Menggugat Praktik Legislasi Kilat
Pembahasan kilat sebuah rancangan undang-undang banyak dipraktikkan oleh pemerintah dan DPR saat ini. Padahal, sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya ”fast track legislation” atau FTL.

Overdelegasi Kuasa Legislasi Presiden
Pembentuk undang-undang baru saja mensahkan tiga undang-undang tentang pemekaran provinsi di Papua setelah dibahas selama sembilan hari. Ini bukan cerita baru dalam proses legislasi kita selama ini. Pembahasan sebuah rancangan undang-undang secara kilat dan terkesan terburu-buru sudah jamak dilakukan oleh pemerintah dan DPR, khususnya beberapa tahun terakhir.
Sebut saja pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2019. Meski dihadang gelombang demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota, DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati pengesahan RUU tersebut setelah dibahas kurang lebih dalam 12 hari.
Di tahun berikutnya, pemerintah dan DPR sepakat memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang tadinya 5 tahun dan bisa diperpanjang untuk satu periode menjadi 15 tahun dengan batas usia maksimal 70 tahun. Perubahan ketiga UU Mahkamah Konstitusi tersebut dibahas dalam waktu tiga hari.
MK menerima gelombang pengujian formil, baik terhadap UU KPK mapun UU MK, setelah dua produk hukum tersebut diundangkan. Selain itu, ada pula undang-undang lain yang menyedot perhatian masyarakat dan banyak dipersoalkan, yakni UU Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law dan dibahas dalam hitungan bulan meski menyangkut 76 undang-undang lain.
Kilatnya proses pembentukan undang-undang itu dilakukan meskipun dalam sistem hukum kita tidak mengenal adanya fast track legislation (FTL). Namun, FTL telah dipraktikkan dalam proses legislasi di republik ini.
Baca juga: Tiga DOB di Papua Dikawal hingga 2024
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F27%2F4729fa89-1efe-41e9-b22f-cb8f86d2caba_jpg.jpg)
Anggota Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Apa sebenarnya FTL tersebut? Fast track legislation, menurut Christoper M Davis dalam artikelnya berjudul Expedited or Fast-Tract Legislative Procedures, seperti dikutip oleh pemohon uji formil UU MK nomor perkara 100/PUU-../2021, merupakan prosedur khusus pengesahan RUU, yaitu disahkan melalui tahapan yang normal, tetapi dengan jadwal yang dipercepat di dalam setiap tahapan.
Model pembentukan regulasi dengan cara FTL tidak diatur di dalam sistem hukum yang ada saat ini. Namun, praktik kilat pembentukan undang-undang sering kali dilakukan. Padahal sebenarnya ada prinsip-prinsip yang harus dipatuhi di dalam penerapan FTL jika memang model pembentukan undang-undang semacam itu mau diadopsi secara resmi di negeri ini.
Metode tersebut ditujukan untuk menjawab kebutuhan mendesak, untuk mengambil tindakan tegas dalam menanggapi peristiwa tak terduga atau emergency situation yang sedang dihadapi, tetapi tak dapat dijangkau dengan hukum positif yang ada atau bahkan tak ada pengaturannya.
Baca juga: Superkilat Pembahasan RUU Ibu Kota Negara dan Kisah Bandung Bondowoso...
Pembahasan kilat sebuah rancangan undang-undang banyak dipraktikkan oleh pemerintah dan DPR saat ini. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dalam perbincangan dengan Kompas beberapa waktu lalu menyebut pemerintah dan DPR makin ugal-ugalan pada saat membuat undang-undang.
Yang jadi persoalan, model pembentukan regulasi dengan cara FTL tidak diatur di dalam sistem hukum yang ada saat ini. Namun, praktik kilat pembentukan undang-undang sering kali dilakukan. Padahal sebenarnya ada prinsip-prinsip yang harus dipatuhi di dalam penerapan FTL jika memang model pembentukan undang-undang semacam itu mau diadopsi secara resmi di negeri ini.
Prinsip daulat rakyat
Masih mengacu praktik perundang-undangan di Inggris, penggunaan metode fast track dapat dimulai dilakukan oleh pembentuk undang-undang setelah menjawab sejumlah pertanyaan berikut.
Dikutip dari permohonan uji formil perkara 100/2021, pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya: mengapa fast track penting dilakukan; apa yang menjadi pembenaran untuk mempercepat proses pada setiap elemen draf RUU; upaya apa yang telah dilakukan untuk memastikan jumlah waktu yang tersedia untuk pengawasan parlemen telah dimaksimalkan; sejauh mana pihak yang berkepentingan diberi kesempatan untuk memengaruhi proposal kebijakan; dan lain-lain.

Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) Allan FG Wardhana mengatakan, ada sejumlah isu terkait dengan FTL di Indonesia. Isu tersebut adalah apakah kilatnya pembentukan sejumlah undang-undang tersebut termasuk dalam kategori FTL. Dan, apakah FTL boleh dilakukan di Indonesia mengingat UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) tidak mengenalnya.
Apabila akan digunakan di negeri ini, Allan menyarankan agar FTL diadopsi di dalam UU P3 terlebih dahulu sehingga nantinya ada kejelasan mengenai batasan FTL. Misalnya, apakah yang di-fast track atau dipercepat itu keseluruhan proses pembentukan perundang-undangan yang mencakup perencanaan, penyusunan, perancangan, pembahasan, dan pengundangan atau hanya dalam hal pembahasannya semata.
Kedua, perlu pula diperjelas untuk isu apa saja atau dalam kondisi apa saja FTL bisa digunakan. Di beberapa negara, FTL hanya boleh digunakan untuk isu-isu atau kondisi tertentu.
”Maka, kalau misalkan RUU yang mengatur pemekaran Papua diselesaikan dalam waktu sembilan hari, itu agak problematik, ya. Masak sekelas RUU yang penting dan itu prosedurnya bukan RUU daftar kumulatif terbuka, kan, harusnya prosesnya harus clear,” ujar Allan.

Allan FG Wardhana
Ada satu prinsip yang tak bisa ditinggalkan dalam proses pembentukan undang-undang meskipun dilakukan dengan metode fast-track sekalipun. Prinsip itu adalah tidak boleh diabaikannya daulat rakyat. Ini diejawantahkan di dalam partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation seperti yang diamanatkan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2021.
”Tidak boleh rakyat itu ditinggalkan atau tidak diajak ikut serta untuk merumuskan kebijakan dalam arti undang-undang. Apa pun mekanismenya. Sehingga kalau mau mengadopsi FTL, prinsip meaningful participation itu tetap harus disertakan,” ujarnya.
Partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang, meskipun dilakukan secara kilat, tetap dapat dilakukan. Ini dimungkinkan oleh UU No 13/2022 tentang UU P3 yang memberi kesempatan bagi publik untuk terlibat aktif baik secara daring maupun luring di dalam proses pembahasan sebuah RUU.
”Ini sudah diatur di UU terbaru. Apalagi dengan teknologi sekarang, untuk mengumpulkan orang dalam jumlah besar kan gampang sekali. Jadi tidak bisa dengan alasan FTL, publik ditinggalkan. (Meaningful participation) itu mutlak,” katanya.

Ibnu Sina Chandranegara, pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, dalam jurnal penelitian hukum De Jure juga menguraikan tentang pengadopsian mekanisme FTL. Menurut dia, FTL lebih baik diatur di UUD dengan konsekuensi dihapuskannya kekuasaan presiden menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Namun, apabila akan diatur di dalam undang-undang saja, selain hanya diajukan oleh presiden, perlu ada metode pembatasan waktu pembahasan RUU.
Tak kalah pentingnya, menurut Ibnu Sina, pengaturan FTL juga perlu memuat sunset clause atau klausul jangka waktu keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut di bagian akhir. Jika tanpa sunset clause, perlu diatur kewajiban peninjauan legislasi pasca-disahkan dalam kurun waktu satu atau dua tahun sejak diberlakukan. Selain itu, RUU dengan metode omnibus harus dilarang ditempuh dengan mekanisme FTL.
Banyak perdebatan mengenai proses legislasi kilat yang selama ini dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pengadopsian FTL bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar untuk memperjelas mekanisme pembahasan sebuah produk hukum yang memerlukan waktu yang singkat.