Risiko Korupsi Tinggi, Alarm bagi Tata Kelola Pemerintahan
Hasil Survei Penilaian Integritas tahun 2021 menunjukkan korupsi pengadaan barang dan jasa terjadi di 100 persen instansi pemerintah pusat dan daerah. Ini menjadi alarm bagi pemerintah ataupun aparatur negara.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan risiko korupsi di hampir seluruh instansi pemerintahan. Temuan itu diharapkan menjadi alarm bagi perbaikan tata kelola pemerintahan sekaligus peringatan bagi aparatur sipil negara agar tidak main-main dengan kewenangan yang dimiliki. KPK tidak akan segan menindak aparatur sipil negara yang terbukti melakukan korupsi demi memberikan efek jera serta mengembalikan kerugian negara.
Tingginya risiko korupsi tertangkap dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2021 yang dirilis KPK pada Desember 2021. Dari 640 instansi pusat dan daerah yang disurvei, semuanya pernah ditemukan korupsi pengadaan barang dan jasa. Begitu pula jual beli jabatan dalam promosi dan mutasi sumber daya manusia serta penyalahgunaan fasilitas kantor terjadi di 99 persen instansi yang disurvei. Selain itu, praktik suap dan gratifikasi ditemukan di 98 persen instansi. Survei ini dilakukan terhadap 255.010 responden di 640 instansi pusat dan daerah.
Jika didalami lagi, SPI 2021 juga mengungkap, indeks integritas lembaga mendapatkan skor tertinggi, yakni 81,9. Disusul kementerian (80,3), pemerintah kota (71,9), pemerintah kabupaten (70,21), dan pemerintah provinsi (69,3). Dari data itu terlihat, indeks integritas pemerintah daerah (pemda) masih di bawah indeks integritas nasional yang mencapai 72,43.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melalui keterangan tertulis, Rabu (23/3/2022), mengatakan, sejumlah risiko korupsi seperti yang terungkap dalam SPI 2021 cukup memprihatinkan. Apalagi, ditambah dengan rendahnya nilai indeks integritas secara khusus di pemda. Tak heran, korupsi paling banyak terjadi di pemda.
Sejak tahun 2004-2021, sebanyak 158 perkara korupsi terjadi di pemerintah provinsi (pemprov), serta 483 perkara korupsi di pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot). Penyuapan menjadi perkara pidana korupsi terbanyak yang ditindak KPK.
Ghufron berharap hasil SPI ini menjadi peringatan bagi seluruh pimpinan instansi dalam upaya perbaikan tata kelola pemerintahan. Tak hanya itu, hasil survei ini juga menjadi alarm bagi para ASN untuk terus menjaga integritas dan membentengi diri dengan nilai-nilai antikorupsi.
Karena KPK fokus pencegahan, bukan berarti kami tumpul. KPK tetap siap menggebuk maling-maling duit rakyat supaya para pelaku jera dan kami bisa memulihkan keuangan negara dengan optimal
”Hal yang perlu diingat, karena KPK fokus pencegahan, bukan berarti kami tumpul. KPK tetap siap menggebuk maling-maling duit rakyat supaya para pelaku jera dan kami bisa memulihkan keuangan negara dengan optimal,” ujar Ghufron.
Baca Juga: Korupsi Kepala Daerah Merajalela
KPK menyambut baik terbitnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penguatan Integritas ASN dalam Area Rawan Korupsi, tertanggal 8 Maret 2022. Dalam surat edaran tersebut, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo menjadikan hasil SPI sebagai fondasi perbaikan tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Tunjangan kinerja
Ghufron menjelaskan, hasil SPI sangat penting untuk dijadikan indikator seberapa bersih instansi pemerintahan dari korupsi. Sebab, selain menghasilkan indeks integritas, SPI juga memberikan rekomendasi apa saja yang bisa dilakukan oleh pimpinan instansi untuk menambal celah kebocoran korupsi di instansi tersebut.
