Banding Ditolak, Hukuman Edhy Diperberat Jadi 9 Tahun
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menambah hukuman bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari 5 tahun menjadi 9 tahun penjara. Putusan itu mendapat apresiasi, termasuk dari Menko Polhukam Mahfud MD.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya banding terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, ditolak majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hukuman Edhy diperberat dari 5 tahun menjadi 9 tahun. Alasannya, perbuatan Edhy dinilai tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan negara.
Hal itu diputuskan dalam sidang permusyawaratan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Kamis (21/10/2021), dan dibacakan dalam sidang terbuka pada Senin (1/11/2021). Haryono duduk sebagai ketua majelis hakim dan didampingi empat hakim anggota lain, Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik, serta Anthon R Saragih.
Kuasa hukum Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo, saat dihubungi, Kamis (11/11/2021), soal putusan tersebut enggan berkomentar. Dia juga tidak ingin mengungkapkan apakah akan mengajukan kasasi atau tidak terhadap putusan tersebut. ”Soal Pak Edhy, maaf, aku enggak komentar dulu, ya,” ujarnya.
Adapun dalam putusan banding, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 9 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Edhy. Artinya, pidana penjara tersebut lebih berat dibandingkan pidana penjara yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Selain itu, majelis hakim PT DKI juga memperberat hukuman bagi Edhy jika tidak membayar uang pengganti sesuai waktu yang telah ditentukan. Dalam putusan banding, jika Edhy tidak membayar uang pengganti sejumlah Rp 9,69 miliar dan 77.000 dollar Amerika Serikat dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita dan dilelang oleh jaksa. Jika harta itu tak mencukupi untuk membayar uang pengganti, Edhy akan dipidana penjara selama tiga tahun.
Pada pertengahan Juli 2021, Edhy divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Pada pengadilan tingkat pertama itu pula Edhy hanya dihukum selama dua tahun apabila tidak mampu membayar uang pengganti sebagaimana waktu yang telah ditentukan.
Adapun untuk pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, PT DKI sependapat dengan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Edhy dicabut hak politiknya selama tiga tahun sejak ia selesai menjalani pidana pokoknya.
Alasan pemberat
Dalam pertimbangannya, majelis hakim PT DKI mengungkapkan sejumlah alasan pemberatan hukuman Edhy. Menurut majelis, hukuman 5 tahun penjara terhadap Edhy tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang seharusnya ditangani secara ekstra dan luar biasa. Terlebih, Edhy merupakan seorang menteri dan telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang serta tidak jujur.
”Terdakwa telah merusak tatanan kerja yang selama ini ada, berlaku, dan terpelihara dengan baik. Terdakwa telah menabrak aturan prosedur yang ada di kementeriannya sendiri,” demikian seperti yang dikutip dalam putusan banding.
Alasan pemberat lain, menurut majelis, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tindakan korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga dapat meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan negara. Sebab, sebagai menteri, Edhy seharusnya sudah memahami ketentuan dari Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
”Kekayaan alam tidaklah bisa dengan mudahnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan orang tertentu,” seperti dalam putusan banding.
Terkait putusan banding itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyampaikan, KPK sejak awal menghormati segala proses peradilan, termasuk hak-hak terdakwa untuk menguji putusan di tingkat pertama melalui banding. Ia menyebut, yang mengajukan upaya hukum banding dalam perkara ini adalah Edhy. Untuk itu, saat ini KPK tentu menunggu sikap terdakwa atas putusan tersebut.
”Dalam prosesnya, KPK telah menyiapkan memori kontra bandingnya. Kemudian mengenai putusan, hal ini menjadi ranah dan kewenangan sepenuhnya majelis hakim,” kata Ali.
Jika melihat putusan banding yang memperberat hukuman Edhy, lanjut Ali, artinya majelis hakim mempunyai keyakinan dan pandangan yang sama dengan tim jaksa KPK. Artinya, hakim meyakini terdakwa secara meyakinkan terbukti bersalah menerima suap dalam pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor benur.
”Kami juga mengapresiasi putusan pidana uang pengganti senilai Rp 9,6 miliar dan 77.000 dollar AS. Hal tersebut penting sebagai bagian dari asset recovery yang menyokong penerimaan negara melalui upaya pemberantasan korupsi,” tutur Ali.
Saat ini, KPK masih menunggu salinan putusan lengkap dari PT DKI Jakarta untuk kemudian akan dipelajari lebih lanjut.
Berita baik
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melalui akun Twitter miliknya mengapresiasi putusan banding yang memperberat hukuman terhadap Edhy. ”Ini berita baik. Mudah-mudahan kesadaran tentang bahaya korupsi terhadap sendi kedaulatan negara menjadi kesadaran kolektif di Mahkamah Agung,” katanya.
Saat ditanyakan apakah pemberatan hukuman memungkinkan dikenakan pula kepada koruptor lain, Mahfud berpandangan, keputusan tersebut sepenuhnya berada di kewenangan MA. Ia tak bisa ikut campur terhadap kewenangan MA dalam menilai dan memutus suatu perkara.
”Kita dukung dan doakan MA agar tegas seperti ini. Tribute!” tegasnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, juga mengapresiasi putusan PT DKI yang memperberat hukuman Edhy. Putusan banding ini, menurut dia, sekaligus mengonfirmasi kekeliruan putusan ringan yang semakin marak terjadi, terutama di pengadilan tingkat pertama.
Namun, Kurnia menilai, hukuman 9 tahun itu belum cukup memberikan efek jera terhadap seorang menteri yang melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19.
”Semestinya hukuman yang paling layak bagi Pak Edhy adalah seumur hidup penjara, dan itu masih dimungkinkan berdasarkan pasal-pasal yang dijadikan dasar bagi hakim ketika memutus perkara Pak Edhy,” ucap Kurnia.
Jika Edhy kelak mengajukan kasasi, Kurnia berharap, MA dapat memperberat hukumannya. Ini menjadi permasalahan serius dan menjadi tantangan sekaligus ujian bagi MA karena selama ini MA kerap kali justru menjadi sumber permasalahan yang menjadikan hukuman para koruptor sangat ringan.
”Kalau nanti hukuman MA malah menurunkan putusan di tingkat banding ini, berarti kondisi MA sebenarnya tidak sejalan dengan pentingnya menghukum pelaku korupsi atau memberi efek jera,” kata Kurnia.
Ia berpendapat, ada banyak faktor yang bisa dijadikan dasar pemberat hukuman bagi Edhy, salah satunya Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana di mana pejabat publik yang melakukan kejahatan seharusnya hukuman ditambah. Hukuman bisa semakin diperberat karena Edhy sampai sekarang tidak mengakui perbuatannya dan melakukan korupsi di tengah pandemi.
”Jadi, seluruh faktor itu dapat dilihat oleh hakim tingkat kasasi atau MA sebagai dasar untuk memperberat hukumannya. Jadi, opsinya hanya satu, hukuman Edhy harus diperberat karena kami belum puas dengan hukuman yang sekarang,” tutur Kurnia.