Sebelum Amendemen Konstitusi, MPR Diminta Paparkan Hasil Kajian Pokok-pokok Haluan Negara
MPR diminta terlebih dahulu memaparkan hasil kajiannya terkait Pokok-pokok Haluan Negara dan mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19. Sebelumnya MPR menargetkan amendemen terhadap dua pasal terkait PPHN akhir 2021.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat menargetkan untuk menuntaskan draf Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN akhir tahun ini. Amendemen konstitusi diproyeksikan menjadi jalan untuk memuluskan pembentukan PPHN ini. Namun, terkait dengan rencan amendemen ini, MPR diminta terlebih dahulu memaparkan hasil kajiannya terkait dengan PPHN dan mempertimbangkan pula situasi pandemi Covid-19 sekarang ini.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, evaluasi apa pun terhadap pelaksanaan konstitusi adalah suatu hal yang wajar. Sebagai konstitusi yang hidup, evaluasi pelaksanaan terhadap pelaksanaannya, termasuk dalam kehidupan ketatanegaraan, adalah hal yang biasa saja. Namun, menyangkut upaya memasukkan PPHN ke dalam konstitusi sebagaimana menjadi agenda MPR, hal itu sebaiknya didahului dengan penjelasan secara gamblang kepada publik tentang arti penting PPHN itu.
”Ini kan ada upaya mengadopsi sistem baru ke dalam sistem kenegaraan kita. Cuma yang harus dilihat soal PPHN ini, MPR butuh waktu untuk menjelaskan terlebih dulu hasil kajian mereka. Jangan buru-buru bicara amendemen, tetapi jelaskan dulu apa hasil kajian mereka soal evaluasi rencana pembangunan kita selama ini dan relasinya dengan kelanjutan pembanguan nasional,” kata Bayu saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (8/7/2021).
Penjelasan mengenai hasil kajian ini kepada publik amat penting, menurut Bayu, agar publik memahami dulu secara utuh konsep PPHN yang dimaksud, serta bagaimana argumentasi dan hasil kajian yang mendukung itu agar dilakukan. Misalnya, apakah PPHN itu seperti model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti di masa lalu, ataukah ini modifikasi sistem presidensial di satu sisi, ataukah ini lebih fokus pada perbaikan sistem perencanaan pembangunan.
Tetapi yang terpenting ialah apa bedanya PPHN ini dengan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dan apakah menurut kajian MPR, PPHN ini akan lebih baik daripada SPPN. Itu yang harusnya dijelaskan sebagai upaya meyakinkan publik tentang urgensi PPHN. (Bayu Dwi Anggono)
”Tetapi yang terpenting ialah apa bedanya PPHN ini dengan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), dan apakah menurut kajian MPR, PPHN ini akan lebih baik daripada SPPN. Itu yang harusnya dijelaskan sebagai upaya meyakinkan publik tentang urgensi PPHN,” ujarnya.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, MPR melalui Badan Pengkajian bekerja sama dengan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR serta melibatkan pakar atau akademisi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk lembaga negara dan kementerian negara, tengah menyelesaikan draf atau rancangan PPHN berikut naskah akademiknya. Ditargetkan rancangan PPHN akan selesai pada akhir 2021. Targetnya, awal 2022, pimpinan MPR mulai bisa menjalin komunikasi politik dengan pimpinan partai politik dan pemerintah, dalam hal ini presiden, serta pimpinan DPD untuk membangun kesepahaman kebangsaan tentang pentingnya Indonesia memiliki PPHN.
”Tidak hanya dengan pimpinan partai politik, komunikasi politik juga akan dijalankan pimpinan MPR RI dengan berbagai kalangan, seperti pimpinan ormas, sivitas akademika dari berbagai kampus, hingga stakeholder terkait lainnya seperti dunia usaha,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, amendemen konstitusi hanya fokus pada penambahan dua pasal, yaitu penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN dan penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
Ia juga menegaskan, amendemen terbatas tidak akan mengarah kepada hal-hal lain di luar PPHN, seperti penambahan periodisasi masa jabatan presiden-wakil presiden ataupun mengembalikan kembali pemilihan presiden-wakil presiden melalui MPR. ”Mengingat pada Pasal 37 konstitusi telah mengatur secara tegas mengenai mekanisme usul perubahan konstitusi yang tidak dapat dilakukan secara mendadak,” katanya.
Amendemen terbatas ini dengan hadirnya PPHN ini juga tidak akan mengubah sistem presidensial yang sudah berjalan selama ini. Presiden tidak akan menjadi mandataris MPR. Presiden tetap akan dipilih langsung oleh rakyat dan dipilih oleh rakyat. (Bambang Soesatyo)
Sesuai ketentuan, usul perubahan pasal-pasal di dalam UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR, yakni 237 dari 711 jumlah anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD. Pada Ayat (2) Pasal 37 UUD 1945 juga dijelaskan, setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Bambang menjamin, dengan ketentuan ketat yang diatur di Pasal 37, amendemen terbatas konstitusi tidak akan membuka ”kotak pandora” yang menimbulkan hiruk pikuk dan mengganggu stabilitas politik nasional.
”Amendemen terbatas ini dengan hadirnya PPHN ini juga tidak akan mengubah sistem presidensial yang sudah berjalan selama ini. Presiden tidak akan menjadi mandataris MPR. Presiden tetap akan dipilih langsung oleh rakyat dan dipilih oleh rakyat,” katanya.
Pertimbangkan pandemi
Kendati demikian, menurut Bayu, perubahan konstitusi tidak terbatas hanya pada soal syarat dan prosedur pengajuan. Namun, perubahan itu semestinya menjadi agenda kenegaraan, yang mempertimbangkan pula kebutuhan saat ini, tidak semata-mata agenda lembaga negara, seperti yang telah diproyeksikan oleh MPR. Melihat situasi saat ini, yakni kondisi pandemi Covid-19 yang belum berhasil ditangani, MPR diharapkan bersikap negarawan, yakni dengan tetap melihat perkembangan penanganan Covid-19.
Kenegarawanan MPR dibutuhkan saat ini. Agenda amendemen konstitusi itu kan dibuat saat kondisi normal, sementara saat ini kondisinya tidak normal. Keputusan untuk mengamendemen atau tidak tentu harus dinamis disesuaikan dengan kondisi negara.
”Kenegarawanan MPR dibutuhkan saat ini. Agenda amendemen konstitusi itu kan dibuat saat kondisi normal, sementara saat ini kondisinya tidak normal. Keputusan untuk mengamendemen atau tidak tentu harus dinamis disesuaikan dengan kondisi negara,” katanya.
Dihubungi terpisah, pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, hal lainnya yang harus dipikirkan sebelum mengamendemen UUD dan memasukkan PPHN ialah menerangkan kedudukan PPHN itu di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. ”Pertanyaannya, apakah dokumen PPHN itu akan bersifat abstraksi lagi ataukah konkritisasi dari konstitusi. Karena selama ini, konstitusi yang masih abstrak diterjemahkan ke dalam UU. Jika PPHN itu juga terjemahan dari konstitusi, seharusnya juga dapat diuji kesesuaiannya dengan konstitusi. Siapakah yang bisa menguji dokumen itu dan apakah itu kewenangan MK?” katanya.