Dianggap Berpihak kepada Nelayan, MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo
Hukuman penjara Edhy Prabowo yang semula sembilan tahun dipangkas menjadi tinggal lima tahun. Majelis kasasi juga mengoreksi pencabutan hak politik Edhy dari tiga tahun menjadi dua tahun.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir separuh masa hukuman bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dipotong melalui putusan kasasi Mahkamah Agung. Dari hukuman penjara sembilan tahun, MA memangkas menjadi lima tahun penjara atau sesuai dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Putusan kasasi itu tertuang dalam putusan MA Nomor 942 K/PID.SUS/2022. Majelis kasasi pengambil putusan dipimpin oleh Sofyan Sitompul dengan Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani sebagai hakim anggota. Perkara diputus pada Senin (7/3/2022) dengan amar putusan menolak permohonan kasasi terdakwa.
Meskipun demikian, MA tetap mengoreksi putusan di tingkat banding yang menjatuhkan vonis sembilan tahun kepada bekas politikus Partai Gerindra itu. Alasannya, majelis kasasi menilai hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan unsur meringankan terdakwa dalam memutus perkara.
Saat masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo dinilai sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan besar kepada nelayan. Itu terlihat dari tindakan Edhy yang mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri KP Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tentang aturan pemanfaatan benih bening lobster (BBL).
”Aturan itu ingin memberdayakan nelayan karena budidaya lobster di Indonesia sangat besar,” ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, mengutip pertimbangan putusan majelis kasasi, Rabu (9/3/2022).
Melalui perubahan aturan menteri itu, majelis kasasi juga menilai, kebijakan Edhy yang mensyaratkan eksportir memperoleh BBL dari nelayan kecil dianggap menyejahterakan rakyat kecil.
Selain mengoreksi lamanya pemidanaan badan, MA mengoreksi pencabutan hak politik Edhy. Semula, Edhy dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun. Di tingkat kasasi, pencabutan hak politik dipotong satu tahun menjadi dua tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
”Hanya dua hukuman pidana itu yang dikoreksi oleh majelis hakim kasasi. Selain itu, hukuman lainnya di tingkat banding masih tetap berlaku,” terang Andi.
Hukuman lainnya, seperti kewajiban Edhy membayar denda Rp 400 juta subsider enam bulan penjara. Edhy juga diminta membayar uang pengganti senilai Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar Amerika Serikat. Apabila tidak dibayar dalam satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupinya. Jika harta bendanya tidak cukup untuk membayar, terdakwa akan dipenjara selama tiga tahun.
Kompas sudah menghubungi beberapa pimpinan KPK dan Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri untuk meminta tanggapan terkait pemangkasan hukuman Edhy ini, tetapi tak ada jawaban hingga berita ini diturunkan.
Gagal fokus
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, menilai, putusan MA atas Edhy ini sangat tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut dia, putusan itu sangat janggal karena pemangkasan hukumannya sangat besar.
”Ini saya melihatnya kayaknya ada faktor X karena sesuatu yang sangat abnormal sekali dari turunnya hukuman yang drastis seperti itu. Apalagi, kan, sekarang lagi gencar-gencarnya pemberantasan korupsi, kemudian dia juga tokoh politik, mosok, ya hampir semua dipangkas. Ini saya kira ada something wrong, yang perlu dipelajari dari putusannya,” tutur Hibnu.
Selain itu, ia juga melihat ada ketidaklogisan dalam aspek pertimbangan putusan hakim. Pertimbangan yang disampaikan oleh hakim itu bukanlah kewenangan hakim untuk menilai. Suatu tugas kementerian dalam rangka memajukan bidang kelautan merupakan ranah penilaian Presiden.
Seharusnya, lanjut Hibnu, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Edhy adalah pertimbangan delik yang dilakukan oleh terdakwa, baik itu yang memberatkan maupun meringankan. Dengan begitu, hakim fokus pada substansi suatu peristiwa hukumnya.
”Jadi, yang dilihat itu harusnya, perbuatannya bagaimana? Meresahkannya bagaimana? Manipulasinya bagaimana? Perbuatan korupsi yang dilakukan itu bagaimana? Itu yang seharusnya menjadi hal yang memberatkan. Jadi, fokusnya itu pada perbuatan tindak pidana korupsinya. Rupanya ini hakim MA gagal fokus,” kata Hibnu.
Karena itu, ia sangat menyayangkan putusan MA atas Edhy. Menurut dia, perlu ada eksaminasi terhadap putusan MA tersebut sehingga bisa menjadi masukan bagi para penegak hukum lain ke depan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum untuk mengambil suatu putusan.
”Artinya, perlu dijadikan catatan agar tidak menjadi preseden di putusan-putusan perkara korupsi lain,” ujar Hibnu.