Pakar Hukum Ingatkan Pembentukan Aturan Pelaksana UU IKN Harus Utamakan Partisipasi Publik Bermakna
Dalam penyusunan aturan turunan UU IKN, pemerintah diingatkan untuk belajar dari pengalaman pembentukan RUU IKN yang dinilai kurang melibatkan partisipasi publik. Partisipasi yang bermakna menjadi kata kunci penting.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan membuka partisipasi publik yang seluas-luasnya dalam setiap tahapan pembentukan peraturan pelaksana Undang-Undang Ibu Kota Negara atau UU IKN. Lebih dari itu, partisipasi publik bermakna juga harus dikedepankan dalam setiap pembentukan aturan-aturan tersebut.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Bayu Dwi Anggono saat dihubungi dari Jakarta, Senin (28/3/2022), mengatakan, pemerintah harus belajar dari pengalaman pembentukan RUU IKN yang dinilai kurang melibatkan partisipasi publik. Akibatnya, beberapa perwakilan masyarakat menggugat RUU yang telah disahkan menjadi UU pada pertengahan Januari 2022 itu, ke Mahkamah Konstitusi.
Untuk itu, pemerintah seharusnya lebih bijak, lebih cermat, dan lebih berhati-hati lagi dalam membentuk aturan pelaksana UU IKN, baik rancangan peraturan pemerintah maupun rancangan peraturan presiden. Publik harus dilibatkan dalam konteks partisipasi bermakna (menaningful participation), bukan sebatas partisipasi formal.
Bayu menjelaskan, partisipasi publik bermakna bukan menjadi suatu pilihan, melainkan kewajiban. Partisipasi publik bermakna ini meliputi tiga hal, yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan masukannya, dan hak untuk mendapat penjelasan atas tindak lanjut dari masukan yang disampaikan.
”Buktikan bahwa pembentukan aturan itu benar-benar meaningful participation, rapi, tahapan-tahapan itu dilalui. Sebab, kalau tidak, akan ada pihak-pihak yang berkeberatan dan akan menempuh jalur hukum,” ujar Bayu.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Kerja Hukum dan Kelembagaan Pemindahan Ibu Kota Negara pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Diani Sadiawati menyampaikan, semua masukan terhadap aturan pelaksanaan UU IKN akan menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan enam rancangan peraturan pemerintah dan empat rancangan peraturan presiden. Semua aturan pelaksana itu ditargetkan bisa diundangkan paling lambat 15 April 2022.
Bayu juga mengingatkan, partisipasi publik bermakna ini setidaknya memiliki tiga dasar, yakni Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 37 UU IKN, dan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terhadap UU Cipta Kerja. Ketiga aturan itu mengatur soal pentingnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang hingga aturan di bawah undang-undang.
Selain itu, lanjut Bayu, dalam proses partisipasi publik, pemerintah jangan hanya mengakomodasi suara dari pihak-pihak yang terdampak langsung dari aturan tersebut, tetapi juga mengakomodasi suara pihak-pihak yang berkepentingan atas materi peraturan undang-undang tersebut, seperti akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Ia juga menyayangkan, tenggat yang sangat singkat dalam proses pembentukan aturan turunan UU IKN. Di Pasal 43 UU IKN, peraturan pelaksana dibentuk paling lama dua bulan. Menurut dia, waktu yang sangat singkat ini akan berdampak pada minimnya partisipasi publik, sedangkan jumlah peraturan pelaksana nanti akan sangat banyak dan sangat strategis.
Untuk itu, ia berharap konsultasi publik tidak selesai hanya dalam satu tahapan, tetapi harus mewarnai setiap tahapan. Saat pemerintah membentuk panitia antarkementerian (PAK), publik harus ikut dilibatkan. Setelah itu, dalam proses harmonisasi, publik juga harus dilibatkan kembali.
”Kalau pemerintah hanya mengandalkan di satu tahapan dalam konsultasi publik, nanti akan condong, materi yang dihasilkan setelah konsultasi publik itu bisa berbeda dengan PAK dan harmonisasi. Padahal, kan, menjadi penting, partisipasi bermakna itu untuk sebesar-besarnya masukan publik diakomodasi. Kalau tidak diakomodasi, setidaknya bisa dijelaskan alasannya,” tutur Bayu.
Kesalahan di hulu
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti menilai, proses konsultasi publik terhadap pembentukan aturan turunan dari UU IKN hanya memperlihatkan formalitas belaka. Sebab, menurut dia, proses pembentukan aturan ini sudah menyalahi aturan sejak di hulunya, yakni UU IKN.
”Yang menjadi pertanyaan, jika pembentukan UU IKN dipandang tidak melaksanakan partisipasi publik yang bermakna, apa gunanya partisipasi publik untuk pembentukan peraturan pelaksana? Buat saya, ini sebuah anomali kebijakan. Pembentukan UU IKN tidak partisipatif, terus pembentukan aturan pelaksanaan akan melibatkan partisipasi masyarakat,” kata Susi.
Sesungguhnya, kata dia, partisipasi publik merupakan asas yang harus dilaksanakan dalam pembentukan UU karena UU adalah bentuk keinginan rakyat dengan cara bagaimana diperintah. Dengan demikian, rasionalitas rakyat harus tecermin dalam UU. ”Rasionalitas itu dapat terwujud jika ada partisipasi yang bermakna,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Susi, solusinya adalah UU IKN harus diuji formil ke MK. MK seyogianya memutuskan bahwa proses pembentukan UU IKN itu inkonstitusional, karena tidak melibatkan partisipasi publik di dalam proses pembentukannya.
”MK harus menilai apakah proses pembentukan sudah menjalankan apa yang diputuskan oleh MK sendiri, yaitu meaningful participation,” ucapnya.