RKUHP Disempurnakan, Ruang Kebebasan Sipil Masih Terancam
Meski masih menyisakan masalah berupa ancaman terhadap kebebasan sipil, RKUHP tampaknya hanya tinggal tunggu waktu untuk disahkan. Diperkirakan dadu akan bergulir menuju Mahkamah Konstitusi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dinilai masih menyisakan masalah khususnya terkait kebebasan sipil. Meski RKUHP membawa misi menegakkan hukum pidana di era demokrasi konstitusional, nilai-nilai agama, moral, serta keamanan dan ketertiban umum justru menjadi karakter yang kuat.
RKUHP merupakan undang-undang inisiatif pemerintah. Pada 2019, RKUHP ditunda pengesahannya. Kemudian, saat ini, draf RKUHP sudah selesai dan telah diserahkan pemerintah kepada DPR. Di dalamnya terdapat 14 isu krusial yang telah disepakati pemerintah dan DPR untuk dibahas.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir mengatakan, pihaknya masih membutuhkan beberapa kali diskusi sebelum mengambil keputusan untuk menyetujui draf RKUHP hasil penyempurnaan. Namun, pembahasan dibatasi hanya untuk 14 isu krusial yang selama ini menjadi kontroversi di masyarakat.
Adapun Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menyatakan, pembahasan hanya dibuka untuk 14 isu krusial tersebut. Di luar itu tidak ada ruang pembahasan lagi.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, dalam paparan media bertajuk ”Dampak Rencana Pengesahan RKUHP terhadap Kebebasan Sipil”, Kamis (7/7/2022), mengatakan, RKUHP membawa beberapa misi di antaranya dekolonisasi dan demokratisasi. Namun, ketentuan yang mengatur kebebasan sipil dinilai masih bermasalah.
Salah satu ketentuan itu adalah mengenai tindakpidana terkait dengan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Terkait hal itu, sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan yang menempatkan bahwa jika presiden atau wapres merasa terhina maka harus melaporkan sendiriperbuatan itu ke penegak hukum. Hal itu kemudian diakomodasi di dalam RKUHP.
Yang menjadi masalah, kata Nicky, bagaimana penegak hukum membedakan antara kritik, protes, atau hinaan. Artinya, masalah itu terletak pada tafsir teks ketentuan itu. ”Ini menjadi pekerjaan rumah kita bagaimana menafsirkan teks ini. Padahal, kritik atau
protes persepsinya menjadi sangat subyektif,” kata Nicky.
Sementara, kata Nicky, akhir-akhir ini kritik terhadap pemerintah atau pejabat publik seolah telah menjadi hal yang sensitif karena sebuah kritik bisa jadi terasa sangat tajam. Di sisi lain, tidak mudah membedakan antara kritik yang benar-benar konstruktif, kritik yang memang ditujukan untuk menyerang, atau penghinaan.
Yang menjadi masalah, bagaimana penegak hukum membedakan antara kritik, protes atau hinaan. Artinya, masalah itu terletak pada tafsir teks ketentuan itu. (Nicky Fahrizal)
Untuk itu, dibutuhkan daya pemahaman dan nalar yang baik untuk bisa membedakan atau memisahkan kritik dengan penghinaan. ”Problemnya terletak pada penerapan normanya, bukan pada konstitusionalitas suatu norma,” terang Nicky.
Di sisi lain, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Edbert Gani Suryahudaya, mengatakan, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia akan semakin mengalami kemunduran demokrasi. Sebab, dari beberapa hasil kajian atau data tentang indeks demokrasi negara-negara di dunia, Indonesia mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir.
Ambil contoh dari kajian tentang indeks demokrasi yang dirilis Freedom House, Indonesia terus mengalami penurunan untuk variabel kebebasan sipil sejak 2017 sampai 2021 meski dalam hal partisipasi publik sudah cukup baik. Pandangan serupa juga tampak dari kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2021 yang menyatakan bahwa hampir 30 persen publik yang disurvei memandang tidak adanya kebebasan untukmengkritik pemerintah.
