Penghinaan dan Hukum Pidana
Mengapa pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden tetap ada di RUU KUHP? Artikel ini perlu ditulis agar masyarakat bisa memahami secara utuh perihal penghinaan dalam hukum pidana.

Didie SW
Hal ihwal penghinaan kembali menjadi isu kontroversi menyusul rencana pemerintah dan DPR mengesahkan RUU KUHP. Sebenarnya pasal-pasal penghinaan yang diributkan adalah isu basi yang sudah dijelaskan berkali-kali.
Selama 2021, pemerintah dan DPR melakukan sosialisasi di 12 provinsi terhadap sejumlah ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), termasuk pasal-pasal penghinaan yang mewacana. Celakanya, berbagai poster dan tulisan yang beredar tentang pasal-pasal penghinaan tidak mengutip secara keseluruhan baik pasal maupun penjelasannya.
Ini sepertinya disengaja untuk menimbulkan kegaduhan dan distorsi informasi kepada publik. Ada juga selebritas tanpa pemahaman yang utuh tentang penghinaan dan cenderung asal bunyi mengkritik pasal-pasal itu melalui Tiktok. Artikel ini perlu ditulis agar masyarakat bisa memahami secara utuh perihal penghinaan dalam hukum pidana.
Landasan filsafati lahirnya hukum pidana antara lain adalah fungsi perlindungan, baik terhadap negara, masyarakat, maupun individu. Salah satu yang dilindungi oleh hukum pidana adalah harkat, martabat, dan nama baik. Dalam rangka itu, lahirlah pasal-pasal tentang penghinaan yang ditujukan kepada negara, masyarakat, atau individu.
Artikel ini perlu ditulis agar masyarakat bisa memahami secara utuh perihal penghinaan dalam hukum pidana.
Dalam doktrin hukum pidana, penghinaan secara garis besar terdiri atas dua bentuk. Pertama, menista. Menista ini baik lisan maupun tertulis. Menista berarti merendahkan martabat. Contohnya, menyamakan atau mengumpat seseorang dengan sebutan nama binatang. Kedua, fitnah atau laster. Menuduh seseorang melakukan sesuatu perbuatan tercela atau perbuatan pidana dan ternyata apa yang dituduhkan tidak bisa dibuktikan oleh yang menuduh. Termasuk dalam fitnah adalah melapor secara memfitnah dan menuduh secara memfitnah.
Alasan dipertahankan
Bagi Indonesia, pasal-pasal penghinaan ini masih tetap dipertahankan dengan alasan, pertama, penghinaan berakibat pada pembunuhan karakter. Kedua, penghinaan dianggap tak sesuai tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Ketiga, penghinaan adalah salah satu bentuk malaperse atau rechtsdelicten dan bukan malaprohibita atau wetdelicten. Artinya, penghinaan sudah dianggap suatu bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam UU karena melanggar kaidah sopan santun. Lebih dari itu, penghinaan dianggap melanggar norma agama jika dalam substansinya ada fitnah.
Ada tiga catatan penting terkait delik penghinaan. Pertama, delik ini sangat bersifat subyektif. Artinya, penilaian terhadap penghinaan sangat tergantung pada orang atau pihak yang diserang nama baiknya. Karena itu, penghinaan merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa dihina. Kedua, penghinaan merupakan delik penyebaran yang berarti substansi yang berisi penghinaan harus disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh si pelaku.
Ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh sesuatu hal yang dianggap menghina seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan membuktikan tuduhan itu.

Penghinaan presiden
Agar tak bias, saya mengutip semua pasal berikut penjelasannya. Pasal 218 Ayat (1), ”Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV”.
Pasal 218 Ayat (2), ”Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum”.
Penjelasan Pasal 218 Ayat (1), ”Yang dimaksud dengan ’menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri’ adalah merendahkan atau merusak nama baik”. Penjelasan Pasal 18 Ayat (2), ”Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ’dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah”.
Pasal 219, ”Setiap orang yang menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Pasal 220 Ayat (1), ”Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan”. Pasal 220 Ayat (2), ”Pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden”.
Mengapa pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden tetap ada di RUU KUHP?
Mengapa pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden tetap ada di RUU KUHP? Sangat ironi, jika penghinaan terhadap kepala negara asing diancam pidana—ini terdapat di KUHP di seluruh dunia—sementara kepala negara sendiri tak diberi perlindungan hukum terhadap martabat dan nama baiknya.
Berdasarkan konstruksi pasal-pasal di atas berikut penjelasannya, sangat jelas dan terang-benderang bahwa pasal-pasal a quo sama sekali tak dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Hanya yang memiliki kapasitas intelektual kurang memadai saja yang tidak dapat membedakan antara penghinaan dan kritik.
Rumusan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden berbeda dengan rumusan di KUHP. Di RUU KUHP, penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden adalah delik aduan. Artinya, perkara hanya bisa diproses atas dasar pengaduan presiden atau wakil presiden.

