Koruptor Dapat Remisi, Penegak Hukum Harus Tuntut Lebih Tinggi
Dengan diberikannya remisi bagi narapidana korupsi, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberi efek jera ialah memperberat hukuman bagi koruptor. KPK mengkaji untuk menerapkan tuntutan pencabutan hak remisi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan membuat narapidana kasus korupsi juga berhak mendapatkan remisi. Sebagai langkah jangka pendek, penegak hukum harus menjatuhkan hukuman pidana terhadap koruptor lebih berat sebagai bagian dari politik hukum pemberantasan korupsi.
Adapun pada 17 Agustus 2022, sebanyak 168.196 narapidana mendapatkan remisi dalam peringatan HUT Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebanyak 421 orang merupakan narapidana kasus korupsi dan empat di antaranya bebas.
Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, dihubungi dari Jakarta, Jumat (19/8/2022), mengatakan, banyaknya narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi terjadi akibat adanya Undang-Undang (UU) Pemasyarakatan yang baru. UU itu telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 3 Agustus 2022. Dengan adanya UU tersebut, semua narapidana dimungkinkan mendapatkan remisi tanpa kecuali.
Akibat adanya UU tersebut, Peraturan Pemerintah (PP) No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi tidak berlaku. Dalam PP tersebut, pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana, salah satunya korupsi, perlu diperketat syarat dan tata caranya untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
”Sekarang harus ada ubah strategi. Penuntutan harus lebih berat, juga ada hukuman tambahan lain yang bisa memberikan efek jera,” kata Hibnu.
Hibnu menegaskan, pidana tambahan akan memberikan efek jera untuk mengantisipasi bertambahnya tindak pidana korupsi. Walaupun koruptor mendapatkan hak remisi, hukumannya tetap berat karena divonis tinggi.
Oleh karena itu, penegak hukum, baik itu penuntut umum maupun hakim, harus mempunyai visi dan sensitivitas dalam penjatuhan hukuman terhadap tindak pidana korupsi meskipun tidak diatur di dalam undang-undang. Hal tersebut menjadi taruhan ke depan dalam pemberantasan korupsi, khususnya pada penjatuhan pemidanaan.
”Remisi itu hak pemasyarakatan. Artinya, pidana yang dijatuhkan harus lebih berat. Jangan hanya bermain dua atau tiga tahun. Nanti, kalau kena remisi, ya, habis semua,” kata Hibnu menegaskan.
Dia mengungkapkan, opsi lain adalah melalui judicial review untuk mengaktifkan kembali PP No 99/2012. Namun, itu membutuhkan waktu yang lama. Sebagai langkah jangka pendek, penegak hukum harus menjatuhkan pidana berat terhadap koruptor. Hal tersebut menjadi bagian dari politik hukum pemberantasan korupsi yang harus melekat pada setiap insan penegak hukum.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, PP No 99/2012 mensyaratkan terpidana kasus korupsi, sebelum mendapatkan remisi, harus ada rekomendasi apakah yang bersangkutan sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar suatu kasus dan sebagainya.
Opsi yang bisa dilakukan adalah melalui penuntutan pencabutan remisi dan pembebasan bersyarat yang diputuskan oleh pengadilan. Penuntutan tersebut perlu diberikan pada koruptor yang tidak kooperatif atau yang secara sistematis menyebabkan kerugian negara yang besar.
Aturan tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung sehingga kewenangan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dikembalikan ke Kemenkumham. Alexander menuturkan, opsi yang bisa dilakukan adalah melalui penuntutan pencabutan remisi dan pembebasan bersyarat yang diputuskan oleh pengadilan. Penuntutan tersebut perlu diberikan kepada koruptor yang tidak kooperatif atau yang secara sistematis menyebabkan kerugian negara yang besar.
”Jadi, mungkin ke depan kalau disetujui ini di dalam penuntutan, mungkin akan kita sampaikan selain pencabutan hak politik. Misalnya, kita akan memohonkan supaya dicabut hak untuk mendapatkan remisi, hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, dan sebagainya,” kata Alexander.