Pelaksanaan otonomi daerah pascareformasi dinilai berdampak positif bagi kemajuan daerah, tetapi masih belum optimal.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
TANGKAPAN LAYAR
Bedah buku Dua Dekade Otonomi Daerah Pasca Reformasi: Quo Vadis?, Selasa (8/3/2022), yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Sekolah Otonomi Daerah.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan otonomi daerah pascareformasi dinilai berdampak positif bagi kemajuan daerah, tetapi masih belum optimal karena masih terjadi rendahnya serapan anggaran daerah serta banyaknya korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kemajuan suatu daerah sangat dipengaruhi faktor kepemimpinan kepala daerah.
Hal itu mencuat dalam bedah buku Dua Dekade Otonomi Daerah Pasca Reformasi: Quo Vadis?, Selasa (8/3/2022), yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Sekolah Otonomi Daerah.
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan ini Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman Simandjuntak, Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng, Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi, perwakilan dunia usaha Anton J Supit, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies Arya Fernandes, serta staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Haryadi.
Herman N Suparman mengatakan, selama 20 tahun ini ada banyak dampak positif dalam penerapan otonomi daerah, seperti beberapa daerah yang mencoba mengangkat pemimpin yang transformatif. ”Kita melihat catatan KPPOD, banyak daerah mengeluarkan kebijakan inovatif dan berdaya saing. Ada sejumlah daerah yang mandiri dan melahirkan sejumlah praktik baik,” kata Armand.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman
Armand menambahkan, adanya keberanian menerapkan pilkada langsung juga menunjukkan praktik baik dari otonomi daerah. Meskipun demikian, masih ada kelemahan dari penerapan otonomi daerah, seperti manajemen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang masih buruk, sehingga setiap tahun Kemendagri selalu mengeluh serapan daerah rendah. Korupsi APBD juga masih menjadi pekerjaan berat untuk diselesaikan.
Sejumlah peraturan daerah juga masih bermasalah. Selain itu, kata Armand, banyak pelaku usaha yang mengeluhkan persoalan deregulasi.
Anton J Supit mengatakan, peran kepala daerah sangat besar dalam otonomi daerah. Sayangnya, praktik pemerintahan yang baik di daerah masih belum bisa berjalan. Banyak perizinan yang masih dipersulit. Padahal, dengan banyaknya investasi di daerah, maka akan meningkatkan lapangan kerja.
Peranan pengusaha di daerah sangat dibutuhkan karena dana dari pemerintah terbatas. Karena itu, kata Anton, dibutuhkan peranan pemerintah daerah dalam menciptakan investasi di daerahnya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Peneliti CSIS Arya Fernandes.
Arya Fernandes mengakui, peran kepala daerah sangat besar dalam menentukan kemajuan suatu daerah. Ada banyak perubahan yang dilakukan oleh pemimpin yang inovatif. Salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah adalah pendapatan asli daerah (PAD).
Meskipun otonomi daerah sudah dilaksanakan, perekonomian di Indonesia masih belum merata. Daerah yang miskin pada 1999 kontribusinya juga masih kecil. Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) masih disumbang oleh daerah di Pulau Jawa.
Politik lokal
Menurut Akmal Malik, melihat perkembangan otonomi daerah tidak hanya bisa dari sudut pandang ekonomi saja. Sebab, sejumlah kebijakan juga dipengaruhi oleh politik.
Ia mencontohkan, banyak standar prosedur kriteria yang dibuat kementerian tidak tepat untuk diterapkan di semua daerah. Padahal, setiap regulasi di tingkat pusat harus diterjemahkan dalam bentuk peraturan daerah. Peraturan daerah merupakan produk bersama aktor politik serta kepentingan lokal dan nasional. Sementara itu, politik di Indonesia masih sentralistis.
INGKI RINALDI
Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kemendagri, Akmal Malik, Selasa (21/1/2020) di Jakarta.
Oleh karena itu, kata Akmal, tidak adil jika melihat otonomi daerah hanya dari sisi ekonomi saja. Sebab, ada struktur politik yang berpengaruh.
Ia mengakui, pilkada langsung telah menghadirkan banyak kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Persoalan tersebut juga dipengaruhi sistem rekrutmen politik.
Meskipun masih banyak kekurangan di dalam otonomi daerah, bagi Akmal, perlu juga dilihat dampak positifnya. Di antaranya, semua daerah diberi ruang untuk berinovasi. Bahkan, pemimpin negara berasal dari pemimpin daerah.