Komisi II DPR Ingatkan Kemendagri Segera Patuhi Rekomendasi Ombudsman
Mendagri menyatakan telah menyiapkan aturan teknis berupa Peraturan Mendagri untuk mengatur pengangkatan penjabat kepala daerah, sesuai rekomendasi ORI. Saat ini aturan itu dalam tahap harmonisasi.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR mengingatkan Kementerian Dalam Negeri untuk segera menjalankan rekomendasi Ombudsman RI, salah satunya membentuk aturan teknis terkait pengangkatan penjabat kepala daerah. Sebab, tenggat waktu yang diberikan Ombudsman untuk membentuk aturan itu sudah terlewati.
Dalam rapat dengar pendapat yang diadakan Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/8/2022), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengaku akan mematuhi rekomendasi itu. Saat ini, aturan teknis itu sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya, dalam rapat itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengatakan, pada 19 Juli, Ombudsman RI (ORI) telah mengirimkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang di dalamnya memaparkan temuan malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat.
Dalam LAHP tersebut, ORI meminta Mendagri melaksanakan sejumlah tindakan koreksi. Salah satunya meminta Mendagri menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah (PP) terkait pengangkatan penjabat kepala daerah.
Baca juga: Ombudsman Siapkan Produk Pamungkas Terkait Penjabat Kepala Daerah
Namun, hingga kini, aturan teknis itu belum juga ada. Padahal, berdasarkan Pasal 16 Peraturan ORI Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi atas Prakarasa Sendiri, terlapor dalam hal ini Kemendagri wajib menyampaikan kepada ORI mengenai pelaksanaan atas tindakan korektif dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak LAHP diterima.
”Sekarang sudah lewat (tenggat 30 hari). Kami ingin mendapat gambaran seperti apa respons Kemendagri terkait LAHP Ombudsman yang mengoreksi pengangkatan penjabat kemarin. Saya kira kalau tidak ada aturan teknisnya, ini akan jadi riuh. Kalau sudah ada peraturannya, justru akan jauh lebih smooth,” ujar Mardani.
Mardani berharap, aturan teknis pengangkatan penjabat bisa segera selesai sehingga nantinya penjabat yang terpilih juga netral, profesional, dan berpengalaman.
Mardani pun menyinggung soal waktu yang sudah semakin mepet dengan pengangkatan penjabat Gubernur DKI Jakarta. Masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan berakhir pada Oktober mendatang dan akan diisi oleh penjabat.
Untuk itu, Mardani berharap, aturan teknis pengangkatan penjabat bisa segera selesai sehingga nantinya penjabat yang terpilih juga netral, profesional, dan berpengalaman dengan melalui proses pengangkatan yang transparan dan akuntabel. ”Jangan bermain-main dengan memilih penjabat yang akan bersikap tidak netral, baik pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden. Sebab, DKI ini seperti akuarium,” katanya.
Baca juga: Ombudsman RI: Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Sarat Malaadministrasi
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Heru Sudjatmoko, sependapat dengan Mardani. Ia meminta Kemendagri untuk segera menjalankan tindakan koreksi yang disampaikan ORI. Menurutnya, ini akan menjadi pertaruhan dan warisan bagi Mendagri ke depan.
”Jangan sampai seolah-olah langkah yang sudah salah, tidak bisa dihentikan. Pemerintah malah jalan terus. Ini, kan, tidak baik. Pemerintah yang baik, tidak begitu. Pemerintah mestinya responsif. Kita, kan, sudah berkomitmen untuk membangun demokrasi yang baik,” ucap Heru.
Tahap harmonisasi
Tito Karnavian mengatakan, pihaknya serius menindaklanjuti LAHP dari ORI. Hal ini ditunjukkan dengan upaya Kemendagri membentuk peraturan menteri dalam negeri (permendagri) terkait teknis pengangkatan penjabat kepala daerah.
Ia menyebut, dalam membentuk permendagri tersebut, Kemendagri juga melibatkan sejumlah kementerian/lembaga. Saat ini proses pembentukan permendagri sudah memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
”Jadi, sudah sampai di Kemenkumham. Kami sedang konsultasikan terus dengan Sekretariat Negara dan Kemenkumham,” ujar Tito.