”Kami desain SPI ini jadi one stop sollution, yang menginformasikan ada kebocoran di titik mana saja, sekaligus cara untuk menambalnya,” tutur Ghufron.
Di luar itu, lanjut Ghufron, SPI memberikan manfaat praktis bagi instansi yang mendapat skor penilaian baik, yaitu penambahan anggaran tunjangan kinerja setiap tahunnya. Hal ini dimulai dari tahun 2021 lalu.
Dalam penilaian mandiri pelaksanaan reformasi birokrasi (PMPRB), sebesar 60 persen dinilai dari manajemen perubahan, tata laksana pemerintahan, pelayanan publik, penguatan pengawasan, akuntabilitas kinerja, dan manajemen SDM. Sisanya, sebesar 40 persen dinilai melalui SPI, capaian kinerja, dan survei persepsi pelayanan publik. Adapun dari jumlah 40 persen itu, SPI menyumbang bobot 13 persen.
Secara terpisah, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo membenarkan jika SPI menjadi salah satu komponen penilaian dalam evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi. Oleh karena itu, pimpinan instansi diharapkan dapat aktif mendukung dan mengikuti pelaksanaan SPI secara saksama, serta mendorong pencegahan terjadinya korupsi di lingkungan instansi pemerintah.
”Saya harap setiap pimpinan instansi mampu memastikan bahwa instansinya menerapkan prinsip-prinsip good governance, serta melalukan mitigasi korupsi yang ada di lingkungan instansinya,” ujar Tjahjo.
Upaya pencegahan korupsi
Tjahjo menjelaskan, ada delapan hal yang harus menjadi perhatian setiap pimpinan guna mengefektifkan upaya pencegahan korupsi di instansi masing-masing.
Di antaranya, pertama, memperhatikan hasil SPI sebagai masukan perbaikan tata kelola dan menyusun rencana aksi perbaikan yang harus dipantau secara berkala oleh aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP).
Kedua, meningkatkan kualitas sistem merit dan kualitas pengelolaan konflik kepentingan pada proses promosi dan mutasi jabatan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pegawai atau pejabat yang profesional dan berintegritas melalui mekanisme yang transparan dan adil.
”Seiring dengan hal itu, perlu juga memperkuat dan mengoptimalkan kemampuan APIP untuk mendeteksi risiko korupsi secara proaktif pada proses promosi dan mutasi jabatan tersebut,” kata Tjahjo.
Baca Juga: Bola Liar Korupsi Kepala Daerah di Pilkada
Ketiga, mengembangkan sosialisasi dan kampanye antikorupsi pada pengguna layanan publik di instansi masing-masing. Selain itu, instansi juga harus aktif menyampaikan upaya dan capaian program antikorupsi melalui berbagai sarana atau media untuk memengaruhi perubahan perilaku kepada pengguna layanan.
Dengan demikian, pengguna layanan tidak memberi suap atau gratifikasi, termasuk melaporkan pelanggaran ke Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N)-Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR) atau saluran kanal pengaduan internal.
Keempat, menghilangkan intervensi dengan mendorong transparansi pada proses pelaksanaan tugas dan pemberian layanan publik melalui penggunaan teknologi informasi, keterbukaan, kemudahan akses informasi, pemangkasan birokrasi yang menghambat, serta penguatan tata kelola kelembagaan.
Instansi harus fokus pada beberapa area rawan korupsi, yakni pemberian layanan publik, perizinan, pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan tugas pegawai, pengelolaan SDM, serta pengelolaan anggaran.
”Harapannya, alokasi anggaran di setiap program kegiatan di setiap instansi tepat sasaran dan dirasakan dampaknya bagi masyarakat. Selain itu juga, alokasi anggaran benar-benar sesuai dengan rencana dan tidak disalahgunakan oleh oknum-oknum ASN,” kata Tjahjo.
Kelima, memperkuat APIP melalui penyediaan personel yang cukup dan kompeten. Anggaran pengawasan juga perlu ditingkatkan untuk menunjang proses pengawasan.