Amendemen UUD 1945 dan Demokrasi Konstitusional
Alarm demokrasi Indonesia berbunyi kencang setelah ada sejumlah usulan ”liar” yang mengemuka dalam amendemen konstitusi.

Alarm demokrasi Indonesia berbunyi kencang setelah ada sejumlah usulan ”liar” yang mengemuka dalam amendemen konstitusi. Sekalipun amendemen konstitusi itu niscaya dan lumrah terjadi, bagi negara yang masih menjalani konsolidasi demokrasi, perubahan itu idealnya hati-hati dilakukan supaya tidak merusak demokratisasi yang sedang berlangsung.
Usulan untuk mengamendemen konstitusi menjadi bahasan publik yang mencolok setelah keluar sebagai salah satu rekomendasi dari Kongres V PDI-P di Bali, 8-10 Agustus 2019. Wacana itu berkembang pasca-pelantikan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketua MPR Bambang Soesatyo saat itu mengatakan akan mengkaji wacana amendemen tersebut. Hal itu merupakan salah satu rekomendasi dari MPR 2014-2019. Pilihan atas amendemen akan memperhatikan semua aspirasi yang berkembang di masyarakat dan juga usulan partai politik. MPR tidak akan gegabah (Kompas, 4/10/2019).
Dalam perkembangannya, banyak masukan dalam amendemen konstitusi. PDI-P sejak awal mengusulkan amendemen terbatas, yakni terbatas pada hadirnya kembali haluan negara, sebagaimana dulu pernah ada di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, amendemen konstitusi tidak akan mengubah ketentuan lain, termasuk pemilihan presiden secara langsung.
Sementara itu, Partai Gerindra menginginkan kembali sepenuhnya pada UUD 1945 sebelum amendemen 1999-2002. Baru setelah itu dilakukan penambahan adendum yang diperlukan dalam konstitusi.

Wacana lain mengemuka saat pimpinan MPR bertemu dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj, 27 November 2019. Said menilai Pemilihan Presiden 2019 berpotensi memicu keterbelahan sosial. Mengambil refleksi dari hal itu, pilpres secara langsung dikhawatirkan menimbulkan dampak buruk yang lebih besar daripada manfaatnya bagi bangsa ini.
Dari berbagai masukan itu, MPR belum sampai pada simpulan bagaimana konstitusi akan diamendemen. Sejumlah wacana yang berkembang setidaknya menyasar satu bahasan penting dalam sistem ketatanegaraan di Tanah Air, yakni terkait dengan sistem pemerintahan presidensial yang selama 20 tahun terakhir berusaha ”dimurnikan” pascareformasi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, dalam buku Sistem Pemerintahan Indonesia: Pergulatan Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial (2019) merinci sistem presidensial dan parlementer, serta mengkaji apakah sistem pemerintahan Indonesia termasuk salah satunya dengan merujuk pada UUD 1945 sebelum amendemen. Banyak ahli disebutkan Saldi berbeda pendapat dalam melihat sistem pemerintahan Indonesia.
Namun, dapatlah dikatakan, sebelum amendemen UUD 1945, Indonesia menganut desain pemerintahan ”sistem sendiri” yang karakternya berbeda karena memiliki sebagian ciri-ciri presidensial, tetapi ada pula karakter sistem parlementer yang, antara lain, ditandai dengan pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Saldi bahkan sampai pada kesimpulan, sistem pemerintahan yang dihasilkan pendiri negara (founding fathers) lebih dekat pada sistem parlementer kendati ada pula ciri-ciri presidensial. Dalam pengertian yang lain, kalaupun mau disebut berkarakter sistem presidensial, karakter itu sifatnya lebih longgar.

