Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin karena ia diduga terlibat korupsi. Ini merupakan penangkapan kepala daerah ketiga selama tiga pekan pertama tahun 2022.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural dan grafiti bertema korupsi di Kebon Nanas, Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (29/8/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Selama tiga pekan pertama 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menangkap tiga kepala daerah karena mereka terlibat kasus dugaan korupsi. Kian banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi menandakan adanya persoalan serius dalam sistem politik di Tanah Air. Perbaikan mesti dilakukan karena politik biaya tinggi ditengarai menjadi sebab maraknya korupsi oleh kepala daerah.
Pada Selasa (18/1/2022) malam, KPK menangkap Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin, bersama tujuh orang lainnya. Selain aparatur sipil negara, terdapat pula pihak swasta yang terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Tim penyidik KPK telah memintai keterangan Bupati Langkat di Kepolisian Resor Binjai. Selain itu, rumah pribadi bupati di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Langkat, juga digeledah untuk mencari barang bukti. Namun, hingga Rabu (19/1/2022) malam, KPK belum mengungkapkan status delapan orang yang ditangkap tersebut.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan, Bupati Langkat ditangkap bersama sejumlah pihak karena terkait kasus dugaan korupsi. Dalam operasi tangkap tangan itu, tim penyidik juga menyita sejumlah uang sebagai barang bukti.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menambahkan, dugaan korupsi yang menjerat Terbit berkaitan dengan proyek-proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat. ”Ada uang juga yang ditemukan dalam pecahan rupiah yang jumlahnya masih dikonfirmasi kepada pihak terperiksa. Uang tersebut merupakan bagian kecil saja dari kesekian pemberian uang kepada bupati melalui orang kepercayaannya,” tuturnya.
Terbit merupakan kepala daerah ketiga yang ditangkap KPK sejak awal 2022. Sebelumnya, lembaga antirasuah itu menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendy dan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud.
Jika dirunut sejak 1 Juni 2005 atau saat pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dimulai, jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka mencapai 442 kepala daerah. Apabila Terbit ditahan, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kabupaten Langkat tersebut menjadi kepala daerah yang ke-443.
Malu dan kecewa
Saat dimintai tanggapan terkait penangkapan Bupati Langkat, Ketua DPP Partai Golkar Adies Kadir mengaku sangat prihatin, malu, dan kecewa. Sebab, setiap saat partai selalu mengingatkan semua kader, khususnya para kepala daerah, agar berhati-hati pada area rawan korupsi. ”Tidak boleh bermain-main dalam mengelola pemerintahan yang baik,” katanya.
Menurut Adies, perbuatan korupsi yang melibatkan kader umumnya merupakan perbuatan individu yang tidak ada sangkut pautnya dengan Partai Golkar. Namun, jika mereka meminta bantuan hukum kepada Badan Advokasi Hukum dan HAM (Bakumham) Partai Golkar, partai siap untuk membantu.
Wakil Bupati Langkat Syah Afandin, saat dihubungi, mengaku belum bisa memberikan keterangan tentang proses hukum dari operasi tangkap tangan itu. Ia juga tidak tahu siapa saja yang ditangkap atau dimintai keterangan. ”Saya belum bisa komentari tentang OTT ini,” katanya.
Namun, Afandin menegaskan, aktivitas pemerintahan di Pemkab Langkat tetap berjalan. Layanan masyarakat juga tetap beroperasi seperti biasa. ”Aktivitas pemerintahan berjalan normatif seperti biasa," ujarnya.
Kanker bagi negara
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menilai, korupsi daerah sudah sangat memprihatinkan dan menjadi kanker bagi negara. Sebab, baru di awal tahun dan dalam jangka waktu singkat, tiga kepala daerah sudah terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Menurut Djohermansyah, korupsi terus-menerus terjadi karena kepala daerah sedang menyiapkan dana untuk Pemilu 2024 nanti. Sebagian akan maju di periode kedua, sebagian lainnya akan bertarung dalam pemilihan gubernur atau bahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Kasus korupsi di daerah diperkirakan akan semakin banyak terungkap menjelang Pemilu 2024.
