RUU Pemasyarakatan Disahkan, Remisi Koruptor Bakal Lebih Mudah
Dalam RUU Pemasyarakatan, tak ada lagi syarat yang lebih ketat bagi narapidana korupsi memperoleh remisi. RUU ini kini tinggal disahkan di Rapat Paripurna DPR meski sempat ditolak luas oleh publik pada 2019.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang pengesahannya tinggal menunggu waktu bakal mempermudah narapidana korupsi mendapatkan remisi. Remisi bagi koruptor akan diperlakukan sama dengan narapidana tindak pidana lain. Tak perlu lagi harus terlebih dulu membayar lunas denda dan uang pengganti seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM.
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan tim pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, Rabu (25/5/2022), di Jakarta, pemerintah bersama Komisi III menyepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU Pemasyarakatan ke tingkat kedua atau dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk memperoleh persetujuan pengesahan menjadi UU.
RUU Pemasyarakatan sudah disetujui disahkan di tingkat pertama antara pemerintah dan DPR periode 2014-2019. Namun, pada September 2019, muncul penolakan kuat dari publik di sejumlah daerah atas RUU itu. Hal ini karena materi di dalamnya akan memudahkan koruptor memperoleh remisi. Akibat unjuk rasa di sejumlah daerah tersebut, Presiden lalu meminta agar pengesahan RUU itu ditunda. DPR periode 2019-2024 beserta pemerintah kemudian melanjutkan pembahasannya.
Namun, dalam rapat membahas RUU Pemasyarakatan pada Rabu, pemerintah dan DPR memutuskan tak membahas lagi materi dalam RUU itu. Mereka melihat sudah tak ada persoalan di dalamnya. Apalagi, putusan Mahkamah Agung atas uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Napi, tahun lalu, dinilai menguatkan materi di RUU Pemasyarakatan.
Dengan kata lain, materi dalam RUU Pemasyarakatan sama dengan yang telah disahkan di tingkat pertama oleh pemerintah dan DPR. Pasal 10 RUU Pemasyarakatan menjelaskan, pemberian hak yang sama bagi seluruh narapidana tanpa terkecuali, termasuk dalam hal remisi. Begitu pula syarat yang harus dipenuhi narapidana untuk memperolehnya. Syarat dimaksud hanya tiga, yakni berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Sementara dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) yang dikeluarkan pasca-putusan MA, yakni Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, tepatnya di Pasal 10, masih diatur satu syarat khusus bagi narapidana koruptor untuk memeroleh remisi. Syarat dimaksud, narapidana korupsi harus membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Peraturan itu hanya mencabut syarat narapidana korupsi sebagai justice collaborator untuk memperoleh remisi yang sebelumnya diatur di PP No 99/2012 karena diminta dalam putusan Mahkamah Agung.
Dengan kata lain, jika RUU Pemasyarakatan nantinya telah diundangkan, sama sekali tidak ada syarat khusus bagi koruptor untuk bisa memperoleh remisi karena mereka tak lagi harus membayar lunas denda dan biaya pengganti. ”Berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori, yang berlaku adalah undang-undang,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, di Jakarta, Sabtu (28/5/2022).
Namun, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, syarat di permenkumham itu mestinya masih bisa diatur dalam RUU Pemasyarakatan. ”Misalnya, terkait persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, maka bisa ditambahkan satu lagi sub-ayat lagi, yakni memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan dalam peraturan dibawah UU ini,” katanya.
Hanya saja, untuk penambahan itu akan sangat tergantung pada kesepakatan pemerintah dengan DPR. ”Buat saya, yang penting ada cantelannya, misalnya telah memenuhi amar putusan hakim selain pidana penjara,” ujar Arsul.
Saat dikonfirmasi, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej belum bisa memberikan penjelasan. Ia menyatakan masih harus melihat naskah akhir RUU Pemasyarakatan terlebih dahulu.
Tak lagi kejahatan luar biasa
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menilai, kesepakatan dalam RUU Pemasyarakatan menunjukkan ada upaya mendegradasi korupsi dari salah satu kejahatan luar biasa. Sebab, persyaratan untuk mendapatkan hak remisi disamakan dengan pelaku tindak kejahatan pidana lain.
Menurut dia, ketiadaan syarat yang lebih ketat bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi menunjukkan sikap pemerintah dan DPR yang anti terhadap pemberantasan korupsi. Pembahasan RUU Pemasyarakatan pun kian menunjukkan upaya untuk memperlonggar hukuman bagi koruptor setelah ketiadaan syarat justice collaborator untuk mendapatkan remisi.
Dalih pelanggaran HAM dengan memperketat syarat pemberian remisi bagi koruptor, menurut dia, tidak tepat. Sebab, Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Alasan lain soal kelebihan penghuni lapas sehingga remisi dipermudah pun tidak tepat karena jumlah narapidana korupsi hanya 0,7 persen dari jumlah seluruh warga binaan. ”Kami yakin setelah RUU Pemasyarakatan diundangkan, MK akan dibanjiri gugatan uji materi UU ini,” kata Kurnia.