24 Pasal di RKUHP Dinilai Bentuk Kriminalisasi Berlebihan
Banyak ketentuan bermasalah yang masih dimuat di dalam RKUHP. Ketentuan tersebut dinilai sebagai ancaman kriminalisasi berlebihan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 24 ketentuan di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang dinilai merupakan bentuk kriminalisasi berlebihan menjadi fokus perhatian masyarakat sipil. Mereka meminta agar RKUHP tak buru-buru disahkan dan masukan publik diserap oleh pembentuk undang-undang.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, target penyelesaian RKUHP adalah pada Masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022 yang berakhir pada 7 Juli nanti. Menurut Bambang, DPR sudah menyepakati substansi pasal-pasal RKUHP yang disampaikan pemerintah dalam rapat dengar pendapat pada 25 Mei 2022.
Dalam draf terbaru RKUHP, pasal penghinaan kepala negara telah diubah menjadi delik aduan. Demikian pula masalah norma hukum yang hidup di masyarakat (living law) sudah masuk dalam 14 isu krusial yang disosialisasikan pemerintah kepada masyarakat. Selain itu, pasal yang dianggap mengkriminalisasi ahli gigi dan advokat juga sudah dihapus.
Meski ditargetkan dapat disahkan pada Masa Persidangan V, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej juga menyampaikan, kemungkinan RKUHP tidak disahkan pada masa sidang ini. Sebab, pemerintah masih memperbaiki draf RKUHP, yaitu revisi pasal berdasarkan masukan dari masyarakat, salah ketik, sinkronisasi batang tubuh dan penjelasan, serta sinkronisasi pasal pidana untuk menghindari disparitas pemidanaan.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) yang juga bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Julius Ibrani, ketika dihubungi, pada Minggu (3/7/2022), mengatakan, perbaikan dalam menyusun RKUHP tersebut dinilai sangat minim mengakomodasi masukan publik.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP beranggotakan beberapa elemen masyarakat sipil, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan PBHI.
Menurut Julius, masukan masyarakat publik yang sejauh ini telah diakomodasi ke dalam RKUHP adalah pidana atau kriminalisasi terhadap dokter atau ahli gigi dan advokat. Meski demikian, masih banyak ketentuan lain yang belum berubah, seperti ketentuan tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, serta penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Ketentuan lain yang juga belum mengakomodasi kepentingan publik adalah unjuk rasa yang wajib didahului dengan pemberitahuan. Jika tidak dilakukan pemberitahuan dan pada akhirnya unjuk rasa menimbulkan kericuhan, sanksinya adalah pidana. Masalahnya, menurut Julius, definisi kericuhan tidak dijelaskan. Sementara pihak yang mendefinisikan kericuhan adalah aparat penegak hukum.
Jika melihat ke belakang, terdapat peristiwa yang menjadi preseden dilakukannya kriminalisasi dengan menggunakan alasan kericuhan, yakni demo buruh beberapa waktu lalu yang kemudian turut memidana penasihat hukumnya.
Padahal, unjuk rasa merupakan kebolehan (mogen) karena dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di dalam RKUHP demo menjadi ”larangan” dengan alasan dapat menimbulkan kericuhan. ”Padahal, tidak usah demo kalau ricuh dalam bentuk apa pun, ya, dipidana. Nonton dangdut, kalau ricuh, ya, bisa dipidana. Apakah dengan demikian kalau mau nonton dangdut harus memberi pemberitahuan?” kata Julius.
Dari kajian Aliansi Nasional Reformasi KUHP, total terdapat 24 ketentuan yang dinilai merupakan bentuk kriminalisasi berlebihan, termasuk pasal yang menentang Putusan Mahkamah Konstitusi. Semisal, pasal terkait dengan advokat curang yang menjadi putusan MK dan pasalnya telah dicabut dari RKUHP. Namun, pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden yang juga sudah diputus MK, pasalnya tidak dicabut dari RKUHP.
Ketentuan yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi berlebihan lainnya adalah penghinaan terhadap kepala negara lain, yang juga dapat dipidana. Demikian juga adanya ancaman pidana jika dinilai terjadi pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court), seperti tidak bertutur kata dengan baik atau sopan karena dianggap dapat merusak integritas hakim.
Sepuluh fraksi di DPR menyepakati RKUHP bersama-sama dengan pemerintah dalam pembahasan tingkat pertama pada rapat kerja antara Komisi III dan Kemenkumham di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Kala itu, pengesahan tingkat kedua di Rapat Paripurna DPR ditunda karena penolakan luas dari publik di berbagai daerah.
Lagi-lagi, kata Julius, definisi tidak sopan tersebut tidak dijelaskan dan pihak yang mendefinisikan tidak sopan adalah hakim sendiri. Selain bersifat multitafsir, pada gilirannya pasal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Terkait dengan masih adanya pasal-pasal yang digolongkan sebagai bentuk kriminalisasi berlebihan tersebut, kata Julius, Aliansi Nasional Reformasi KUHP masih berupaya menyosialisasikan hal itu ke berbagai elemen masyarakat dan akademisi. Sebab, selain RKUHP tersebut berdampak luas bagi masyarakat, RKUHP tersebut dinilai telah menjadi alat bagi penguasa dan pengusaha untuk menekan masyarakat.
”Jadi, ketimpangan di masyarakat harus kita tutup agar sejajar. Aliansi juga mendorong pembahasan yang terbuka dan partisipasi yang bermakna, bukan cuma formalitas, seperti mengundang (diskusi), tetapi tidak mengakomodasi masukan dari masyarakat,” ujar Julius.
Menurut Julius, pada dasarnya Aliansi Nasional Reformasi KUHP sangat mendukung pembaruan dan modernisasi KUHP. Namun, hal itu mesti dilakukan dengan memasukkan substansi yang humanis, tidak mengatur pidana secara berlebihan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain itu, pembahasan juga mesti dilakukan secara terbuka dengan menampung partisipasi yang bermakna.
Terkait dengan rencana DPR bersama pemerintah yang awalnya menargetkan untuk mengesahkan RKUHP pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 yang berakhir pada 7 Juli nanti, Julius menilai periode waktu itu terlalu sempit untuk bisa menampung masukan dari publik, termasuk dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Oleh karena itu, ia berharap agar RKUHP tidak buru-buru disahkan dengan membuka kembali ruang pembahasan yang menyertakan publik.
”Drafnya saja belum dibuka, bagaimana RKUHP mau dibahas? Ada ratusan pasal, lho. (Pengesahan RKUHP) Harus diundur,” ujarnya.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, hingga saat ini draf RKUHP belum diajukan ke DPR. Dengan demikian, DPR juga belum memiliki draf RKUHP tersebut. ”Rasanya, mustahil itu akan disahkan pada masa sidang sekarang,” kata Arsul.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tubagus Erif Faturahman mengatakan, proses penyusunan RKUHP di Kemenkumham masih terus berproses hingga saat ini. Oleh karena itu, pihaknya belum mengetahui kepastian draf RKUHP itu selesai untuk kemudian diserahkan kepada DPR dan dibahas bersama DPR.