KOMPAS/NINA SUSILO
Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN
”Jadi, sekarang mereka istilahnya, vivere pericoloso, menyerempet bahaya. Kalau tidak dilakukan, mereka tidak dapat duit,” ujarnya.
Jika melihat dari kasus-kasus korupsi yang terungkap di awal tahun ini, seluruhnya merupakan korupsi proyek pengadaan barang dan jasa yang selesai dikerjakan pada 2021. Selain itu, ada pula korupsi lain, seperti jual-beli jabatan atau perizinan.
Untuk mencegah korupsi kepala daerah semakin masif, lanjut Djohermansyah, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif. Salah satunya melalui perbaikan regulasi dengan merevisi Undang-Undang Pilkada. Alasannya, sistem pemilihan kepala daerah dalam UU Pilkada justru mengakibatkan politik berbiaya tinggi.
Korupsi terus-menerus terjadi karena kepala daerah sedang menyiapkan dana untuk Pemilu 2024 nanti. Sebagian akan maju di periode kedua, sebagian lainnya akan bertarung dalam pemilihan gubernur atau bahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Kasus korupsi di daerah diperkirakan akan semakin banyak terungkap menjelang Pemilu 2024.
Pemerintah pusat tidak boleh menutup mata terhadap persoalan demokrasi di daerah. ”Perbaikan demokrasi lokal melalui revisi UU Pilkada sudah sangat mendesak. Jika pemerintah bisa menuntaskan Undang-Undang Ibu Kota Negara dalam waktu 43 hari, seharusnya revisi UU Pilkada ini bisa pula diprioritaskan, apalagi menyangkut kesehatan demokrasi,” tuturnya.
Menurut Djohermansyah, perbaikan bisa dilakukan dengan revisi terbatas. Salah satu ketentuan yang mesti diperbaiki adalah proses elektoral di daerah, seperti memperketat syarat untuk menjadi kepala daerah, meneliti lebih dalam integritas calon kepala daerah, serta peningkatan usia bagi calon kepala daerah. Perbaikan juga perlu dilakukan dalam mekanisme perekrutan calon pemimpin oleh partai politik. Hal yang tak kalah penting adalah negara harus menanggung biaya pemilu, terutama dana kampanye dan saksi.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna (depan) bersama Komisaris RSU Kasih Bunda Cimahi Hutama Yonathan (belakang) berjalan menuju ruang konferensi pers Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (28/11/2020).
Mantan Dirjen Otonomi Daerah itu juga mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Sebab menurut dia, pemilihan langsung oleh rakyat juga menjadi salah satu sebab adanya korupsi politik berupa suap dari calon kepala daerah kepada pemilih. Selain merusak demokrasi, politik uang juga bisa mendorong kepala daerah melakukan korupsi untuk mengembalikan modal kampanye.
Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tumpak Haposan Simanjuntak sependapat dengan Djohermansyah, biaya politik mahal memang menjadi salah satu masifnya korupsi di daerah. Namun, menurut dia, faktor utama korupsi di daerah ini terletak pada integritas. ”Jadi, masalahnya di integritas kepala daerah itu. Kalau kepala daerah sudah niat korupsi, susah,” kata Tumpak.
Berkaitan dengan usul merevisi UU Pilkada, kata Tumpak, sejauh ini di internal Kemendagri belum mendiskusikan hal tersebut. Sebab, ujarnya, persoalan korupsi bukan diakibatkan oleh undang-undangnya, melainkan manusianya. ”Artinya, satu, dua, tiga, empat kasus tidak bisa merepresentasikan semuanya. Di tempat lain, kan, enggak terjadi korupsi,” ujar Tumpak.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk mencegah terus merebaknya korupsi kepala daerah, menurut Djohermansyah, adalah pemberian sanksi berupa pencabutan hak politik. Namun, pencabutan hak politik ini jangan hanya 3-5 tahun, melainkan selama-lamanya sehingga bisa menimbulkan efek gentar bagi kepala daerah yang lain. (BOW/NSA)