Fraksi PDI-P di MPR Mengusulkan agar Amendemen Ditunda
Fraksi PDI-P di MPR memandang agenda yang dibahas MPR saat ini adalah amendemen terbatas UUD 1945. Tujuannya untuk menghadirkan kembali wewenang MPR menetapkan PPHN, atau di masa lalu disebut GBHN.
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Majelis Perwakilan Rakyat mengusulkan agar amendemen Undang-Undang Dasar 1945 terkait Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN ditunda hingga periode MPR sekarang berakhir. Usulan itu diambil karena situasi politik saat ini dinilai tidak kondusif di tengah wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Usulan amendemen UUD 1945 tentang PPHN pertama kali digaungkan oleh MPR periode 2009-2014 pada masa kepemimpinan Taufiq Kiemas. Usulan tersebut belum terlaksana dan dilanjutkan oleh MPR di bawah kepemimpinan Sidarto Danusubroto (2013-2014), Zulkifli Hasan (2014-2019), dan Bambang Soesatyo (2019-2024).
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/3/2022), mengatakan, agenda yang sedang dibahas di MPR melalui Badan Kajian MPR adalah amendemen terbatas UUD 1945. Menurut dia, hal ini hanya bertujuan untuk menghadirkan kembali wewenang MPR dalam menetapkan PPHN.
Dalam perjalanannya, sebelum memulai langkah formil perubahan UUD sebagaimana ketentuan Pasal 37 UUD 1945, MPR harus terlebih dahulu memastikan situasi dan kondisi psikologi politik bangsa dalam keadaan yang kondusif. Selain itu, MPR juga harus memastikan amendemen UUD tersebut sebagai kebutuhan bangsa, bukan kepentingan satu kelompok, apalagi perseorangan.
Basarah menilai, dengan dinamika politik yang berkembang dan juga sudah memasuki tahun politik, apalagi saat ini tengah ramai wacana penundaan pemilu yang akan berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden, sebaiknya rencana amendemen terbatas UUD tersebut tidak dilaksanakan oleh MPR periode 2019-2024 ini.
”Amendemen UUD 1945 sebaiknya tidak dilaksanakan dalam situasi psikologis bangsa yang tidak kondusif, seperti adanya pikiran dan rasa saling curiga di antara sesama komponen bangsa serta adanya kepentingan perorangan maupun kelompok tertentu,” ujar Basarah.
Apalagi saat ini tengah ramai wacana penundaan pemilu yang akan berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden, sebaiknya rencana amendemen terbatas UUD tersebut tidak dilaksanakan oleh MPR periode 2019-2024 ini.
Selain itu, ia juga melihat segenap partai politik saat ini sudah mulai sibuk menyiapkan diri untuk menyongsong Pemilu 2024 sehingga kurang ideal jika energi bangsa fokus pada amendemen UUD. Konsentrasi mereka akan terpecah. Hal ini akan lebih sulit lagi jika proses dan hasil pemilu ternyata menimbulkan gesekan politik di antara sesama komponen bangsa.
Baca juga : Merunut Konsolidasi Amendemen UUD 1945
Namun, lanjut Basarah, MPR tetap berkomitmen untuk terus membahas pokok-pokok pikiran tentang PPHN tersebut agar dapat direkomendasikan kepada MPR periode berikutnya. Hal ini bertujuan untuk merealisasikan amendemen terbatas UUD 1945 dalam rangka menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau PPHN.
”Sebagai Ketua Fraksi PDI-P di MPR, saya sudah memberikan arahan kepada Badan Kajian MPR Fraksi PDI-P agar tugas dan tanggung jawab pengkajian bersama berbagai komponen bangsa lainnya untuk terus dilanjutkan guna menyusun konsep PPHN secara lebih substanstif dan komprehehsif sebagai bahan rekomendasi untuk MPR periode berikutnya,” ucap Basarah.
Tidak membuka kegaduhan
Secara terpisah, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan, yang menjadi kesepahaman fraksi-fraksi di MPR saat ini, adalah selama status pandemi Covid-19 belum berakhir, amendemen tidak akan dilakukan.
”Nah, sekarang, kalau misalnya, suatu ketika, di tahun 2022 ini, kemudian pemerintah mengakhiri status pandemi, atau menurunkannya menjadi endemi, bagaimana? Nah, tentu ini berpulang pada masing-masing partai,” kata Arsul.
Baca juga : Amendemen Kelima UUD NRI
Namun, lanjut Arsul, jika situasi politik saat ini tidak kondusif untuk dilakukan amendemen, PPP juga sependapat dengan sikap Fraksi PDI-P. Langkah ini dipilih agar proses amendemen tidak malah membuka adanya kegaduhan.
”Artinya, kalau amendemen dilakukan malah membuka kemungkinan adanya kegaduhan, PPP juga sependapat dengan yang disampaikan dengan Pak Basarah atau PDI-P untuk tidak memaksakan adanya amendemen,” ujar Arsul.
Apabila amendemen ingin tetap dilakukan, agendanya pun harus terbatas pada PPHN. Jika dalam proses amendemen justru muncul agenda lain, seperti penundaan pemilu atau perpanjangan masa presiden, proses amendemen tersebut tidak boleh dilanjutkan.
”Itu, kan, menimbulkan kegaduhan di ruang publik kita, ya. PPP juga sependapat dengan yang disampaikan Pak Basarah (untuk tidak dilaksanakan amendemen),” tambahnya.