Baca juga: MK Perintahkan Pemerintah Buat Peraturan Terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Tito menyadari, mekanisme pengangkatan penjabat sangat dibutuhkan, mengingat masa jabatan penjabat kali ini akan lebih panjang dan beririsan dengan Pemilu 2024. Ini berbeda dengan Pilkada 2020 di mana polemik soal pengangkatan penjabat tidak seramai sekarang.
”Waktu penjabat-penjabat yang kemarin tahapan pilkada, itu lebih simpel, mungkin karena waktunya pendek, jadi tidak ribut. Tetapi kalau ini waktunya panjang dan ini beririsan dengan 2024, itu persoalannya. Sehingga kami menangkap aspirasi dari banyak pihak dan menangkap juga saran dari Mahkamah Konstitusi, maka kami membentuk permendagri,” tutur Tito.
Tito menyadari, mekanisme pengangkatan penjabat sangat dibutuhkan mengingat masa jabatan penjabat kali ini akan lebih panjang dan beririsan dengan Pemilu 2024.
Sebagaimana diberitakan pada April lalu, MK memerintahkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana mengenai pengisian penjabat kepala daerah. Aturan itu harus menyediakan mekanisme yang terukur, transparan, dan akuntabel (Kompas, 21/4/2022).
Kemendagri menghormati suasana sosio-politis dan jsaran dari MK. Untuk itu, permendagri dibentuk. Bentuk hukum peraturan pemerintah atau peraturan presiden tidak dipilih karena itu akan mengutip kewenangan yang sudah diberikan Undang-Undang Pilkada di mana penjabat ditunjuk oleh presiden dan mendagri.
Oleh karena itu, permendagri dibentuk lebih untuk mengatur mengenai mekanisme perekrutannya. Mekanisme akan dibuat lebih demokratis. ”Apakah dibuat dengan pilkada sendiri? Enggak mungkin pilkada penjabat,” kata Tito.
Meminta masukan DPRD
Untuk mencari jalan tengahnya, Kemendagri berdiskusi dengan masyarakat sipil, ORI, dan beberapa ahli tata negara. Mekanisme yang dipilih akhirnya adalah Kemendagri meminta masukan nama dari DPRD.
Misalnya, untuk pemilihan penjabat bupati/wali kota, Kemendagri akan menampung sembilan nama yang terdiri dari tiga nama dari DPRD setempat, tiga nama dari gubenur yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, dan tiga nama dari Kemendagri yang diambil dari usulan kementerian/lembaga.
Sembilan nama ini kemudian dibawa ke dalam rapat pratim penilai akhir (TPA) bersama perwakilan dari sejumlah kementerian/lembaga untuk mengerucutkan menjadi tiga nama. Sejumlah kementerian/lembaga yang ikut dalam TPA meliputi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, Kemenkumham, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, serta Badan Intelijen Negara (BIN).
”Ini untuk melihat apakah ada masalah-masalah. Kami tidak ingin yang dipilih, ditunjuk, baru seminggu, dua minggu, sebulan, ternyata dia ada kasus, makanya kami undang semua,” ucap Tito.
Setelah itu, tiga nama yang ada dibawa ke sidang TPA. Sidang tersebut dipimpin oleh Presiden. ”Jadi, bukan ditentukan sendiri oleh presiden, tidak. Presiden membuka forum dengan sejumlah menteri dan pimpinan kementerian/lembaga,” katanya.
Tito menilai, mekanisme tersebut sudah mencukupi untuk mekanisme demokrasinya, di mana Kemendagri sudah mencoba mengakomodasi masukan dari DPRD. Ia mengklaim, sejumlah penjabat yang sudah terpilih kemarin merupakan masukan dari DPRD.
Kemudian, dari segi transparansi, pengangkatan penjabat juga disebut akan lebih transparan serta tidak otoriter. Sebab, penunjukannya tidak ditentukan oleh Presiden atau Mendagri saja, melainkan diputuskan dalam bentuk sidang TPA.