghitung DAU itu, kan, indikatornya jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat pembangunan, dan lain-lain, artinya sudah mengakomodasi kebutuhan di kelurahan juga. Makanya tak ada lagi dana khusus kelurahan karena, kalau ada dana itu, jadinya anggaran dobel untuk kelurahan. Sama juga untuk penyusunan DAU setelah UU HKPD disahkan. Jadi tidak terpisah menjadi dana khusus kelurahan, tetapi sudah tercakup dalam DAU,” tuturnya.
Selain perhitungan DAU yang memperhatikan karakter daerah, lanjut Adriyanto, UU HKPD membuka kemungkinan lebih besar transfer dana ke daerah. Syaratnya, daerah berkinerja baik dalam penyerapan anggarannya.
”Kalau ada daerah-daerah yang kinerjanya baik, bisa digeser yang tadinya di kementerian/lembaga, itu bisa masuk jadi DAK, itu pengaturannya sudah ada dalam UU HKPD. Namun, kalau yang misalkan DAK regular sekarang saja masih lambat penyerapan misalnya, kan tentunya kalau ada ditambah lagi susah berjalannya. Tidak efektif juga,” katanya.
Pekerja menggarap pembangunan jalan alternatif Sleman-Gunungkidul di Dusun Tawang, Desa Ngoro-oro, Patuk, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Selasa (26/10/2021).
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Nurcahyadi Suparman melihat, mekanisme insentif dan disinsentif efektif untuk mendorong kinerja pemda. Namun, tak cukup hanya itu, bimbingan dan pengawasan dari pusat harus lebih intens. Ini penting untuk menjawab persoalan lambatnya penyerapan anggaran daerah setiap tahun, selain untuk memastikan anggaran daerah betul-betul untuk pembangunan dan pelayanan publik di daerah.
Dalam kaitan bimbingan dan pengawasan itu, menjadi penting peran Kemendagri dan Gubernur saat mengevaluasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Hal lain yang tak kalah penting ialah peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemda. Ketika, misalnya, dijumpai pemda yang serapan anggarannya lambat, pelayanan publiknya tidak memuaskan, juga minim inovasi, pusat dituntut untuk segera meningkatkan kapasitas SDM di pemda tersebut.
”Kalau kita lihat di UU HKPD yang sekarang, terutama di TKDD itu, kan, ada kewajiban belanja pegawai tak boleh lebih dari 30 persen. Kemudian belanja infrastruktur minimal 40 persen. Hal ini positif karena selama ini belanja kita memang lebih dominan untuk belanja pegawai. Nah, UU ini memberi masa transisi selama lima tahun. Di sini butuh binwas (bimbingan dan pengawasan) yang sistematis dari pusat. Jangan sampai waktu transisi ini tidak bergerak apa-apa di daerah,” kata Herman. (BOW/PDS/HRS/JAL/COK/ESA/ITA/AIN)