MK Perintahkan Pemerintah Buat Peraturan Terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah
MK menyatakan pentingnya proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Untuk itu, pemerintah diminta menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari Pasal 201 UU Pilkada.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah untuk menerbitkan peraturan mengenai pengisian penjabat kepala daerah yang akan dilakukan di 101 wilayah pada tahun 2022 ini. Aturan pelaksana tersebut penting untuk menyediakan mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas sehingga pengisian penjabat kepala daerah tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Selain itu, peraturan pelaksana pengisian penjabat kepala daerah juga dapat memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme yang dilakukan sudah berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel.
MK juga mengingatkan agar penjabat kepala daerah diberi kewenangan penuh sama seperti gubernur, bupati, dan wali kota mengingat lamanya mereka akan menjabat. Ini penting mengingat peran sentral penjabat kepala daerah dalam masa transisi sebelum kepala daerah definitif terpilih dan demi dapat terwujudnya akselerasi perkembangan pembangunan daerah.
Secara khusus, MK juga menyoroti soal unsur prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara RI aktif yang tidak dapat menjabat sebagai penjabat kepala daerah.
Hal tersebut terungkap dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK No 18/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No 67/PUU-XX/2022 yang dibacakan dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Rabu (20/4/2022). Pemohon perkara nomor 15 adalah sejumlah warga DKI Jakarta dan Jawa Barat yang meminta MK menyatakan pemerintah perlu memperpanjang kepala daerah yang saat ini menjabat.
Sementara perkara nomor 18 diajukan oleh Frans Manery dan Muchilis Tapi-Tapi (Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara) yang mempersoalkan pendeknya masa jabatan mereka (tidak sampai lima tahun) akibat pilkada serentak 2024. Adapun perkara nomor 67 diajukan Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak yang merasa dirugikan akibat ditundanya pilkada dari yang seharusnya dilakukan pada 2022 dan 2023 menjadi 2024. MK menolak semua permohonan itu.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan pentingnya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong karena masa jabatan gubernur, bupati, dan wali kota berakhir. Di era otonomi daerah, kepala daerah berperan sentral dalam memajukan daerah dan menentukan keberhasilan pemda dalam menjalankan tugas-tugasnya. MK juga membenarkan pengisian penjabat kepala daerah bagi wilayah-wilayah yang kosong karena penundaan pelaksanaan pilkada hingga menjadi tahun 2024.
Dalam kaitannya dengan hal itu, MK merasakan pentingnya proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Untuk menjamin hal itu, pemerintah diminta menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari Pasal 201 UU Pilkada.
Sementara itu, terkait permohonan sejumlah warga DKI Jakarta dan Jawa Barat, MK menolak secara tegas perpanjangan masa jabatan kepala daerah sebelumnya. Menurut MK, perpanjangan masa jabatan atau penunjukan kepala daerah sebagai penjabat gubernur, bupati, dan wali kota bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Sebab, pada dasarnya, masa jabatan kepala daerah tersebut sejatinya sudah berakhir.
Apalagi, menurut MK, kepala daerah dan para pemilihnya sudah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional yang akan dilakukan 2024 dan ketentuan peralihannya (Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) UU No 10/2016 tentang Pilkada). Pasal tersebut mengatur, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Apabila aturan peralihan tersebut sudah dilaksanakan, pilkada berikutnya digelar dengan menerapkan seluruh ketentuan penyelenggaran pilkada yang ada. Termasuk ketentuan masa jabatan kepala daerah yang kembali lima tahun seperti diatur dalam Pasal 162 UU No 10/2016 dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Terkait dalil perpanjangan masa jabatan agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah, MK berpendapat, pengisian penjabat kepala daerah merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. ”MK dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir,” kata hakim konstitusi.
TNI/Polri
Dalam pertimbangannya, MK juga menyoroti pengisian penjabat kapala daerah dari unsur TNI dan Polri. MK merujuk pada Pasal 47 UU No 34/2004 tentang TNI yang pada pokoknya mengatur prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. UU tersebut juga mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal ini tertera dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 2/2002 tentang Polri. ”Jabatan di luar kepolisian dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri,” kata hakim konstitusi.
Ketentuan di UU TNI dan UU Polri tersebut sejalan dengan apa yang diatur dalam UU No 5/2014. UU tersebut memang membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif serta memiliki kompetensi yang sesuai dan ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. ”Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah,” ujar hakim konstitusi.
Dalam putusannya, MK juga menekankan pentingnya pemerintah untuk tidak mengangkat penjabat kepala daerah yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan NKRI serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik.
Penjabat Gubernur Kalimantan Selatan Safrizal ZA (kanan) melantik lima pasang kepala daerah periode 2021-2024 di Gedung Mahligai Pancasila, Kota Banjarmasin, Kalsel, Jumat (26/2/2021).
Pengajar Ilmu Hukum UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Wiwik Budi Wasito, mengungkapkan, problem yang ada saat ini tinggal bagaimana pemerintah melaksanakan putusan MK, khususnya kriteria dan mekanime penunjukan penjabat kepala daerah yang ada dalam pertimbangan putusan MK.
Pertanyaan berikutnya, apakah pertimbangan-pertimbangan itu diambil ataupun dilaksanakan dalam petunjuk teknis penunjukan penjabat di mana penjabat gubernur akan dipilih oleh Presiden, sedangkan penjabat bupati atau wali kota ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
Namun, hal yang pasti, Wiwik mengingatkan, meskipun hanya disebutkan dalam pertimbangan putusan dan bukan di amar, poin-poin yang disampaikan oleh MK mengikat pembentuk undang-undang.
”Amar itu hanyalah penegasan atas pertimbangan hukum. Kan, tidak mungkin juga memasukkan sedemikian banyak kriteria atau SOP atau syarat-syarat penunjukan kepala daerah yang ada di dalam pertimbangan ke dalam amar putusan. Lagi pula, itu satu kesatuan sebenarnya. Pertimbangan putusan itulah guidance buat pemerintah,” kata Wiwik.
Ia berharap masyarakat sipil dapat mengawal pelaksanaan putusan MK tersebut. Sebab, salah satu kelemahan MK adalah tidak memiliki lembaga eksekutorial untuk mengawasi apakah putusannya dijalankan ataukah tidak.