Selain itu, juga terdapat alasan penghapus pidana berupa alasan pembenar yang terdapat dalam Pasal 218 Ayat (2) berikut penjelasannya. Dengan demikian, kritik bahwa pemerintah dan DPR hendak menghidupkan kembali pasal- pasal yang telah dibatalkan MK sangatlah tak berdasar karena bestandeelen delict (unsur-unsur pasal) dalam RUU KUHP berbeda secara prinsip dengan pasal-pasal yang telah dibatalkan MK.
Ada pula yang berpendapat pasal itu bersifat diskriminatif karena seolah-olah memperlakukan presiden dan wakil presiden sebagai warga negara istimewa, padahal sudah ada pasal-pasal penghinaan yang berlaku umum untuk setiap orang. Perlu ditanggapi, adanya pasal a quo tidaklah melanggar prinsip equality before the law, karena presiden dan wakil presiden adalah primus inter pares (pertama di antara yang sederajat).
Logika sama pula berlaku bagi tindak pidana yang mengancam nyawa presiden dan wakil presiden, tidak dimasukkan pasal pembunuhan yang berlaku umum, tetapi dikategorikan makar.
Baca juga 24 Pasal di RKUHP Dinilai Bentuk Kriminalisasi Berlebihan
Penghinaan lembaga negara
Selanjutnya, Pasal 351 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara. Pasal 351 Ayat (1), ”Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Pasal 351 Ayat (2), ”Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”. Pasal 351 Ayat (3), ”Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina”.
Penjelasan Pasal 351 Ayat (1), ”Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu, perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Yang dimaksud dengan ’kekuasaan umum atau lembaga negara’ antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, atau pemerintah daerah”.

Pasal-pasal a quo adalah pengejawantahan asas kewibawaan dalam hukum pidana. Pada 2006, substansi pasal yang sama (Pasal 207 KUHP) pernah diuji di MK dan hasilnya MK menolak gugatan itu dan menyatakan pasal tersebut hanya bisa diterapkan atas pengaduan pihak yang dihina. Ketika ada pasal yang diuji di MK dan MK menolak gugatan itu, logika sederhananya pasal yang diuji tak bertentangan dengan konstitusi. Lebih lanjut, substansi Pasal 351 RUU KUHP dirumuskan sesuai putusan MK.
Jika menggunakan metode perbandingan, pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara dan penguasa umum masih banyak terdapat di beberapa negara, baik yang berbentuk monarki konstitusional maupun republik demokrat, seperti di Inggris, Denmark, Belgia, Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan Turki. Kendatipun ketika berbicara mengenai penghinaan, sejatinya tak bisa dibandingkan dengan negara lain karena latar belakang sosial dan budaya yang berbeda.
Secara substansi, kandungan KUHP di semua negara bersifat universal, kecuali dalam tiga hal, yakni kejahatan politik, kejahatan kesusilaan, dan penghinaan. Terlebih bagi Indonesia sebagai negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila, penghinaan terhadap siapa pun tidak dapat dibenarkan karena kebebasan berpendapat, berekspresi, dan kritik haruslah berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Baca juga Jangan Tinggalkan Publik
Terakhir, menyusun KUHP di negara multietnis, multikultur, dan multireligi bukan hal mudah. KUHP yang disusun bukanlah sebuah kitab suci yang tak bisa diubah. Bahwa terdapat kekurangan dalam penyusunan KUHP baru, itu adalah suatu kewajaran. Namun, hendaknya pro-kontra beberapa pasal tak menghalangi enam ratusan pasal lain untuk disahkan. Pintu MK terbuka lebar bagi setiap individu yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar oleh rumusan pasal-pasal di RUU KUHP. Di sanalah pertarungan argumentasi hukum yang lebih elegan dan bermartabat.
Eddy OS HiariejGuru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Eddy OS Hiariej