Jika situasi politik saat ini tidak kondusif untuk dilakukan amendemen, PPP juga sependapat dengan sikap Fraksi PDI-P.
Menghargai usulan penundaan
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menegaskan, PKS sejak awal menolak amendemen konstitusi untuk memasukkan PPHN. Menurut dia, PPHN sebaiknya cukup diatur dalam Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang akan berakhir pada 2025 mendatang. ”Sejak awal kami menolak amendemen, apalagi situasi politiknya seperti saat ini,” katanya.
Pihaknya pun menghargai usulan dari PDI-P untuk menunda amendemen konstitusi terkait PPHN. Usulan itu akan secara resmi menjadi sikap PDI-P jika disampaikan dalam rapat pimpinan MPR atau rapat gabungan semua fraksi di MPR.
Baca juga : Sebelum Amendemen Konstitusi, MPR Diminta Paparkan Hasil Kajian Pokok-pokok Haluan Negara
Hidayat mengatakan, sejak awal rencana amendemen konstitusi untuk memasukkan PPHN di era Ketua MPR Taufiq Kiemas, tidak semua fraksi bulat satu suara. Jika kini makin banyak fraksi yang menolak, sebaiknya memang pembahasan tidak dilakukan pada periode ini.
Terlebih situasi politik berkaitan dengan amendemen kian memanas karena munculnya isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden. Sejumlah pihak pun khawatir jika amendemen mengenai PPHN ditunggangi oleh pasal-pasal lain yang justru merugikan rakyat.
”Amendemen mestinya hanya terkait dengan hal-hal yang besar dan substansial sehingga pembahasannya juga mesti dilakukan dengan sikap penuh kenegarawanan oleh seluruh fraksi,” ucap Hidayat.
Sekalipun Badan Pengkajian MPR masih mengkaji substansi PPHN, lanjutnya, bukan berarti hasil kajian itu harus segera ditindaklanjuti. Kajian itu tidak memiliki dampak hukum sehingga bisa diteruskan ke periode mendatang seperti di periode-periode sebelumnya.
Sebelumnya, Badan Pengkajian MPR masih mematangkan kajian tentang PPHN yang ditargetkan tuntas pada akhir April 2022. Substansi PPHN nantinya diserahkan kepada unsur pimpinan MPR untuk ditindaklanjuti apakah pembahasannya perlu dilanjutkan atau tidak.
Penguatan DPD
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti menegaskan, dirinya menghormati usulan PDI-P yang mengharapkan penundaan amendemen UUD 1945. Namun, ia tetap ingin mendorong amendemen kelima konstitusi dilanjutkan. Amendemen itu bukan untuk menambah masa jabatan presiden-wakil presiden, melainkan penguatan fungsi dan peran DPD sebagai perwakilan daerah yang nonpartisan.
Menurut dia, arah perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya kepada partai politik. Sebab, negara ini ada dan lahir karena adanya rakyat, bukan parpol. Apalagi, parpol baru menjadi bagian dari perjalanan negara setelah Indonesia lahir dan merdeka.
”Kami ingin amendemen ke-5 untuk penguatan peran DPD dan memulihkan hak konstitusional DPD,” ujar La Nyalla.
Baca juga : Amendemen UUD 1945 dan Demokrasi Konstitusional
Terkait PPHN, lanjut La Nyalla, DPD melalui tim kajian ad hoc yang dipimpin anggota DPD, Jimly Asshiddiqie, sudah pernah membuat naskah kajian. Pada prinsipnya, kajian tentang PPHN harus bottom up, bukan sebagai justifikator atas program yang telah disusun eksekutif. Sebab, keterlibatan publik secara luas menjadi sangat penting dalam penyusunan PPHN.
”Tetapi, sekali lagi, concern kami di DPD dalam amendemen adalah perbaikan atau koreksi total atas amendemen 1999 hingga 2002, di mana hasilnya hari ini tidak memberi ruang bagi unsur nonpartisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini,” ucapnya.
Terkait PPHN, lanjut La Nyalla, DPD melalui tim kajian ad hoc yang dipimpin anggota DPD, Jimly Asshiddiqie, sudah pernah membuat naskah kajian. Pada prinsipnya, kajian tentang PPHN harus bottom up.
La Nyalla menuturkan, sebelum amendemen konstitusi pertama hingga keempat yang dimulai pada 2002 lalu, MPR terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan. Ketiga komponen itu berwenang menyusun arah perjalanan bangsa melalui GBHN serta mengajukan dan memilih calon presiden-wakil presiden sebagai mandataris MPR untuk menjalankan GBHN yang telah disusun.
”Setelah amendemen, utusan daerah dan utusan golongan dihapus, kemudian lahir DPD yang dipilih melalui pemilu. Tetapi, hak-hak yang melekat di utusan daerah dan utusan golongan pada masa lalu tidak berpindah ke DPD,” ujarnya.
Saat ini, lanjut La Nyalla, DPD tidak bisa ikut terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa karena peran untuk dapat mengajukan dan mengusung calon presiden-wakil presiden hanya parpol. Bahkan, parpol bersepakat menerapkan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan suara pada pemilu sebelumnya. Bahkan, sempat pula ada pernyataan dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar jika masa jabatan presiden bisa diperpanjang jika semua ketua umum parpol sepakat.
”Inilah salah satu kecelakaan amendemen 2002 yang memberi ruang terlalu besar kepada partai politik sehingga yang terjadi adalah hegemoni partai menjadi tirani baru yang bekerja dengan pola zero sum game, di mana rakyat yang kalah telak,” katanya.