Mengutip temuan Komnas HAM lainnya adalah adanya 36,2 persen publik yang merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik. Hal itu diperkuat dengan catatan Amnesty International yang menyoroti kasus kriminalisasi dengan menggunakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
”Agar demokrasi kita sehat, diperlukan ruang yang luas terhadap kritik kepada pemerintah dan lembaga negara. Kritik terhadap kinerja pemerintah itu perlu ditempatkan sebagai partisipasi politik aktif dari masyarakat, terlepas dari penilaian maksudnya jahat atau baik,” tutur Edbert.
Yang dikhawatirkan dari ketentuan atau pasal karet semacam itu adalah replikasi terhadap upaya kriminalisasi terhadap pihak tertentu. Sebab, ketika sebuah pasal dapat dilakukan untuk mengkriminalisasi orang lain, maka tinggal menunggu waktu saja hal itu akan berulang.
Nilai lokal
Menurut Nicky, RKUHP dinilai betul-betul menyerap Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945. RKUHP tersebut mengatur agar terjadi titik keseimbangan dalam demokrasi konstitusional dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat Indonesia, seperti nilai moral, agama, keamanan, dan ketertiban umum. Hal itu tampak salah satunya dari pasal penodaan agama yang masih ada di dalam RKUHP.
Oleh karena itu, katanya, melalui RKUHP ini tampak bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak bisa optimal karena telah dipagari secara konstitusional oleh nilai moral, agama, keamanan, dan ketertiban umum. Dengan demikian, kebebasan berpendapat dan berekspresi itu harus tetap dalam koridor ketertiban. Hal ini agak berbeda dengan negara-negara di Eropa dan negara dengan tradisi Anglo Saxon.
”Jadi betul-betul demokrasi yang diinginkan ini bukan demokrasi yang diwarnai oleh gagasan, konsepsi dan kultur yang liberal. Sebaliknya, warna atau corak yang akan muncul adalah demokrasi non-liberal,” ungkap Nicky.
Melalui RKUHP ini tampak bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak bisa optimal karena telah dipagari secara konstitusional oleh nilai moral, agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Uji materi
Menurut Edbert, pendidikan politik yang baik dalam prosespenyusunan undang-undang adalah dengan dibukanya ruang partisipasi publik.Maka, alih-alih membawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi, seharusnya proses perumusan sebuah undang-undang menjadi ruang diskursus yang baik.
Terkait hal ini, kata Edbert, posisi partisipasi publik tidak bisa hanya ditempatkan sebagai formalitas. Justru partisipasi publik harus dibuka seluas-luasnya. Masalahnya, saat ini terdapat tren bahwa penyusunan suatu undang-undang dilakukan dengan proses yang cepat.
”Kami takutkan ini akan menjadi tren yang tereplikasi karena narasinya adalah kita sedang berada dalam kondisi urgen untukpemulihan ekonomi yang kemudian dijadikan pengecualian untuk membuat sebuah undang-undang secara cepat.Itu yang kita tidak inginkan menjadi kultur politik baru diIndonesia,” tutur Edbert.
Terkait dengan hal itu, menurut Nicky, ketika pembuat undang-undang menginginkan kecepatan dalam pengesahan, dipastikan ruang partisipasi akan menyempit. Hal itu mendorong berbagai isu terkait suatu undang-undang yang seharusnya selesai dalam proses perumusan, kini harus dibawa ke MK untuk diperdebatkan melalui uji materi dan formil.
Hal itulah yang ia lihat dalam RKUHP yang kini telah diserahkan ke DPR tersebut. ”Karena di parlemen ini perlawanan sudah menurun karena dadu yang sudah dilempar tidak akan dihentikan. Permainan terus berlanjut. Sepertinya memang akan menuju ke MK,” kata Nicky.