Baru setelah amendemen 1999-2002, ”pemurnian” terhadap sistem presidensial itu dilakukan sebagai bagian dari demokratisasi dan tuntutan reformasi. Salah satu wujudnya ialah dengan tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden bukan mandatoris MPR sehingga tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR (parlemen) dalam pelaksanaan mandatnya, yang ketika itu diformulasikan dalam bentuk GBHN. Selaras dengan perubahan itu, presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui MPR.
Pertanyaannya ialah, jika amendemen yang digagas saat ini memberikan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara, lalu bagaimana menempatkan dokumen itu di dalam konstitusi setelah rangkaian amendemen (1999-2002)? Apakah haluan negara itu ditetapkan oleh MPR setiap lima tahun sekali? Apakah presiden bertanggung jawab untuk melaksanakan haluan itu? Apabila presiden bertanggung jawab atas pelaksanaan haluan negara tersebut, berarti dia bisa dimakzulkan jika tidak mengikuti haluan tersebut? Jika demikian, apakah presiden yang dipilih rakyat itu bertanggung jawab kepada MPR dan bukan kepada rakyat? Jika itu terjadi, bukankah akan kembali pada desain sebelum reformasi?
Segenap pertanyaan terkait dengan posisi haluan negara dan arah perubahan konstitusi saling terkait satu sama lain sehingga ”perubahan terbatas” terhadap konstitusi tidak mudah dibatasi dalam praktiknya. Perubahan satu ketentuan bagaimanapun berpeluang mengubah makna konstitusi secara sistemik karena tidak ada pasal yang berdiri sendiri.
”Resultante” situasi
Akan tetapi, apakah konstitusi tidak boleh diubah? Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, dalam makalahnya, ”Menimbang Kembali Konstitusi Indonesia”, di dalam diskusi Mufakat Budaya Indonesia, 6 November 2018, di Jakarta, mengatakan, tidak ada konstitusi yang benar atau salah ataupun bagus-jelek. Semuanya itu produk situasi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang juga mantan Ketua MK
Konstitusi merupakan resultante dari situasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, pada saat norma itu dibuat. Kalau tempat, situasi, waktu, dan kondisinya berubah, konstitusi pun bisa berubah. Terbukti dalam perjalanan sejarahnya, konstitusi Indonesia beberapa kali berubah. Setelah kemerdekaan, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kemudian UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949, berubah lagi menjadi UUD Sementara 1950, dan akhirnya kembali pada UUD 1945. Setelah reformasi, konstitusi pun diubah empat kali, yakni tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Dari setiap perubahan konstitusi itu, hanya satu bagian yang secara ajek tidak diubah, yakni Pembukaan. Di dalam Pembukaan terdapat tujuan Indonesia merdeka, visi bangsa baik dalam membangun negeri ini di dalam maupun dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Selain itu, Pembukaan mengandung filosofi dasar bangsa Indonesia, Pancasila.
Setiap kali konstitusi berubah, ada dampak yang bisa dirasakan oleh bangsa ini, baik dalam pemerintahan maupun jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam kondisi seperti sekarang, saat demokrasi mengalami kecenderungan ”turun” kualitasnya. Hal itu, antara lain, ditandai dengan stagnasi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS mencatat kenaikan tipis IDI 2018, yakni dengan angka 72,39, atau naik tipis 0,28 poin dari skor indeks tahun 2017. BPS mencatat skor indeks menurun pada aspek kebebasan sipil, yakni menjadi 78,46 atau turun 0,29 poin dari tahun sebelumnya. Aspek hak-hak politik juga turun 0,84 poin dari tahun sebelumnya, yakni menjadi 66,63. Adapun aspek lembaga demokrasi naik skornya (2,76 poin) sehingga menjadi 75,25.

Penurunan kualitas demokrasi terjadi juga di negara lain. Indeks demokrasi negara-negara di dunia yang dirilis oleh Freedom House, 2019, menyebutkan, populisme sebagai hal yang mengkhawatirkan bagi demokratisasi di dunia. Kecenderungan ini tidak khas Indonesia karena negara demokrasi mapan, seperti Amerika Serikat, juga mengalaminya.
Bagi Indonesia yang baru saja menuntaskan perhelatan Pemilu 2019, ada kepentingan lebih besar untuk menguatkan aspek-aspek negara demokratik di dalam regulasi, termasuk dalam perubahan konstitusi. Harapannya, Indonesia tidak terjerumus menjadi negara otoriter. Kalaupun amendemen dilakukan, proses itu haruslah dilakukan dengan tujuan menegakkan negara hukum dan demokrasi dengan prinsip supremasi konstitusi. Konstitusi haruslah mampu menggambarkan sistem kenegaraan yang memungkinkan demokrasi berjalan dengan baik.
Perubahan konstitusi dengan demikian mesti hati-hati dengan memperhatikan situasi konsolidasi demokrasi di Tanah Air. Amendemen pun idealnya memegang teguh konsensus nasional yang disepakati bersama saat reformasi. Dengan demikian, gerak langkah bangsa ini tidak jalan di tempat, apalagi malah berbalik arah.