Pembebasan Bersyarat Pinangki dan Atut Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi
Bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari dan bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah memperoleh pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua narapidana kasus korupsi, yakni bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari dan bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Selasa (6/9/2022), menghirup udara bebas setelah memperoleh pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemberian pembebasan bersyarat terhadap koruptor ini menunjukkan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi.
Pinangki merupakan narapidana kasus korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait pengurusan fatwa bebas bagi terpidana pengalihan piutang (cessie) Bank Bali, Joko S Tjandra. Sementara Ratu Atut merupakan narapidana kasus suap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait penanganan sengketa pilkada di Kabupaten Lebak, Banten. Ratu Atut juga merupakan narapidana korupsi pengadaan alat kesehatan.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti mengungkapkan, Pinangki yang divonis 4 tahun penjara akan bebas murni pada 18 Desember 2023. Pinangki memperoleh pembebasan bersyarat pada 6 September 2022 dan wajib lapor diri ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Selatan hingga 18 Desember 2024.
Ratu Atut juga dikeluarkan dari Lapas Kelas IIA Tangerang karena pembebasan bersyarat. Rika mengungkapkan, semua warga binaan, termasuk Pinangki dan Ratu Atut, harus memenuhi persyaratan substansi dan administratif untuk memperoleh pembebasan bersyarat.
”Itu sudah dilalui, di antaranya sudah menjalani dua per tiga masa pidana, berkelakuan baik. Ya, itu beberapa syarat yang memang sudah dipenuhi. Persyaratannya sama dengan warga binaan yang lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 (tentang Pemasyarakatan),” kata Rika saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Rika mengungkapkan, Ratu Atut wajib mengikuti bimbingan dari Bapas Serang sampai dengan 8 Juli 2026. Sampai masa tersebut, Ratu Atut tidak boleh melakukan tindak pidana atau pelanggaran umum atau khusus. Ia menegaskan, kalau sampai melakukan pelanggaran, hak pembebasan bersyarat yang diperoleh akan dicabut dan harus menjalani sisa pidana di dalam lapas.
Semua warga binaan, termasuk Pinangki dan Ratu Atut harus memenuhi persyaratan substansi dan administratif untuk memperoleh pembebasan bersyarat.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata mengatakan, Pinangki hanya dihukum selama 4 tahun. Hak-hak yang diperoleh terpidana menjadi kewenangan dari Kemenkumham.
”Bagaimana menimbulkan efek jera? Sebetulnya itu, kan, hak. Prinsipnya, kan, pembebasan bersyarat. Remisi itu, kan, hak. Bisa enggak hak itu dicabut? Bisa. Siapa yang bisa mencabut? Hakim. Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum). Mungkin, ke depan, kalau misalnya ada terdakwa tidak kooperatif, (tidak) tertib, dan lain-lain, dalam tuntutan akan kita tambahkan. Kalo pejabat publik, ya itu tadi. Mencabut hak dipilih dan mencabut supaya tidak mendapatkan haknya selaku terpidana,” tutur Alexander.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyesalkan langkah Kemenkumham yang pada akhirnya memberikan pembebasan bersyarat terhadap Pinangki. ”Pembebasan bersyarat ini melengkapi episode buruk pemberantasan korupsi terhadap aparat penegak hukum,” kata Kurnia.
Ia mengingatkan, tuntutan hukuman terhadap Pinangki yang dilayangkan Kejaksaan sangat ringan. Ditambah diskon hukuman yang besar pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Selain itu, Kejaksaan Agung tidak memilih melakukan kasasi dalam putusan pengadilan tinggi tersebut. Bahkan, Pinangki hanya melewati setengah dari hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan tinggi. Menurut Kurnia, ini akan menjadi preseden buruk dan menjadi penghambat upaya membersihkan internal aparat penegak hukum.
Kurnia menegaskan, salah satu hambatan dari pemberantasan korupsi di Indonesia seringkali bermuara pada regulasi yang buruk. Ada sejumlah regulasi, salah satunya UU Pemasyarakatan yang baru saja diundangkan pada 3 Agustus 2022. Ada juga putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan atau memperlonggar pemberian remisi bagi pelaku korupsi.
Menurut Kurnia, pembebasan bersyarat terhadap para pelaku korupsi, di antaranya Pinangki dan Ratu Atut, menunjukkan lemahnya negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi dan pemberian efek jera.
”Jadi, lengkap sudah sebenarnya, proses penegakan hukumnya yang bermasalah, proses persidangan yang meringankan hukuman, dan ketika masuk ke lembaga pemasyarakatan justru dikurangi sehingga mendapatkan pembebasan bersyarat seperti yang mereka (Pinangki dan Ratu Atut) dapatkan,” kata Kurnia.